
F1 adalah olahraga. Olahraga otomotif tepatnya. Dengan jadwal sesuai kalender yang ditetapkan FIA, gelaran F1 di helat hampir mengelilingi bumi. Tersebar di lima benua, dan 21 negara.
Mahal? Pasti!
Selain olahraga, hiburan, atau ajang promosi ( seperti yang dilakukan Redbull), atau pada masa lampau British American Tobacco melakukannya dengan mendirikan British American Racing, lalu apa fungsinya?
Buang duit? Tidak.
Mereka yang di Formula 1 itu terdiri dari orang-orang jenius. Selain ahli bidang teknik, ada ahli keuangan, pemasaran. Semua yang dilakukan di Formula 1 sudah ada hitungannya. Semua sudah betul-betul mempersiapkan semuanya. Sehingga tidak ada kata sia-sia atau buang duit percuma. Nggak ada! Ingat, ngomong Formula 1 adalah ngomong jumlah duit mengalir. Dan seharusnya seperti itulah bisnis, tidak ada kata sia-sia untuk setiap Poundsterling yang mengalir.
Lantas untuk apalagi? Ajang riset teknologi. Bener riset. Beberapa teknologi di mobil Formula 1 nantinya akan diaplikasikan di mobil jalan raya. Itulah kenapa tim pabrikan macam Ferrari misalnya, tetap ngotot untuk eksis di sirkus ini. Pengembangan mobil Formula 1 adalah satu kemajuan apabila nantinya betul-betul diaplikasikan di mobil jalan raya.
Seberapa penting ‘riset’ ini? Sangat penting. Saking pentingnya sampai pihak Mercy sempat ogah-ogahan memasok mesin ke mitranya yang telah lama bekerja sama, yaitu McLaren dan mendirikan tim pabrikannya sendiri. Mungkin Mercy takut tersaingi kalau ke depannya McLaren justru membangun pabrikan mobil secara serius seperti layaknya Ferrari.
Lantas teknologi apa saja yang sudah dipakai di jalan raya hasil dari riset Formula 1?
Sistem perpindahan gigi semi-otomatis sekuensial dengan Paddle Shift
Teknologi ini terbukti memudahkan pengemudi yang belum terbiasa dengan mobil manual, tapi menginginkan performa layaknya mobil manual. Artinya, teknologi ini cocok untuk pengemudi yang terbiasa dengan mobil yang memakai transmisi otomatis, dan tidak bisa serta tidak biasa menginjak kopling untuk memindahkan tingkat percepatan yang diinginkan, tapi disisi lain dia ingin sesuka hatinya memilih tingkat percepatan pada mobil.
Lalu jalan tengahnya adalah dengan membuat transmisi semi otomatis. Pengemudi bisa memindah persneling tanpa menginjak kopling. Yang lebih membuat asyik lagi, mobil dengan transmisi semi otomatis ini bisa memindah gigi secara sequential atau berurutan.
Secara sederhananya gini, kalau kita ada di posisi gigi satu, lalu ingin menaikkan ke dua dan seterusnya, tinggal menggeser tongkat perseneling ke depan. Sebaliknya, kalau ingin mengurangi, tarik ke belakang. Hal ini tentu beda dengan transmisi manual konvensional.
Ah, itu kan sudah ada (bahkan) di sepeda motor bebek sejak tahun 70an! Sebelumnya, Porsche Bersama ZF dan Bosch pun sudah riset untuk road car!?
Pertanyaan bagus. Itu bukan itu yang akan kita bahas lebih dalam.
Kita akan bahas bagaimana Ferrari menyempurnakan sistem perpindahan gigi dengan menggunakan Paddle Shift. Yup, setelah diaplikasikan di mobil F1 Ferrari, lalu mulailah Ferrari memasang sistem Paddle Shift di Roadcar mereka, yaitu F355.
Ketika mengendarai Ferrari 355 kita akan merasakan sensasi layaknya mengendarai mobil Formula 1. Mau pindah gigi tinggal colek tuas di balik lingkar kemudi.
Beberapa tahun kemudian setelah Ferrari mengaplikasikan Padde Shift, ramai-ramai produsen mobil ikut membuat Paddle Shiftnya sendiri. Tak hanya supercar, ‘mobil rakyat’ pun menyematkan teknologi dari Formula 1 ini.
” Lebih sporty, ” ujar seorang kawan memberi penilaian terhadap Paddle Shift. Selain memberi feel sporty, Paddle Shift juga memudahkan pengemudi melakukan shifting. Tangan tak perlu berpindah dari ingkar kemudi kalau mau melakukan Shifting.
Aerodinamika
Di mobil F1, aerodinamika adalah nyawa kedua setelah mesin. Peran aerodinamika di F1 ibarat aerodinamika di pesawat. Tapi dengan cara kerja yang berlawan. Kalau aerodinamika pada pesawat digunakan untuk menolak gravitasi, sedangkan di F1 menambah gravitasi agar mobil mendapat grip yang bagus. Saking pentingnya aerodinamika pada Formula 1, apabila ada salah satu perangkat aerodinamika, sekecil apapun itu yang terlepas, maka akan membuat mobil Formula 1 melaju liar tak terkendali.
Saking hebatnya sistem aerodinamika formula 1, apabila jalan dengan posisi terbalik di terowongan Monako pada kecepatan 160 km / jam, maka mobil akan menempel dengan sempurna. Karena pada kecepatan 160 km / jam itu, daya cengkeram mobil akibat perangkat aerodinamika, menghasilkan gaya tekan melebihi berat keseluruhan mobil yang Sekitar 600 kg!
Bisa jadi, banyak yang berfikir ini tidak terlalu penting buat mobil jalan raya. Aerodinamika hanya penting untuk mobil balap semacam Formula 1? Atau kalau pun mobil jalan raya, hanya Supercar.
Itu pandangan awam kita. Tapi produsen mobil tidak main-main dalam merancang aerodinamika pada mobil produksinya. Pabrikan mobil merancang sistem aerodinamika untuk mendapatkan coefficient of drag/daya hambat angin sekecil mungkin.
Selain itu, aerodinamika adalah salah satu faktor penentu stabil atau tidaknya satu mobil. Pada beberapa mobil jalan raya, terutama Ferrari, tiap lekuk body-nya punya fungsi. Tiap inchi dan lekuk body punya pengaruh terhadap kinerja mobil. Konon, spoiler belakang salah satu line up Ferrari, bisa membantu gaya tekan kebawah sebesar 90 kg apabila mobil digeber pada kecepatan 100km/jam. Semakin tinggi kecepatan mobil, semakin terasa melekat ke permukaan aspal.
Result seperti itu didapat setelah Ferrari melakukan riset panjang di lintasan balap dan selanjutnya diaplikasikan pada roadcar Ferrari.
Kelak, bukan hanya sportcar yang merasakan manfaat sistem aerodinamika. Mobil-mobil penumpang pun akan mendapatkan faedah ketika dirancang dengan sistem aerodinamika yang bagus. Semakin bagus sistem aerodinamika, makin aman sebuah mobil. Karena menjamin daya cengkeram (Grip/traksi) ke permukaan jalan lebih baik pula. Manfaat lain, karena coefficient of drag / daya hambat yang kecil, tentu akan membuat mobil hemat bahan bakar.
KERS ( Kinetik energy recovery/Regeneratif system)
Perangkat ini dibuat untuk tujuan sebagai energi induksi. Artinya, menyimpan daya mesin yang berlebihan di saat yang tidak tepat untuk dipakai sebagai cadangan ketika kendaraan membutuhkan daya lebih, untuk berakselerasi misalnya. Sedangkan daya berlebih yang tidak dibutuhkan adalah ketika mobil melakukan deselerasi atau pengereman.
FIA mengenalkan KERS pada musim 2009 dengan alasan isu ramah lingkungan. Pendek kata, di dunia otomotif, kalau mobil mau kencang ya (Kubikasi) mesin harus besar. Kalau mesin besar berarti ya meminum banyak bahan bakar. Nah FIA saat itu cari solusi bagaimana membuat tim-tim kontestan tetap kencang sekaligus ramah lingkungan. Perangkat KERS inilah yang nantinya ‘bertanggungjawab’ pada penambahan tenaga saat akselerasi tanpa membakar banyak BBM. Itulah yang selanjutnya dinamakan energy induksi.
Tim-tim kontestan langsung merespon positif. Mereka riset untuk mobil rancangan mereka.
Sedangkan KERS yang dimaksud dibagi dua berdasarkan cara/prinsip kerjanya.
Cara kerja pertama adalah dengan sistem mekanikal yang memanfaatkan fly wheel atau roda gila. Cara kerja ini seperti yang puluhan tahun lalu pada arloji dengan teknologi kinetic. Energi berlebih itu ditampung pada roda gila, dan akan dipakai menginduksi/menambah daya mesin kala butuh energi besar.
Sedangkan metode elektrik adalah, sisa putaran mesin dipakai memutar dinamo yang mengisi baterai, selanjutnya bateri ini nantinya yang akan memasok tenaga untuk motor listrik yang membantu mesin internal combustion bekerja, atau bahkan kerja secara mandiri sebagai mesin listrik yang senyap dengan daya jangkau tertentu. Kalau daya pada baterai habis, mesin internal combustion bekerja kembali secara normal. Dan seperti yang sudah dijelaskan, pada momentum tertentu, saat pengereman, baterai untuk menggerakan mesin listriknya terisi seiring dengan tiap pengereman yang dilakukan.
Cara kerja terakhir yang disebut itulah yang dipakai pada mobi hibrida. Yaitu mobil yang ditenagai dua mesin. Satu mesin internal combustion, satunya lagi mesin listrik. Dengan begitu mobil akan lebih bertenaga tapi tetap sangat efisien. O ya, ada yang menarik dengan mesin hibrida yang memanfaatkan KERS. Yaitu justru lebih hemat bahan bakar di kemacetan daripada di jalan bebas hambatan. Karena di tengah kemacetan mesin lebih sering melakkan pengereman ( Regeneratif) Tentu saja hal ini cocok untuk mobil-mobil perkotaan yang sering stop and go.
Sedangkan pada mobil full electric, KERS adalah tenaga kedua setelah baterai utama. Karena tugas utamanya adalah memasok tenaga listrik tambahan ketika mobil melakukan pengereman.
Jadi jelas, di Formula 1 nggak ada yang sia-sia. Riset trilyunan rupiah itu kelak membawa manfaat untuk kehidupan umat manusia.