Pria Inggris ini memang tak pernah mengenyam juara dunia. Tapi namanya ikut melegenda bersama Sederat nama pria Inggris lain yang ikut dalam panasnya kompetisi Formula 1.
Namanya melegenda karena jiwa sportif yang kental setiap dia mengikuti kejuaraan.
Seperti pembalap masa lalu, masa Formula 1 klasik, Moss sepanjang karier formula 1 ‘hanya’ mengikuti 66 kali balapan.
Hmm…kalau ikut balapan era hibrid, berarti moss cuma ikut sekitar 2.5 musim, atau paling banyak 3 musim. Sedangkan jumlah balapan 66 kali, dijamannya, perlu menghabiskan 10 musim.
Jumlah start sejumlah itu, bukan berarti keberadaan Moss tiada arti. Moss sempat menjadi penantang gelar buat beberapa pembalap hebat.
Di jamannya, Moss cukup membuat repot Fangio, Ascari, bahkan ketika Mike Hawthorne menjuarai musim 1958 hanya terpaut satu poin dengannya.
Sempat 16 kali menempati pole position, 16 kali memenangkan balapan, tapi Moss belum mampu meraih gelar kejuaraan sekalipun. Prestasi tertingginya adalah Runner up pada tahun 1958, sebagai mana kita sebut, saat itu Hawthorne memuncaki seri dan selanjutnya pensiun.
Tapi buat Moss, the show must go on. Moss melanjutnya kariernya, dan menempati peringkat tiga selama tiga musim berturut-turut, terhitung sejak 1959, 1960 dan 1961. Inilah kenapa banyak media menyebut Moss kayak ditempatkan sebagai pembalap legendaris.
Tentu saja hal itu menunjukkan bahwa Moss sebetulnya adalah pembalap yang cukup kencang. Soal gelar yang belum sempat dicicipi, itu hanya soal keberuntungan. Tapi yang jelas, sebagai pembalap, Moss tentu punya effort yang tinggi untuk menang, walau hal itu belum pernah tercapai sampai dia mengakhiri karier ditahun 1961. Itulah Moss, dia pun mengakhiri karier dengan tetap berada di ‘puncak’ kariernya. Moss tidak sampai terpuruk di akhir kariernya.
Awal karier
Sebagaimana dikutip dalam otobiografi yang ditulis bersama Alan Henry, salah satu jurnalis top dari majalah Motorsport, Henry menuliskan, bahwa dia mengawali nyetir diusia sembilan tahun dengan mobil Austin 7 hadiah dari sang ayah.
Sang ayah, Alfred Moss, merupakan orang yang berkecukupan sehingga punya kesempatan balapan di era 1920.
Setali tiga uang dengan apa yang pernah dialami Lewis, Moss juga pernah mengalami Bullying karena soal rasialisme. Tak lain maraknya beberapa masyarakat yang anti Yahudi saat itu. Sebagai anak yang punya darah Yahudi dari pihak kakek, Abraham Moses Moss.
Akibatnya, Moss menjadi malas ke sekolah. Beberapa kali Moss pindah sekolah untuk menghindari kasus perundungan.
Toh Moss selalu berusaha menyembunyikan masalah itu dari orang tuanya. Setelah sekian lama mengalami peoetangaj batin, Moss berhasil berdamai dengan diri sendiri, dan mengubah perundungan untuk dijadikan titik balik bagi kesuksesan.
Mengalami masa muda di era pernah dunia 2 harusnya Moss turut bela negara ke medan perang. Tapi beberapa masalah kesehatan yang di derita, Moss luput dari kewajiban itu. Termasuk terhindar pula dari wajib militer dua tahun setelah perang usai. Sedangkan soal kesehatan yang dimaksud adalah radang ginjal.
Asyik di bangku sekolah tanpa ikut wajib militer, Moss harus sering berlarian mencari tempat berlindung tatkala sirine meraung-raung di masa perang Inggris berlangsung.
Sedangkan karier adu cepat dimulai setelah perang dunia usai pada tahun 1948. Dua tahun sebelum dibuka untuk pertama kalinya (1950).
Ajang yang diikuti saat itu diantaranya adalah Cooper 500, RAC Tourist Trophy, Alpine Rally, Goodwood Trophy, dan British Formula Three.
Pada saat Formula 1 di buka untuk pertama kali pun, Moss tidak serta Merta masuk ajang bergengsi tersebut. Debut awal masuk Formula 1 diikuti setahun setelah Formula 1 di gelar (1951).
Memulai debut Moss masuk di Tim HWM Alta.
Tim ini ini adalah tim Inggris, dan merupakan divisi dari Aston Martin. Di tim inilah karier Moss berawal. Moss melakoni debut pertamanya di GP Swiss, tepatnya di Sirkuit Bremgarten. Tapi mobil HWA ternyata masih kalah jauh dengan mobil-mobil rival. Dan balapan berakhir dengan Moss finish di urutan ke 14. Bahkan Moss kesulitan untuk mendapat 10 besar.
Saat itu sebagai kampiun seorang dari Argentina, Juan Manuel Fangio. Posisi keduanya di tempati oleh Nino Farina. Sedangkan podium ketiga Luigi Villoresi. Tak ada satu pun pembalap Inggris yang berhasil naik podium.
Setahun balapan, Moss hengkan ke tim lain. ERA nama tim itu. ERA adalah sebuah tim yang mengadopsi mesin Bristol BS1. Tentu saja performa tim ini jauh dari tim-tim Italia yang saat itu mendominasi.
Tapi bukan tanpa alasan Moss memilih tim ini. Baginya, lebih baik berada di tim Inggris walaupun kalah, daripada di tim lain, kendati menjanjikan kemenangan.
Sikapnya ini adalah buntut dari perlakuan Enzo Ferrari. Ceritanya, ketika itu (tahun 1951) di awal mau memuai karier, Enzo menawarkan Moss untuk mengemudi salah satu mobil Ferrari untuk turun di ajang Formula 2. Gayung pun bersambut. Tentu saja Moss gembira mendapatkan kesempatan hebat ini. Maka dia bersama ayahnya pergi ke Puglia. Anda tahu, berapa jarak Puglia dari London? 1367 mil!!
Untuk jaman sekarang, dengan mobil canggih dan jalanan bagus pun masih harus di tempuh dengan waktu kurang lebih 22 jam. Apalagi jaman itu ya.
Nah, sesampainya di Puglia, ternyata mobil yang dijanjikan itu tidak ada. Satu-satunya mobil adalah yang dipakai balapan Piero Taruffi.
Tanya kesana kemari, rupanya tak satupun bisa memberikan jawaban yang diinginkan. Mereka, Moss dan ayahnya, gondok bukan alang kepalang. Moss menyimpan kesumat terhadap Enzo. BUkan hanya Enzo, tapi seluruh pabrikan diluar Inggris.
Akhirnya Moss mengatakan, bahwa dia tak akan pernah membalap untuk tim lain. Namun akhirnya sikapnya itu luluh melalui beberapa pendekatan dan nasihat para penyandang dana. Mereka, para sponsor itu tampak prihatin dengan kondisi karier Moss yang tak kunjung membaik.
Akhirnya, pada tahun 1954 Moss hengkang ke Maserati dengan menggunakan Maserati 250F. Moss bisa masuk tim Italia ini berkat dukungan dana dari dua sponsor utamanya, Shell Mex dan BP. BP adalah British Petroleum. Sebuah perusahaan minyak dan gas asal Inggris. Mungkin kalau bukan dengan nasihat BP, Moss tak akan pernah mau masuk tim Maserati.
Dan benar, karier Moss meningkat disana. Stuart Codling, salah satu penulis di majalah Motorsport mengatakan, Moss sangat enjoy dengan Maserati. Moss bisa unjuk gigi, bisa merasakan betapa performa Maserati sangatlah bagus.
Sekalipun di kancah Formula 1 per tahun 1954 Cuma bisa ngerasain sekali podium ( urutan 3), tapi setidaknya diajang lain Moss bisa meraih prestasi yang jauh lebih bagus. Diantaranya kemenangan pada Goodwood Trophy dan International Gold Cup.
Pada tahun berikutnya, tampaknya semakin mementahkan idealisme dan patriotisme Moss yang fanatik hanya ke tim Inggris. Moss pindah lagi, bukan ke tim Inggris. Melainkan ke Mercedes. Dengan mengendarai W196, Moss setidaknya naik podium tiga kali musim itu. Salah satu kemenangannya di raih di kandangnya sendiri, GP Inggris ( Sirkuit Aintree, Liverpool) di awal musim.
Diakhir musim, terjadi battle seru antara Moss dan Fangio yang merupakan rekan setimnya sendiri. Pada kesempatan itu juga Moss berhasil ngeledek Enzo dengan mengasapi dua pembalap Ferrari, Eugenio Castellotti dan Maurice Trintignant. Diakhir balapan Moss naik podium dengan posisi runner up, sementara Fangio menjadi pemenang balapan.
Selain di Formula 1, Moss juga ikut bertarung di arena Mille Miglia. Sebuah ajang kejuaraan ketahanan seperti Le Mans yang di helat di Italia. Moss memulai balapan disini sejak 1951, hampir berbarengan dengan kiprahnya di Formula 1. Kurun waktu itu sampai dengan 1955 belum pernah merasakan kemenangan.
Dan bersama Maserati dan Navigator Denis Jenkinson, akhirnya Moss memenangkan kejuaraan itu. Sebuah kenangan yang luar biasa manis.
Sedikit informasi mengenai Mille Miglia. Sebagaimana balap ketahanan, mereka melakukan balapan secara nonstop. Perbedaannya, kalau di Le Mans 24 jam, maka di Mille Miglia hanya sampai 10 jam. Total jarak yang harus diselesaikan adalan 1500 Km meter. Garis start berada di kota Brescia, dan berakhir di kota Roma, Italia.
Satu perbedaan mendasar antara kedua ajang ini adalah, Le Mans diadakan di sirkuit, sedangkan Mille Miglia menempuh jarak antar dua kota.
Moss, dala biografinya mengatakan, bahwa ajang ini jauh lebih menantang di banding Le Mans. Dimana mereka berada dalam mobil selama 10 jam ditengah jalanan dua kota yang di lewati. Tingkat stress lebih tinggi disini. Dimana mereka harus melewati trek yang bleum di kenal dengan baik. Tentu saja trek yang dilewati pun sama sekali beda dengan trek sirkuit.
Tantangan lain yang musti dihadapi pembalap adalah kehadiran penonton yang memadati pinggiran jalan sepanjang jalur. Mereka nusti hati-hati melewati gerombolan penonton ini. Teknik mengemudi sangat dibutuhkan disini.
Sementara meolncat tiga tahun setelah itu, teoatnya tahun 1958, dimana itu adalah penghujung karier Mike Hawthrown, kompatriotnya, dan ketika Hawthrown memenangkan kejuaraan, Moss berada di runner up dengan perbedaan hanya satu poin balapan!
Dimasanya, Moss dikenal sebagai pembalap yang sportif dan jujur. Hal ini tergambar,salah satunya, pada kejadian GP Portugal yang digelar di sirkuit Boavista per 24 Agustus 1958. Saat itu Hawthorn mengalami insiden kecelakaan pada lap 48.
Mesin Hawthorn mati. Saat hendak menyalakan mesin, Hawthorn mengalami kesulitan, karena tikungan itu di posisi menanjak. Akhirnya Hawthorn nekat memutar mobilnya berlawanan arah agar supaya mobilnya bisa jalan di turunan. Berhasil, mobil Hawthorn menyala lagi.
Pengawas lomba yang memergoki insiden itu menganggap bahwa itu satu pelanggaran. Akhirnya Hathorn yang finish di belakang Moss di diskualifikasi dari balapan. Saat pertemuan pada malam harinya yang membahas masalah itu, Moss memberikan kesaksiannya. Moss mengatakan bahwa Hawthorn mendorong mobil di tepian lintasan, mash di area trek bukan di luar trek.
Akhirnya pihak penyelenggara membatalkan diskualifikasi yang dijatuhkan pada Hawthorn. Sikap yang luar biasa. Padahal seandainya Moss mau diem-diem bae, tentu gelar untuk tahun 1958 ada dalam rengkuhannya.
Satu sikap yang sangat jarang bahkan kalau mau mencari, mungkin peluangnya 1:1000!
Prestasi Moss lainnya adalah ketka pada tahun 1957 memecahkan rekor di Bonneville Salt Flats. Sebuah ajang untuk menguji kecepatan mobil. Saat itu dengan menggunakan MG EX 181 Moss menembus kecepatan 245,64 Mile per jam!
Musim 1961 adalah musi terakhir Moss di Formula 1. Pada tahun 1962, Moss tidak ada nama Stirling Moss diantara deretan kontestan. Saat itu Moss beralih sudah profesi menjadi KOmentator Formula 1 dan NASCAR untuk siaran internasional saluran ABC.
Tapi jiwa balapnya memberontak.
Karena beberapa tahun kemudian Moss kepergok mengikuti ajang Rally. Yang paling mencolok terlihat adalah ketika dia mengikuti Rally dunia London-Sahara-Munich pada tahun 1974. Moss nyetir Mercedes 280 SE dengan Co. Driver Taylor Mike, walau Moss tidak bisa meneruskan lomba. Moss retired di Sahara Alzajair.
Jauh-jauh melompat ke kejadian terakhir Moss di sirkuit bersama Lewis Hamilton!
Ini kabar serius!
Tapi Moss yang saat itu sudah sepuh, ada di sirkuit Monza, lengkap dengan atribut balapnya ala tahun 50 an ketika dia masih aktif membalap. Peristiwa itu terjadi pada pertengahan Mei 2015. Dengan mengendarai Mercedes Benz 300SLR Streamliner, Moss mengitari Monza bebrapa lap. Moss tampak ingin mengobati kerinduannya pada dunia adu cepat.
Tentu saja ini penghormatan luar biasa buat Lewis Hamilton, sang legenda yang secara usia pantas jadi cicitnya. Di momen indah itu tampaknya Lewis tidak ingin menunjukkan apapun berkaitan dengan kemampuan membalapnya. Bahkan tidak brusaha untuk lebih cepat dari Moss. Beberapa kali Lewis mengimbangi mobil Moss agar mereka bisa sejajar dan bisa ngobrol ringan. So sweet!
Rupanya itulah momen terakhir dan terindah buat Lewis bisa di trek bersama pembalap paling sportif itu. Karena pada tahun 2020, tepatnya tanggal 12 April, Stirling Moss menutup usianya.
Sampai sekarang, Moss tetap dianggap pembalap yang menjadi bagian dari legenda Formula 1 asal Inggris. Moss bukannya tidak bisa juara. Tapi ‘buang waktu’ di karena idealism dan sakit hati pada Enzo Ferrari membuat kariernya sedikit terhambat.
Kalau saja Moss saat itu mau masuk tim negara lain selain tim Inggris, tentu akan beda cerita.
Sepanjang kariernya Moss, dari 1948 sampai 1962, telah memenangkan 194 dari 497 races yang ia ikuti, termasuk diantaranya 16 kemenangan di ajang Formula One Grands Prix. Jika ditotal dengan ajang yang tidak resmi, Moss telah turun di 525 balapan, termasuk diantaranya 62 kali balapan dalam satu musim dengan 84 mobil yang berbeda.
Ia meninggal dunia setelah mengidap penyakit untuk cukup lama. Kini dunia pun mengenang, bahwa dahulu kala, ada seorang pembalap jujur. Nggak tahu kalau sekarang..