Pada masa GP500, perkembangan mesin mengalami banyak perkembangan. Diantaranya adalah lahirnya konfigurasi mesin V4, mesin bertenaga yang punya bentuk lebih compact.
Selain itu lahir juga sistem pengapian big bang, screamer, oval silinder, crosplane camshaft dan lain sebagainya.
Pada masa GP500, semua pabrikan lebih berfokus menaikan tenaga mesin daripada bagian-bagian lain motor seperti chasis ataupun elekronik.
Akibatnya, tenaga mesin menjadi terlalu besar untuk diseimbangkan dengan performa chasis, ban dan rem.
Ditambah dengan karakteristik motor dua tak yang tidak punya karakter penyaluran tenaga yang linear, menjadikan perilaku motor sulit ditebak.
Menjadikan GP500 memasuki era yang dinamai “The Unrideable” dimana motor sulit dikendarai, banyak pembalap yang mengalami kecelakaan besar dan pensiun akibat kompilasi cedera yang mereka alami.
Beberapa pembalap bahkan ada yang berakhir cacat dan ada pula yang tidak selamat. Karena itu pada akhir 90an sampai 2000an awal sebelum berpindah ke mesin empat tak, arah pengembangan motor lebih ditekankan untuk mengimbangi mesin yang sangat bertenaga.
Era “The Unrideable” membuat peta persaingan tidak terlalu merata, karena hanya pembalap yang punya skill special lah yang bisa membawa motor ke depan.
Karena membosankan, popularitas Motogp bahkan bisa disaingi oleh WSBK yang kala itu adalah kejuaraan yang baru lahir.
Kini Motogp punya permasalahan yang sama dengan era “The Unrideable”. Motor Motogp kini kembali susah dikendarai, namun kali ini bukan mesin yang menjadi penyebabnya.
Aero Dinamika Motor
Aero dinamika Motogp sekarang berasal dari pengembangan winglet yang mulai marak dipakai pada tahun 2015-2016.
Winglet dan aero fairing awalnya digunakan oleh Ducati untuk mengatasi permasalahan motor mereka yang sulit berbelok.
Seiring waktu, pabrikan lain mulai melihat keuntungan penggunaan winglet dan aero fairing untuk motor mereka, sehingga banyak pabrikan yang kemudian mereplikasi terobosan Ducati ini.
Pada era winglet generasi pertama, yakni pada tahun 2015-2016. Keberadaan winglet belum menimbulkan permasalahan pengendalian motor.
Sebaliknya banyak pembalap yang mendorong pabrikan untuk membuat winglet. Hal ini karena winglet generasi pertama ini bentuknya sangat sederhana dan hanya ditempatkan dibagian depan motor.
Winglet generasi pertama ini kemudian dilarang karena dianggap membahayakan pembalap jika terjadi sentuhan.
Bentuknya yang pipih dan tajam untuk membelah angin menjadi alasan kuat winglet generasi pertama ini dilarang.
Selanjutnya muncul aero fairing untuk mengembalikan keuntungan dari winglet namun tetap memuaskan regulasi keamanan pembalap.
Aero fairing ini juga awalnya punya bentuk yang sederhana, namun kini semakin berkembang dan menjadi semakin rumit.
Dampak dari aero fairing ini sekarang menyebabkan balapan menjadi membosankan.
Pertama karena motor menjadi lebih lebar dan pembalap harus menghindari kontak dari pembalap lain, agar mencegah aero fairing mengalami kerusakan.
Jika aero fairing mengalami kerusakan, maka daya serap dari aero fairing motor menjadi tidak berimbang, akibatnya motor menjadi sulit dikendarai.
Kedua adalah motor menjadi menuntut satu gaya balap yang spesifik untuk dikendarai. Hal ini juga diungkapkan oleh Jonas Folger yang kini jadi salah satu team test KTM Motogp.
Folger berpendapat bahwa motor Motogp sekarang sangat berbeda dengan pada saat terakhir kali dia membalap yakni pada 2017. Padahal hanya berselang enam tahun, namun motor menjadi sangat berbeda.
Folger mengatakan bahwa Yamaha M1 yang dia pakai pada 2017 memang punya performa diatas motor jalan raya dan superbike, namun masih terasa seperti motor biasa.
“Saat saya mengendarai M1 (2017) atau saat saya mengendarai superbike, saya bisa naik ke atas motor dan bisa dengan natural untuk mengendarai mereka, saya bisa mengendarai mereka dengan gaya yang bermacam-macam. Sekarang sepertinya semua motor punya fungsi dan kemampuan yang kurang lebih sama, sehingga jarak antara satu sama lain sangat dekat. Kini pembalap yang diharuskan untuk beradaptasi dengan apa yang motor mau, bukan sebaliknya” Kata Folger (Dikutip dari Motorsport magazine.com).
Ketiga adalah dampak downforce yang berlebihan menyebabkan lebih sulit bermanuver di tikungan.
Folger menambahkan bahwa sekarang pembalap tidak bisa terlalu leluasa untuk mengerem dan memasuki tikungan. Lagi, karena motor butuh ruang lebih dan timing yang lebih sempit untuk bermanuver.
Keempat adalah dirty air yang dihasilkan oleh motor, membuat motor-motor yang berada dibelakang menjadi sulit untuk menyalip pembalap-pembalap di depan lagi.
“Saat anda memulai balapan di posisi terakhir misalnya, pembalap-pembalap di depan membuat angin menjadi kacau dan saat anda harus mengerem dititik yang sama dengan mereka, anda malah akan melaju lurus, karena anda sudah tidak punya angin yang membantu anda untuk mengerem, karena saat anda dibelakang, aero fairing anda bekerja kurang lebih seperti vakum, sehingga sedikit angin maka tekanan yang membantu anda mengerem akan semakin sedikit pula,” Kata Folger (Dikutip dari Motorsport Magazine.com.).
Dirty air juga membuat suhu ban depan lebih cepat mengalami kenaikan, karena angin yang ditangkap oleh ban depan berkurang drastis akibat dari aero fairing. Hal ini sering dialami oleh Fabio Quartararo.
Bagaimana Jika Aero Fairing dihilangkan?
Jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya sudah didapatkan oleh Honda pada tes pramusim mereka tahun 2023 ini.
Motor Motogp sekarang, dengan segala power dan tenaga yang dimilikinya, mengharuskan adanya penyeimbang yang mumpuni di motor.
Sama seperti era “The Unrideable” GP500 dulu, yang mana pada waktu itu diatasi dengan pengembangan lebih jauh komponen lain seperti rem dan ecu elektronik.
Sebenarnya, ada kemungkinan motor Motogp saat ini dengan semua power dan tenaga yang ada dikendarai tanpa aero fairing. Yakni adalah kembalinya ECU inhouse masing-masing pabrikan untuk memaksimalkan potensi motor tanpa menghilangkan terlalu banyak tenaga.
Karena kin semua tim di Motogp menggunakan ECU yang sama, membuat tim-tim eropa yang terlebih dahulu menggunakan ECU Magneti Marelli mempunyai keuntungan.
Namun jika ECU inhouse ini bisa dikembalikan setidaknya untuk tim pabrikan, maka gap performa mungkin bisa ditutup oleh tim-tim Jepang yang kini sedikit tertinggal.
Keberadaan aero fairing mungkin bisa disederhanakan dengan membuat regulasi yang mengatur batas-batas aero dinamika seperti yang diterapkan oleh Formula One saat ini.
Saat ini, Dorna dan FIM sedang bernegosiasi dengan tim-tim Eropa agar bisa memberikan keringanan pengembangan untuk tim-tim Jepang. Kita lihat apa yang akan terjadi kedepannya, apakah tercapai kesepakatan sehingga tim Jepang bisa mengembangkan motor mereka lagi? Atau apakah tim Eropa yang masih akan berkuasa untuk jangka waktu yang lama.