Teknologi traction control sudah lama diperkenalkan di Motogp. Tujuan dari pengembangan perangkat ini adalah untuk membantu para rider mengendalikan traksi motor.
Merupakan rahasia umum bahwa pada era GP500 dua tak, traksi motor yang berlebihan adalah momok menakutkan baru para pembalap.
Kesalahan dalam membuka gas akan membuat pembalap mengalami insiden yang keras. Motor-motor membanting para pembalapnya secara brutal.
Tak heran kalau banyak pembalap pada era itu menderita banyak cedera. Beberapa bahkan pensiun karena cedera dan ada pula yang sampai lumpuh.
Jadi traction control dikembangkan untuk membantu para rider agar terhindar dari insiden-insiden mematikan, yang bisa menimbulkan cedera berkepanjangan.
Namun ternyata, dibalik tujuan pengembangannya yang baik, banyak pembalap yang tidak menyukai perangkat traction control.
Beberapa pembalap terutama Casey Stoner, sangat menginginkan Motogp kembali seperti era dua tak atau awal empat tak yang hanya memiliki sedikit elektronik.
Tentu saja tanpa traction control. Honda menjadi pabrikan pertama yang memperkenalkan Traction Control, yakni pada RC211V edisi 2003 dan seterusnya.
Setelah itu traction control menjadi perangkat wajib bagi team-team Motogp sejak dimulainya era 800cc.
Namun penyeragaman ECU pada 2016 membuat pengembangan traction control yang tadinya sudah begitu maju, mundur beberapa langkah.
Kini para insinyur menyiasati kekurangan software traction control Magneti Marelli dengan setingan torque-demand map. Apa itu?
ECU 2016 Sempat Membuat Pengembangan Traction Control Mundur
Pada saat Dorna dan FIM memutuskan untuk menggunakan single ECU mulai dari Motogp 2016, ECU yang dipakai jauh lebih kuno daripada ECU Inhouse pabrikan yang sebelumnya dipakai.
Honda dan Yamaha sangat terpengaruh dengan aturan ini, tidak bisa dipungkiri bahwa ECU buatan mereka sudah mencapai tahap yang sangat canggih.
Pada hal traction control, ECU inhouse Yamaha dan Honda bahkan sampai bisa selalu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada motor ataupun lintasan pada saat balapan.
Saat ban sudah mau habis, atau saat hujan sudah mau kering ataupun saat terjadi perubahaan tekanan ban, ECU inhouse sudah bisa menyesuaikan dan beradaptasi dengan keadaan tersebut.
Namun ECU keluaraan Magneti Marelli tidak secanggih itu. ECU tersebut masih memerlukan settingan manual dan hanya bisa disetting untuk beradaptasi dengan situasi yang lebih terbatas.
Awalnya hal ini membawa excitement lebih bagi para rider dan fans. Karena diyakini dengan teknologi Traction Control yang lebih kuno, maka balapan akan menjadi lebih seru karena slide dan ban yang berasap akan kembali.
Namun sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Aksi motor dilintasan tidak semakin seru dan elektronik terlalu mendominasi Motogp.
Penyebabnya jelas, karena walaupun spec dari ECU yang diberikan oleh Magneti Marelli tidak banyak berubah sejak 2016, namun insiyur-insiyur team sudah mampu untuk mengoptimalkan ECU tersebut.
Utamanya Ducati dan team pabrikan Eropa. Ducati sendiri berada di dalam area yang menguntungkan karena sudah memakai spec ECU ini sejak 2014.
Anehnya, justru sektor traction control ini tidak begitu dikembangkan lagi. Insinyur team banyak yang lebih memaksimalkan area lain untuk membantu pengendalian motor.
Traction Control Magneti Marelli Terlalu Basic
Direktur teknis Aprilia, Romano Albesiano pernah berpendapat bahwa traction control Motogp terlalu sederhana dan basic untuk ditaruh di motor sekencang Motogp.
“Perangkat TC (traction control) yang ada di motor bukanlah TC yang bisa menyelamatkan para rider dari high side saat menikung.” Ujar Albesiano (dari motorsportmagazine.com).
“Anda membutuhkan (perangkat TC) yang lebih canggih dan dengan konsep yang berbeda. Jadi bagian pertama saat berakselerasi di sudut kemiringan yang tinggi bisa ada sepenuhnya ada di tangan rider, anda tidak bisa langsung full gas.” Lanjutnya (dari motorsportmagazine.com).
Karena kekurangan pada spec ini, insiyur team memakai metode lain untuk mengatur torsi motor. Yakni dengan metode torque-demand map.
Apa itu Torque-demand map?
Torque-demand map adalah settingan torsi yang diatur dalam map ECU motor yang langsung mengatur besarnya torsi yang dihasilkan oleh mesin.
Berbeda dengan traction control yang menggunting torsi jika terjadi sliding yang berlebihan, mapping ini langsung mengatur pola performa torsi motor tanpa harus menunggu motor mengalami slide.
Metode ini membagi torsi mesin pada beberapa sektor sirkuit hingga maksimal 25 sektor, sehingga setiap sektor tersebut punya torsi yang berbeda sesuai kebutuhan rider dan daya tahan ban, lewat sensor yang berada di mesin.
Alhasil, mesin motor bisa mempunyai torsi yang adaptif disetiap sektor yang diset. Torsi yang adaptif ini adalah membuat pembalap bisa dengan tenang menarik gas motor tanpa memikir kan resiko.
Karena motor bisa langsung menyeusaikan torsi menjadi torsi yang ideal untuk memaksimalkan grip.
Dan dengan variasi mapping Motogp yang bisa banyak, maka variasi dari Torque-demand map ini juga bisa punya lebih banyak variasi dariapda traction control.
Pembalap Sulit Membuat Perbedaan
Keberadaan traction control dan torque-demand map ini membuat motor semakin mudah dikendalikan dan aman dibawa.
Pembalap tanpa pikir panjang bisa langsung menarik gas secara maksimal dan motor akan tetap stabil.
Sisi buruknya adalah, pembalap kini sulit membuat perbedaan dengan riding style mereka. Kini di Motogp pembalap diharapkan membalap dengan gaya yang mirip atau bahkan sama.
Hanya segelintir pembalap yang punya talenta luar biasa yang masih sanggup membuat perbedaan dengan sistem elektronik yang sekarang.
“Pada saat ECU baru diperkenalkan (2016), kami harus sangat berhati-hati dalam membuka gas. Tapi saat ini jauh sangat mudah. Motornya jadi lebih aman dan sangat sulit untuk membuat perbedaan karena satu-satunya hal yang perlu anda lakukan adalah tegakkan motor secepatnya dan keluarkan semua tenaga motor.” Ujar Danilo Petrucci pada 2021 yang lalu (dari Motorsportmagazine.com).
Membuat motor menjadi lebih aman dan juga cepat adalah hal yang baik, karena memungkinkan para pembalap untuk menjadi lebih dekat, namun menjadi lebih dekat tapi tetap sulit menyalip tentu bukan yang diinginkan oleh penggemar.
Casey Stoner Jadi Ambassador Penggunaan Elektronik yang Minim
Bicara tentang penyederhanaan ECU dan elektronik, maka tidak ada orang lain yang lebih keras menyuarakan hal ini selain Casey Stoner.
Stoner terkenal tidak menyukai elektronik yang berlebihan. Dia besar menonton GP500 di akhir 80an dan 90an yang minim elektronik.
Stoner berpendapat bahwa melihat rider yang kesulitan mengendalikan motor adalah daya tarik terbesar Motogp yang sebenarnya.
“Saya ingin melihat pembalap sliding, saya ingin melihat pembalap membuat kesalahan, saya ingin melihat pembalap kesulitan menjaga grip.” Ujar Stoner.
Stoner berpendapat bahwa elektronik yang sederhana bisa membuat dinamika dari balapan menjadi lebih seru.
Pembalap yang start di depan bisa membuat kesalahan dan mundur ke belakang, pembalap yang start belakang bisa menyetting motor dengan bagus dan maju ke depan.
Seperti era dua tak atau awal empat tak, dimana pembalap yang punya tangan bagus yang akan menjadi juara.