
Membahas Formula 1 tak afdol rasanya kalau tak membahas pembalap satu ini. Tak ada satu pun channel balapan, terutama Formula 1, yang tak tahu nama Michael Schumacher (baca: Syumakher). Tak satupun yang tak pernah membahas mantan artis lintasan yang dulu menguasai sirkuit, dari Melbourne sampai Indianapolis. Dan tentu saja Monako.
Bukan hanya debutnya di lintasan balap, tapi juga kehidupannya di luar lintasan. Perkawinannya dengan Corinna, persahabatnnya dengan Mika Hakkinen, dan yang pasti, di masa lalu pernah menipu Eddie Jordan!
Serius!?
Ya, benar, ini bukan berita bohong. Seorang Michael Schumacher pernah menipu Eddie Jordan. Schumy, panggilan akrabnya, tidak sendirian melakukan tindakan penipuan ini.
Schumy melakukan penipuan bersama Willie Webber, manajernya waktu itu.
Ceritanya, karena satu dan lain hal, salah satu pembalap dari Tim Jordan harus absen. Kabarnya terkait hukum. Yap, Bertrand Gachot (baca: Gaco), nama pembalap Belgia itu, tepaksa harus berurusan dengan hukum karena melakukan tindak kekerasan pada seorang sopir taksi. Gachot kabarnya menyemprot gas air mata ke muka sopir taksi.
Maka dibuat sibuklah Eddie Jordan mencari pembalap pengganti.
Sebagaimana dilansir oleh Motorsport, Webber mendatangi Eddie Jordan. Tanpa basa basi, Webber menyodorkan nama ayah Mick Schumacher ini.
Schumy yang waktu itu ‘ belum jadi siapa-siapa’, membuat Eddie Jordan keheranan.
Oke, waktu itu memang belum ada nama Schumy di list pembalap F1. Tentu saja Eddie Jordan tahu itu, walau Schumy pembalap hebat di F3. Eddie Jordan tidak mempermasalahkan hal itu.
Pertunjukan musti lanjut kan..
Yang dipermasalahkan bos Tim asal Irlandia itu, apakah Schumy mengenal trek Spa Francorchamps (baca: Frankorsyoms), Belgia, dimana race ke 10 tahun 1991 dihelat. Itu maksud Eddie Jordan. Mengenal dalam arti pernah balapan.
Tanpa memberikan jawaban pasti, tapi mereka berdua menjawab, bahwa Schumy tinggal di dekat sana, dan dengan ucapan yang meyakinkan bahwa Jordan akan mendapat pembalap yang kompetitif.
Pendek kata, akhirnya Schumy terjun mengemudi buat Jordan berkat bualan Webber.
Tak disangka Michael berhasil berada di Posisi 7 saat sesi kualifikasi, yang mana itu adalah hal istimewa untuk pembalap yang pertama kali balapan di Formula 1. Apalagi Jordan bukan tim yang hebat-hebat amat.
Tapi masalah justru datang ketika race digelar. Bukan dari Schumy (baca: Syumi), tapi justru dari mobil Jordan yang gagal kopling!
Belakangan Eddie Jordan mengetahui kebohongan yang pernah diperbuat oleh kedua orang yang salah satunya kelak menjadi legenda tersebut. Jordan selalu tertawa jika mengingat kejadian itu. Bukannya marah.
Itu hanya sekelumit cerita pembalap asal Kerpen, Jerman tersebut.
Hanya satu race membalap buat Jordan, akhirnya tahun itu juga Schumy menandatangani kontrak bersama Beneton. Flavio Briatore rupanya membaca gelagat bagus dari pembalap muda Jerman tersebut. Eddie Jordan sebetulnya kesal dengan Briatore! Eddie Jordan yang saat itu mulai ‘jatuh hati’ pada Schumy, sempat protes. Tapi seperti biasa, semua kelar dengan duit.

Eh, bukan duit ding, tapi pasokan mesin gratis dari Yamaha. Tapi tentu tidak ada yang namanya gratis di Formula 1. Kalau Jordan bisa mendapatkan secara cuma-cuma, berarti ada pihak yang bayarin mesin asal pabrikan Jepang itu. Yap, Bernie Ecclestone-lah orangnya. Dia yang jadi penengah antara Jordan dan Benetton, antara Eddie Jordan dan Flavio Briatore!
Di tangan Bernie Eccelstone, semua terlihat mudah!
Ada banyak cerita menarik tentang Schumy selama dia membalap, termasuk tentang bagaimana dia pernah hampir digebuk Ayrton Senna pada dua kesempatan berbeda. Paling nggak, Sirkuit Hockenheim (baca: Hokenhaim), Jerman menjadi saksi bagaimana keduanya berselisih. Senna yang waktu itu juara dunia 3 kali meradang karena menganggap cara membalap Schumy yang curang. Schumy dianggap Senna menghalang-halangi laju mobil Senna.
Senna yang hendak melibas pun merasa kesulitan. Padahal waktu itu baru sesi latihan.
Sebelum peristiwa Hockenheim itu, di Magny cours keduanya sudah mulai berselisih paham. Senna terpaksa keluar lintasan karena terlibat kecelakaan dengan Schumacher. Padahal baru juga balap dimulai dan berjalan satu lap, dan mobil Senna di seruduk Schumy. Senna tak bisa meneruskan lomba. Kesal? Pastinya!
Senna pun menunggu sampai balapan selesai.
Untuk apa? Meminta penjelasan Schumy. Pas balapan berakhir, Schumy ‘ditenteng’ Senna ke tempat yang jauh dari awak media di pinggiran trek. Penginnya sih biar nggak ada yang tahu.
Tapi tahu sendiri kan, sebagai artis lintasan, tentu banyak kamera mengarah ke Senna. Dan aksi itu akhirnya di pergoki awak media.
Rivalitas keduanya hanya sebentar, tapi banyak pihak menilai, bahwa gaya membalap keduanya sama. Sama-sama agresif. Tapi Senna lebih smooth dan berpengalaman. Sedangkan sebagai Newbie, tentu saja cara balap Schumy agak rusuh. Keduanya pun punya julukan yang sama, the rain master! Jagoan di trek basah.
Tahun 1994 kayaknya bakal jadi tahun Schumy. Rival utamanya, Ayrton Senna, meninggal dalam kecelakaan di imola. Praktis, jalan Schumy untuk menggapai gelar makin mulus. Dan tahun itu adalah juara dunia pertamanya bersama Benetton. Briatore merasa tidak pernah salah dalam memilih pembalap. Briatore punya insting yang kuat membaca bakat seseorang. Dan Schumy memang layak untuk mengemudi di mobil biru.
Tahun berikutnya, dengan gampang mobil benetton itu melibas lawan-lawannya. Walau sesama menggunakan mesin Renault, tapi Williams punya banyak kendala teknis. Di tambah lagi mereka baru kehilangan top guy-nya. Jadi, Schumy merenggut kemenangan lagi tahun ini.

Pada tahun 1996, sebenernya masih masa yang sulit buat Ferrari. Tapi entahlah, bisa jadi karena dibantu takdir, akhirnya Schumy pun hijrah ke Maranello. Seseorang di tubuh Ferrari menghendakinya.
Satu-satunya alasan yang masuk akal adalah, bahwa pihak Ferrari memberi banyak privilege ke Schumacher. Pertama, Schumy bebas menentukan rekan satu tim. Dan pilihan jatuh ke pembalap sableng from Irlandia, Eddie Irvine. Kedua, Schumy minta insinyur-insinyur jempolan macam Ross Brawn dan Rory Byrne pada musim 1997. Dua orang ini tidak main-main. Mereka bukan sembarang mekanik. Mereka adalah rumus kemenangan Schumy sewaktu di Benetton. Selain itu gaji 60 juta poundsterling untuk masa kontrak dua tahun juga bukan angka kecil, kan?
Disinilah letak kejeniusan Schumy. Dia bisa meracik tim. Menjadikan Ferrari yang semula biasa saja, menjadi sebuah tim yang hebat di masa mendatang. Di dukung dana yang kuat, struktur organisasi yang kental dengan budaya balap, tim merah berhasil bangkit dari keterpurukan selama belasan tahun.
Evolusi di tubuh kuda jingkrak dimulai di era ini. Schumy saat itu bagai seorang arsitek tim yang di beri kebebasan oleh pabrikan Italia untuk menentukan strategi-strategi bagus, asal…bisa menang!
Dan manuver kedua untuk memilih Ross Brawn dan Rory Byrne adalah kombinasi luar biasa. Ditambah lagi, dalam tubuh Ferrari saat itu sudah ada sesosok pria keturunan Polandia-Yahudi berkewarganegaraan Perancis bernama Jean (baca: Zyan) Todt yang kelak diketahui yang mengusulkan nama Schumy masuk dalam line up pembalap untuk mobil merah.
Tentu saja, walau secara performa terpuruk, Ferrari masih punya posisi tawar yang bagus berupa keuangan yang sangat sehat. Karena memang Ferrari adalah pabrikan besar dan Tentu saja money doesn’t matter, asal bisa mengembalikan kejayaan masa lalu.
Soal itu, rasanya Ferrari nggak salah. Ferrari benar-benar menemukan seorang top guy, berkompeten di bidangnya, dan jenius. Pemilihan personil-personil yang dibawa dari Benetton telah mengindikasikan bahwa Schumy seorang pembalap masa depan yang hebat.
Schumy bukan hanya piawai mengemudi di lintasan hujan. Tapi juga seorang yang hebat dalam mengatur komposisi tim work di Ferrari.
Hal itu terbaca dari sepak terjangnya, ketika Ferrari terpuruk tahun 1996, awal debut dia disana, dia ngerasa ada yang nggak beres. Ketidakberesan itu menyangkut mobil Ferrari F310 racikan John Barnard.
Makanya Schumy berinisiatif ‘membawa serta’ Ross Brawn dan Rory Byrne ke Maranello.
Setelah tahun 1996 musim yang payah, dengan beberapa kejadian yang membuatnya kesal, seperti pada peristiwa Magnycours dimana mobilnya meledak, Schumy memulai awal yang baru di 1997 dengan formasi tim yang almost totally new!
Kedua insinyur jebolan Benetton, Rory dan Brawn, berhasil meracik paket Ferrari 310B menjadi mobil yang sangat revolusioner dengan ubahan disana sini yang membuat Schumy memenangkan 5 seri kejuraan tahun itu. Diantaranya di Monaco, Kanada, Perancis, Belgia serta di negeri pembuat Honda, Jepang.
Mengantongi 5 kemenangan, membuat mereka hampir menang. Ya, Cuma hampir! Karena Schumy Cuma berhasil mendulang 78 poin, sedangkan top guy kali ini adalah seorang Kanada bernama Jacques Villenueve (baca: Zaq Vilnuev) yang meneruskan sukses Damon Hill dengan mobil Williams Renault.
Tahun berikutnya mereka juga musti harus bersabar, karena dipuncak performanya, ternyata ada mobil Silver racikan Adrian Newey (baca: Nuwi) seolah tak terbendung menggebrak dengan mesin berbahan material Berilium karya ilmor.
Tahun ini Schumy bersaing ketat dengan Mika Hakkinen dari tim Mclaren.
Sebenarnya tahun 1999 merupakan momentum buat Ferrari dan Schumy. Semuanya membaik tahun ini. Paket mobil Ferrari F399 sangat kompetitif. Berbekal kemenangan di San Marino dan Monako, Schumy tampak begitu antusias.
Tapi Schumy terpaksa harus berurursan dengan takdir. Ya, Schumy kecelakaan di Silverstone yang menyebabkan kakinya patah. Dan mobil Silver asal Woking melaju kencang melumat F399 yang satunya lagi, dimana pembalap Irlandia mengemudikan mobil itu. Tapi Eddie Irvine tak cukup punya kemampuan untuk menyaingi laju Mika Hakkinen. Akhirnya walau Ferrari menang sebagai konstruktor, tapi gelar pembalap tetap jatuh ke tangan pembalap Finlandia, siapa lagi kalau bukan Mika Hakkinen.
There’s no regret in life, just a lesson. Itu rupanya kalimat bijak yang harus disematkan pada perjalanan Schumy bersama Ferrari. Kalau di Benetton cukup menjalani dua musim, lalu juara dua kali, maka perlu waktu yang lebih panjang untuk bisa kembali ke puncak ketika bersama Ferrari. Dan tahun 2000 merupakan tahun mereka kembali ke puncak. Menyusul pelarangan material Berilium yang dipakai Mclaren dan Williams, Ferrari merangsek ke puncak dengan merenggut tropi konstruktor dan pembalap.
O ya, untuk pembalap pendamping, kali ini Schumy di temani seorang Brazil, compatriot Senna. Siapa lagi kalau bukan Rubens Barrichello.
Selama 2000 sampai 2004 Schumy bersama Ferrari dan Barichello menjadi sinergi tak terkalahkan. Walau sering kali mereka menuai kontroversi. Kisah yang kurang enak di dengar muncul paska kejadian A1 Ring 2002. Dimana Barichello melambat 10 meter menjelang finish untuk memberi jalan pada Schumy.
Banyak hujatan datang dilayangkan ke Schumy dan Ferrari. Sebagai sebuah cabang olahraga, mestinya mereka menunjunjung tinggi sportifitas, dan kejujuran.
Tahun 2000 ada satu kejadian mengharukan. Peristiwa ini terjadi selepas GP Monza. Saat itu Schumy memenangkan balapan yang ke 4. Jumlah kemenangan ini melampaui rekor Ayrton Senna. Runner up diduduki oleh sahabatnya, Mika Hakkinen, dan yang ketiga, adiknya, Ralf.
Harusnya itu momen bahagia. Tapi sejenak kemudian menjadi momen mengharukan ketika seorang awak media menanyakan, ” Apa arti kemenangan ini buat Anda .”
” It doesn’t meant to me, ” tetiba kepala Schumy menunduk, air matanya deras, top guy itu menangis!
Kemenangan itu tiada arti, karena dia harus kehilangan Senna, rival beratnya. Schumy tak bisa bersenang-senang di atas kematian Senna. Mika berusaha menenangkan Schumy, pun Ralf.
Begitulah arti loyalitas pembalap jaman dulu. Apapun drama yang disetting Ferrari, tapi secara pribadi, Schumy adalah orang biasa, bukan mesin ataupun robot.
Ya, tim merah melakukan banyak hal yang tidak sepantasnya di sebuah ajang olahraga.
Tindakan kurang terpuji lainnya mereka lakukan pada GP Amerika yang di gelar di sirkuit Indianapolis. Kali ini Schumy yang melambat serta mempersilakan Barichello melaju mendahuluinya. Upaya Schumy ini demi menolong Barichello untuk bisa meraih runner up pada tahun itu, mengingat gap poin antara Barichello dan dirinya yang hampir separo. Bayangkan, saat itu poin Schumy 144, sedangkan Barichello memperoleh 77 poin! Tapi harusnya hal itu tak perlu dilakukan, kan? Namanya juga lomba, mau poin berapa, harusnya murni perolehan sendiri, bukan team order kayak gitu.
Sampai pada satu masa Michael Schumacher harus melewati antiklimaks pada tahun 2005. Adalah seorang Fernando Alonso dengan Renault C25 yang berhasil mematahkan hegemoni Ferrari dan Schumy. O ya, Renault ini adalah tim jelmaan Benetton, dimana Schumy pernah membalap dan juara dunia dua kali.
Tahun 2006 menegaskan, bahwa Schumy memang harus benar-benar istirahat dari panasnya persaingan. Karena Alonso menjadi kampiun untuk kedua kalinya.
Pada akhir musim 2006, Schumy benar-benar pamitan kepada penggemarnya, dan seluruh insan di Formula 1, bahwa pria Jerman itu harus benar-benar mundur.
Oke, dia mundur.
Tapi seperti kebanyakan pembalap lain, tangannya masih gatal untuk sekedar istirahat. Mungkin melihat Barichello yang juga masih membalap, dan sempat jadi runner up sekali lagi di BrawnGP waktu mendampingi Jenson Button.
Udah tahu siapa yang di balik BrawnGP kan? Betul, Ross Brawn, mantan orang dekat Schumy waktu di Benetton dan Ferrari.
Merasa masih cukup kuat untuk balapan, akhirnya Schumy masuk sebagai pembalap MercedesGP yang merupakan penjelmaan dari BrawnGP. Yup, tahun 2010, Mercy telah membeli BrawnGP dan menjadikan Mercy tim pabrikan tersendiri.
Dan, Schumy ketemu Brawn lagi!
Tapi pada satu kondisi yang jauh beda.
Jujur, secara skill, Schumy luar biasa. Dia pembalap dan ahli strategi. Dia bisa ‘meracik’ sebuah tim tanpa harus menjadi team principal. Dia bisa menentukan mekanik yang mana, bertandem dengan pembalap siapa, dan segala paket mobil sesuai dengan keinginannya.
Tapi itu duluu! Setidaknya sewaktu dia di Ferrari.
Schumy adalah orang yang paling bisa beradaptasi dengan baik dengan mobil tunggangannya.
Tapi, seandainya peristiwa come backnya Schumy itu belum terjadi, dan saya disuruh bertaruh, jelas tidak akan memilih Schumy.
Benar saja.
Dua tahun berkiprah di pabrikan Jerman, bertandem dengan Nico Rosberg, Schumy got nothing!
Akhirnya Schumy pun mundur beneran.
Jauh dari gempita Formula 1. Schumy mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan. Olahraga merupakan kegiatan favorite Schumy. Sepak bola, tenis, dan Ski. Nah, pada periodik Desember 2013, Schumy bermain Ski dengan si Mick, anaknya yang kini pembalap di tim HAAS.
Rupanya Schumy yang sekian tahun dihinggapi keberuntungan, kali ini musti menjalani pergantian keberuntungan ke sebuah kesialan. Schumy jatuh, kepalanya membentur batu. Kendati menggunakan helm, toh Schumy tetap cedera parah dan membuatnya koma.
Berbagai kabar beredar tentang Schumy. Jean Todt sendiri pernah mengatakan bahwa Schumy berangsur membaik.
Tapi entahlah, tak ada yang tahu pasti tentang nasib si legenda hidup tersebut. Seolah dia menutup diri untuk media. Pun anaknya, tak pernah sekalipun mengungkit keadaan ayahnya.
Sampai satu ketika, beredar kabar bahwa beredar film documenter berjudul Schumacher. Tentu saja judul itu adalah mengacu sosok Michael, bukan Ralf.
Film tersebut tayang di platform digital Netflix per 15 september 2021.