Pria yang sepintas mirip Paul Walker ini sangat serasi bersanding dengan wanita ini. Tapi tahukah, bahwa wanita bernama Tamara ini pernah menyemprotnya. Tak berhenti disitu, di beberapa media, Tamara menyebut Jenson Button, nama pria ini, tak pantas juara dunia!
Kejadian itu bermula dari satu kejadian ketika Tamara menjadi broadcaster untuk Sky Sport. Satu saat, dia ditugasi mewawancarai Jenson Button.
Button saat itu baru merebut gelar juara dunia tahun 2009. Di tengah-tengah wawancara, tiba-tiba ponsel Jenson Button berdering. Dengan santainya Button menerima panggilan itu. Tamara mengangkat bahunya kesal dan berkata, “Dude, I’m sitting here, what are you doing?!”
(” Cuy, gue disini, loe ngapain?!” )
Kesal, pastinya. Jurnalis biasa pun akan tampak sangat tersinggung dengan sikap seperti itu. Apalagi, saat itu ayah Tamara masih menjabat sebagai Supremo di F1.
Tambah! Ngerasa benar, dan anak dari seorang pucuk pimpinan. Meradang lah.
Terlepazs dari itu semua, latar belakang Jenson sangatlah menarik untuk dibahas. Bisa untuk motivasi, bisa juga untuk bahan referensi yang kelak menginspirasi.
Turun di Formula 1 adalah sebagai bagian dari idealism, buat seseorang. Bisa juga karena sudah terbiasa dengan dunia yang identic dengan para pria ini. Karena sejauh ini memang belum pernah ada pembalap perempuan kecuali seorang bernama Danica Patric, yang dulu sempat menjalani test drive bersama Mclaren, namum kemudia lebih memilih ajang Indycar.
Tapi bukan itu yang akan kami sajikan disini. Itu tadi hanyalah selingan yang mengemukakan alasan bahwa sampai saat ini belum pernah ada pembalap perempuan. Kalau pun ada, ya dia tadi, Danica, dan Danica lebih memilih Indycar.
Sedangkan yang akan jadi pokok pembahasan kali ini adalah seorang Inggris putra dari John Button yang bernama Jenson Button. Bungsu dari empat bersaudara, ayahnya bekerja sebagai eksekutif swasta, dengan golongan ekonomi menengah di Inggris.
Ayah Jenson, John, sesekali ikut ajang Reli. Tapi bukan sekelas WRC. Melainkan sebuah sprint Rally, gitu. Dari sinilah cikal bakal kecintaan Jenson Alexander Lyons Button, nama lengkap pria yang akrab di sapa dengan panggilan Jense ini. Sebagain orang lagi menyebut dia JB. Tapi apalah arti nickname, hanya sekedar panggilan. Yang terpenting adalah kiprah Jenson yang seperti kebanyakan pria Inggris yang berprestasi, dia mendapat gelar dari kerajaan Inggris. Gelar Jense yang di dapat dari kerajaan Inggris adalah MBE atau Most Excellent Order Of The British Empire.
Kisah hidup Jense tak manis-manis amat, karena ditengah perjalanan rumah tangga orang tuanya, dia terpaksa harus mengalami pahitnya perceraian dari orang tuanya.
Jenson kecil, sempat ugal-ugalan dengan sepeda motor sebelum akhirnya sang ayah menghadiahkan satu unit Gokart. Hmm…like another British Story. Artinya, cerita kebanyakan orang Inggris yang kelak mengharapan anaknya turun sebagai jagoan di medan balap. Seperti halnya kisah Lewis Hamilton. Tapi bukan seperti kisah James Hunt, karena keluarga Hunt tak merestui kiprah Hunt di dunia balap.
Dan Jense, adalah sosok anak yang sedikit beruntung, karena masih mendapat satu unit Gokart dari sang ayah. Itu jauh sebelum keluarga John Button berantakan yang membuat Jense akhirnya juga ikut menanggung beban keuangan keluarga besarnya, kelak, setelah dia berhasil.
Mengenai hadiah Gokart itu, sebetulnya Jense sedikit memberi pressure pada sang ayah. Jense saat itu megembalikan motor pocket itu kepada ayah, dia bilang, “ This is not fast enough!”
Kalimat itu membuat John sadar, bahwa Jense punya jiwa balap. Akhirnya sang ayah memberi unit Gokart yang akhirnya dipakai Jense di usia yang ke delapan. Setahun akrab dengan Gokart, akhirnya Jense berhasil menjuarai seri kejuaraan British Kart Superprix apda usia 9 tahun!
Rupanya itulah jalan Jense menuju sukses yang berkelanjutan, sampai usia 13 tahun, Jense langganan juara berbagai balapan Gokart. Bahkan di usia yang kesebelas, Jense sudah berhasil menyabet 34 kemenangan dalam kancah British Cadet.
Tahun 1994, saat itu usia Jense menginjak 14 tahun. dia ngerasa harus naik level ke seri British Junior Kart. Di awal karier di kelas ini, Jense terlempar di posisi empat. Tapi ini bukan berarti karier Jense kecil memburuk. Kalah disini, Jense menjuarai seri lain, yaitu Junior Intercontinental A European serta Junior Intercontinental A Italian Winter Kart.
Kemenangan demi kemenangan diraih sampai setidaknya tahun 1998, diantaranya pemegang rekor runner up termuda pada seri World Formula A Kart. Sedangkan di ICA Italian Kart dia turun di level senior dan juara disana.
Tahun 1998 merupakan tahun terakhir Jense di dunia Karting. Jense merasa sudah cukup punya bekal untuk naik ke kelas selanjutnya. Apalagi kalau bukan mobil Formula. Tujuan pertama adalah British Formula Ford dan Formula Ford Euro Cup.
Satu angkatan bersamanya di kelas ini salah satunya adalah Dan Wheldon. Pembalap Inggris yang melakoni Formula Junior, tapi selanjutnya melangkah ke jenjang tertingginya di Indycar, bkan Formula 1 seperti kebanyakan orang Inggris. Entah apa yang di pikiran Wheldon sampai turun di openwheel yang kurang populer itu, dan akhirnya meninggal dalam sebuah kecelakaan di ajang IZOD Indycar world Championship 2011 yang di gelar di Las Vegas Motor Speedway.
Tahun 1999, Jenson melanjutkan ke Formula 3 setelah sebelumnya menyabet Autosport BRDC Award, sebuah penghargaan yang diberikan oleh Aston Martin untuk pembalap muda Inggris.
Di British Formla 3 International series, Jense menggeber mobil Dallara bermesin Renault yang payah. Begitu pun Jense masih sanggup mencatatakan kemenangan di tiga balapan. Diantaranya di Thruxton, Pembrey, dan Silverstone. Jense tak ingin berlama-lama lagi di kelas ini. Prestasi terbaiknya diraih bersama tim Promatecme ketika berhasil menyabet posisi tiga. Gelar Top Rookie pun diraih di tahun ini. Tapi Jense tampaknya tak ingin memperpanjang kariernya di Formula 3. Dia ngerasa harus melanjutkan kariernya di ajang yang lebih tinggi.
Rezeki nggak kemana, pada acara Gala Dinner FIA yang di helat 15 Desember 1999, Frank Williams mendengar desas-desus mengenai Jense melalui seorang undangan yang hadir. Dia mengatakan segala kehebatan Jense. Dan berniat meminangnya untuk masuk tim ( Williams). Sebagiamana kita semua tahu, bahwa saat itu Williams adalah tim yang moncer. Williams, sejauh itu, sudah memenangkan setidaknya Sembilan gelar konstruktor serta tujuh gelar pembalap. Tentu saja bisa masuk Williams adalah gengsi tersendiri. Dan Jense saat itu merasa hanya mimpi ketika Frank Williams menawarkannya kursi di tim. Frank langsung menelpon Jense dan mengajak test drive pekan depannya. Selain Jense, ada dua pembalap lagi yang melakoni tes. Yaitu Bruno Junqueira, pembalap Brazil. Dan Jorg Muller, seorang Jerman.
Banyak pihak merasa terkejut dengan pilihan Frank dengan memilih Jense. Tapi hal itu tidaklah sesuatu yang mengherankan. Sebagai seorang Inggris, tentu Frank akan lebih suka pembalap Inggris untuk menemani seorang pembalap Jerman yang di syaratkan oleh BMW yang saat itu terlibat kerjasama dengan Williams.
Entah dengan sepengetahuan Frank atau tidak, tapi sebulan sebelumnya sudah ada dua tim yang ‘naksir’ Jense. Ron Dennis, memberikan kesempatan untuk mengetes Mclaren MP4-13, dan terkesan dengan skill Jense. Selain Mclaren, Prost juga menawarkan kursi. Tapi bukan untuk Formula 1. Melainkan skuad Formula 3000, lalu akan menempatkan Jense sebagai test driver di Prost F1.
Tentu saja Prost menolak mentah-mentah tawaran Alain Prost.
Disisi lain, manajer dan mentor Jense juga menolak tawaran Ron Denis.
Singkat cerita, mulailah karier pertama Jense di Formula 1. Sirkuit Albert Park, Melbourne menjadi saksi sejarah awal Jense mengemudikan mobil Williams FW22. Berpasangan dengan Ralf Schumacher yang lebih berpengalaman, Jense memikul harap rakyat Inggris yang mengharap ada seorang pembalap Inggris menjadi juara dunia, seperti yang dilakukan oleh Damon Hill empat tahun sebelumnya (1996).
Usia Jense saat itu baru 20 tahun. perjalanan masih sangatlah panjang. Saat itu 20 tahun terjun di Formula 1 adalah usia yang masih sangat muda. Prestasi terbaik adalah saat Jense menempati posisi tiga pada kualifikasi. Tapi sayang, perolehan 12 poin diakhir musim serta gelar Rookie of the year tidak membuat Frank Williams mempertahankan Jense di tim.
Sebagai gantinya, Juan Pablo Montoya menemani Ralf Schumacher.
Pada 2001, Jense pindah ke Benetton.
Sedikit sejarah tentang Benetton, tim ini pada pertengahan 90 an mengantarkan Michael Schumacher juara dunia dua kali dengan mesin Renaultnya. Bebrapa orang tahu nama Benetton adalah label pakaian ternama. Yup, tak salah. Tim ini didirikan pada tahun 1986. Keluarga Benetton sebagai produsen pakaian ingin mempromosikan dagangannya di kancah glamour ini untuk menaikan ‘posisi tawar’ untuk merk pakaiannya.
Maka di belilah Toleman dari Ted Toleman. Mereka lalu mengubah namanya jadi Benetton. Kurang lebih delapan sampai Sembilan tahun berkiprah, tim ini mendulang hasil dengan ‘orang-orang hebat’ di dalamnya. Disana ada Rory Byrne, Ross Brawn, dan Michael Schumacer. Bersama mereka mereka itulah tim ini mengangguk gelar juara pembalap di 1994, serta setahun kemudian di musim 1995, mereka berhasil mengawinkan titel pembalap dan konstruktor.
Saat mengantar kemenangan pertama Schumy, mereka masih menggunakan mesin Ford. Dan kemenangan kedua Schumy di tenagai oleh mesin Renault. Menggunakan mesin Renault sampai tahun 1997, tahun 1998 Benetton menggunakan mesin dengan labe Playlife.
Meskipun Playlife adalah sekedar rebrand dari Renault, tapi pemberian label ini menunjukan bahwa peran Renault disini hanya sekedar pemasok mesin. Karena Renault, secara pabrikan, sudah mundur dari Formula 1 sejak tahun 1985. Selanjutnya, mereka turun sekedar jadi pamasok mesin.
Dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2000, Benetton digerakkan oleh mesin berlabel Playlife, pada tahun 2001 label Renault kembali disematkan pada mobil Benetton B 201. Kabar santer terdengar, pada tahun ini Renault membeli saham Benetton.
Dan di masa inilah Jense masuk tim. Tanda bahwa mereka, Renault, kana turun sebagai tim pabrikan penuh benar-benar terjawab ketika pada tahun 2002 mereka merubah nama menjadi Renault F1 team.
Pada awal masuk tim, saat nama Benetton masih disematkan, Jense kedodoran. Berpasangan dengan pembalap Italia, Giancarlo Fisichella, Jense masi merasa kesulitan beradaptasi dengan handlin B201. Sementara Fisi, penggilan akrab Fisichella, meraih sukses podium ketiga di GP Belgia.
Rupanya turunnya Renault secara all out sebagai tim pabrikan, membawa dampak yang cukup signifikan terhadap perjalanan Jense. Kali ini rekan setim masih seorang Italia, tapi bukan Fisi, melainkan Jarno Trulli. Penampilan Jense yang membaik, sempat berada di grid depan punya peluang podium di GP Malaysia, sebelum akhirnya sang superior, Michael Schumacher mengalahkannya.
Saat itu, Jense belum ketemu tim yang tepat. Perjuangannya maish terus berlanjut, kemampuan balapnya terganjal karena berada di tim yang kurang kompetitif. Tapi bakat Jense dilirik banyak tim-tim lain. Karena musim 2002 adalah musim terakhirnya di Renault.
Williams saat itu masih mempertahankan pembalap Kolumbia-nya ( Juan Pablo Montoya) dan tak ada tanda bahwa akan merekrut Jense.
Berpartner dengan Jacques Villeneuve di tahun 2003 di tim BAR bukanlah hal ringan. Berkaitan dengan gaya JV yang cenderung menekan habis rekan setim. Label bahwa wajah Jense mirip boy band sempat dilontarkan oleh JV. Tapi Jense cuek. Toh kerja keras yang menjawab ucapan pedas JV. Karena diakhir musim faktanya Jense tetap unggul dengan perolehan poin 17 poin. JV cabut dari tim karena beberapa perselisihan dengan tim.
Sampai pada tauhn 2005 berada di tim, tapi BAR masih gitu-gitu saja, belum ada tanda membaik, membuat Jense sempat berkeinginan pidah ke Williams. David Richard sempat gusar dan sedikit bermasalah dengan Frank Williams. Tapi akhirnya masalh itu selesai dengan baik dan Jenson tetap membalap sepanjang 2005 di BAR, bahkan sampai akhirnya tim ini berganti nama jadi Honda Racing F1 team yang meunjukan bahwa tim itu murni pabrikan Honda.
Mengawali musim dengan kejadian yang menyesakkan dada pada GP Australia, mesin Hondanya meledak beberapa meter menelang garis finish, padahal saat itu dia ada di posisi tiga, dan pada kualifikas berhasil merebut pole.
Krisis keuangan dunia pada tahun 2008 membuat Honda musti menghemat anggaran. Salah satunya dengan memangkas anggaran yang kurang perlu. Dan keterlibatan di Formula 1 di nilai nggak perlu-perlu amat. Demi alasan itulah Honda mundur.
Tim di ambil alih oleh Ross Brawn. Jense masih bertahan. Kali ini berpasangan dengan Rubens ‘the wing man’ Barrichello. Nama tim berubah menjadi BrawnGP. Mesin Honda digantikan unit dari Mercedes. Jadi di grid ada dua tim dengan label Mercy. Pertama, Mclaren, yang mengantarka Lewis Hamilton juara dunia 2008. Kedua, BrawnGP yang merupakan tim ‘baru’.
Tim baru, peruntungan baru. Walau tim ini ‘sedikit’ memaksa, akrena musti berhemat sana-sini karena anggaran yang terbatas, toh di tangan Brawn, tim ini adalah salah satu tim yang di segani sekaligus memjadikan alasan julid beberapa tim besar.
Penemuan dual diffuser oleh Ross Brawn menjadikan mobil BrawnGP BGP 001 luar biasa cepat. Jense bahkan berhasil memenangi enam balapan diawal! Hanya di GP China (balapan ketiga), jense podium 3.
Diakhir musim Jense memastikan menggondol gelar juara 2009 dengan total perolehan poin 95, serta di bawahnya ada Sebastian vettel dengan Redbull bermesin Renault-nya, dan Rubens Barichello menempati urutan ketiga klasemen.
Sayangnya, sehabis menjuarai gelar pada 2009, Jense memutuskan hengkang dari BrawnGP. Di tahun berikutnya BrawnGP beralih kepemilikan Mercedes.
Tahun 2010 sampai tahun 2017 Jense membela Mclaren, dan akhirnya tersiar kabar bahwa Jense gabung dengan Williams, tim pertamanya yang kini sudah ganti kepemilikan. Di Williams, Jense bertindak sebagai penasihat senior.
Meskipun hanya sekali memenangi gelar juara, tapi kehadiran Jense cukup membekas di hati para penggemar.