
Kalau ngomongin F1, secara histori, bukanlah kultur Asia tenggara. Artinya, setidaknya sampai saat ini, Asia tenggara belum pernah mempunyai pembalap yang kompetitif. Ada banyak aspek yang membuat Asia Tenggara belum bisa menurunkan pembalapnya yang handal.
Yang terpenting adalah aspek keuangan, budaya, dan mental. Kalau kita ngomongin F1, semua pecinta F1 pasti setuju kalau Eropa, terutama Inggris adalah negara-negara yang sangat kental dan mendominasi olahraga ini.
Dari sisi keuangan misalnya, mereka menyiapkan dana melimpah, mereka begitu total dalam mengucurkan duitnya demi mendirikan sebuah tim ataupun mensponsori pembalap untuk bisa masuk ajang jet darat.
Sebagai contoh, untuk tim sekelas Alpha Tauri yang memerlukan dana sekitar 162.6 juta Euro pertahun atau setara Rp 2,6 Trilyun. Itu untuk sekelas Alpha Tauri.
Tim-tim besar lain macam McLaren, MercedesGP, Ferrari, Redbull, lain lagi.
Dan pengusaha Asia, tentu saja akan mikir-mikir untuk mengucurkan dana segitu demi membangun sebuah tim balap atau sekedar mensponsori pembalap dalam hal dana untuk bisa masuk Formula 1.
Tapi bukan berarti tidak ada pebalap dari Asia tenggara, walau kurang kompetitif pernah ada setidaknya tiga pebalap Asia tenggara yang mencoba peruntungan di single seater paling bergengsi ini.
Dari era Formula 1 klasik kita pernah mengenal sosok pangeran Bira . Dia adalah pria Asia tenggara pertama yang masuk sebagai pembalap Formula 1 . Sang Pangeran Thailand ini aktif dari tahun 1950 sampai dengan 1955.
Mengikuti 19 balapan, mengumpulkan total 8 poin bergabung dengan beberapa tim, yaitu Enrico Plate, Gordini, Connaught, Maserati, hingga Scuderia Milano.
Hmm…tahun itu adalah tahun-tahun era Juan Manuel Fangio. Seorang jawara balap asal Argentina yang memenangi kejuaraan pada tahun 1951, 1954, 1956 dan 1957.

Hingga puluhan tahun kemudian tepatnya di tahun 2001, muncul-lah sosok Alexander Yoong, seorang pebalap asal Malaysia.
Itupun hanya dalam satu musim, dan tidak bisa mengikuti balapan secara penuh 18 race. Alex cuma bisa ikut dalam 14 balapan satu musim, gegara tidak lolos kualifikasi.
Membalap buat tim Minardi, pria berdarah Tionghoa-Inggris ini seolah tak tahan dengan tekanan di lingkungan F1.
Tak dapat dipungkiri lagi, bahwa masuk ke olahraga ini bukan hanya bertabur uang, dan kemewahan. Tapi juga penuh tekanan.
Mengawali karier pada tahun 2001, Alex menggantikan kursi pembalap Italia, Tarso Marques. Tapi sampai akhir musim Alex gagal mendulang satu pun pun. Nihil!
Pada tahun berikutnya, pihak Minardi mengontrak Alex, sekali lagi, sebagai Pay driver dengan dukungan dana dari pemerintah Malaysia melalui Magnum Coorporation.
Tapi sampai akhir musim 2002, Alex tak memberikan hasil yang memuaskan. Akhirnya Alex pun mundur dari olahraga mahal itu, ” Uang saja tidak cukup, kalau pada dasarnya orang tersebut tidak punya cukup kemampuan untuk berada di kursi Formula1, ” ucapnya satu ketika.
Memang untuk bertahan di F1 bukan hanya soal kemampuan membalap. Tetapi juga kemampuan menghadapi intrik yang ada dilingkungan Formula 1.
Uang saja tidak cukup, apalagi kalau tidak ada uang dan kemampuan.

Sementara dari Indonesia pernah juga ada nama Rio Haryanto yang mencoba peruntungan di ajang Formula 1. Masalah yang langsung menghadang adalah ketersediaan dana!
Yup, karena Rio turun di Formula 1 sebagai Pay driver. Artinya untuk bisa dapat bangku dan bisa membalap Rio harus berhasil memasukkan sponsor yang bisa menyokong dana buat tim. Pada tahun 2016 Rio membalap buat Manor. Dana yang diminta tim adalah 15 juta Euro.
Namun pihak manajemen Rio hanya bisa membawa 8 juta Euro. Rio pun cuma bisa balapan dalam 11 race.
Pada tahun berikutnya, yaitu 2017, pihak manajemen Rio Haryanto memulai perundingan dengan Tim Sauber. Sekali lagi, mereka mentok soal dana. Karena selain dengan Sauber, pihak Rio juga berunding dengan Pertamina sebagai sponsor penyedia dana.
Alotnya perundingan dengan Pertamina, membuat waktu yang ditetapkan oleh Sauber habis karena mereka juga harus mempersiapkan balapan.
Yang tak kalah penting adalah, tanggapan warganet soal keikutsertaan Rio. Ada pro-kontra. Ada yang mendukung, ada pula yang tak setuju, alasan mereka adalah Pemborosan dana, .
Sedangkan kalau Rio dapat kursi dalam Formula 1 pun belum tentu mendapat hasil yang gemilang dan kompetitif. Mengingat peluang Rio saat itu hanya ada di Manor, sebuah tim dengan keterbatasan dana sehingga mengakibatkan performa mobil yang kurang kompetitif.
Padahal secara skill, kalau dilihat secara umum dan kita mau lebih obyektif, Rio tidak jelek. Setidaknya itu ditunjukkan pada balapan di Monte Carlo, Monaco.
Ditengah nyinyirnya media luar negeri yang ngatain bahwa kehadiran Rio di trek tak lebih dari ‘wisatawan trek’, tapi Rio bersama rekan setimnya, Pascal Wehrlein, berhasil finish dengan selamat tanpa crash. Padahal waktu itu trek diguyur hujan.
Sebagaimana kita tahu, Monako memiliki trek jalan raya yang punya kesulitan tinggi. Bukan pembalap sembarangan yang bisa menaklukkan Monako disaat hujan.
Sekiranya itulah permasalahan yang dihadapi Rio Haryanto dan kedua pebalap Asia tenggara yang saya sebut sebelumnya.
Dan, sekali lagi, kita musti belajar dari pernyataan Alexander Yoong, bahwa di Formula 1, duit aja nggak cukup untuk bisa kompetitif.
Sayang seribu sayang, bakat dan kemampuan Rio terganjal dana dan minimnya dukungan pemerintah.