Enzo Ferrari pernah berujar, atau nyindir tepatnya, bahwa, ” Mereka yang mengagungkan-agungkan aerodinamika adalah mereka yang tidak bisa menciptakan mesin!”
Mungkin pihak Maranello membanggakan diri terhadap mesinnya, juga terhadap tim merahnya. Betul, bahwasanya sampai saat ini mereka tetap tim paling banyak meraih gelar juara konstruktor. Tapi gelar itu diperoleh Duluuu…
Okelah, untuk gelar 2015-2020 direnggut oleh Mercedes, sebagai tim pabrikan juga. Tapi Kemana mereka waktu Max membayang-bayangi laju Lewis Hamilton sepanjang musim 2021, dan akhirnya Max berhasil meraih gelar juara dunia, walau penuh kontroversi.
Pun ketika Mika Hakkinen menggondol gelar pada 1998-1999. Lalu kita runut lagi waktu McLaren memakai mesin Honda, dan Ferrari nggak berdaya?
Selain yang disebut tadi, masih banyak contoh kasus yang membuktikan bahwa mesin saja tidak cukup untuk membangun mobil yang kompetitif!
Dan terakhir, justru Red Bull Racing bermesin Honda yang merampas tropi 2021 dari tangan Lewis Hamilton dengan Mercedes-nya.
Satu bukti untuk jadi kampiun tak perlu bisa membuat mesin, atau punya pabrik mesin. Mereka cukup merancang sasis dengan aerodinamika yang bagus, lalu membeli atau kerjasama dengan pabrikan mesin.
Masalahnya juga banyak tim yang tidak punya pabrik mesin, dan berakhir gulung tikar karena tidak kuat menanggung beban operasional tim.
Sedagkan Ferrari, yang paceklik juara tetaplah Ferrari yang sejauh ini bisa bertahan.
Apa sebabnya?
Bagi Ferrari, F1 bukan sekedar balapan. Tapi riset untuk barang dagangannya, yaitu mobil Roadcar Ferrari yang ikonik dan jadi simbol kemakmuran pembelinya. Dagangan Ferrari tetap laku di pasaran. Pundi-pundi tim merah asal Italia itu tetap kuat berkat keuntungan dari penjualan mobil. Toh konsumen Ferrari kebanyakan masa bodoh dengan prestasi Tim Kuda Jingkrak dilintasan balap.
Pendek kata, membangun tim F1 bukan proyek untung untuk private. Tim pabrikan, walau rugi, tapi mereka menganggap bahwa F1 adalah ajang riset teknologi. Jadi doesn’t matter dengan uang ratusan juta Dollar atau triliunan rupiah dibelanjakan di ajang ini. Itung-itung, ajang iklan untuk mobilnya dan beberapa merk lain yang masih sudi untuk memajang logo perusahaan, walau performa tim lagi menurun, toh tetap tayang di TV, kan?
Kalau kuat dan niat, mereka lanjut. Kalau nggak sanggup, ya tutup. Seperti Toyota, Jaguar atau Honda.
Sedangkan tim private yang bisa bertahan adalah tim yang sudah benar-benar ‘tua’, serta orang-orang di dalamnya mempunyai semacam ‘passion’ atau budaya untuk tetap melanjutkan persaingan di dunia yang glamour itu.
Williams, McLaren, dan Redbull adalah contoh non pabrikan otomotif yang bisa bertahan.
Eh, Redbull?
Bukankah itu tim ‘baru’? Iya, baru, Tapi mereka kompetitif. Bahkan beberapa kali mereka juara. Mengalahkan Ferrari malahan.
Masalahnya, Redbull dibentuk oleh perusahaan minuman berenergi. Consumer goods. Dagangan eceran, recehan.
Buat apa Redbull mempertaruhkan duit ratusan juta Poundsterling atau sampai triliunan rupiah hanya untuk membentuk tim ?
Maskapai semacam Air Asia saja ngos-ngosan membiayai Lotus/Caterham!
Atau bahkan Sir Richard Branson, bos Virgin Aviation saja udah gak mau berkecimpung atau ngeluarin duit untuk Mensponsori F1.
Jawabannya ya bisa sebagai ajang promosi!
Tapi apa Redbull tidak rugi membangun tim F1 kalau hanya sekedar promosi minuman energi seperti X-trajoss dan atau Kuku Bima?
Dalam Redbull terdiri pakar marketing, ahli keuangan level dunia ! Mereka sudah memperhitungkan semuanya. Dalam membangun dua mobil Red Bull Racing yang mengantar Max Verstappen juara dunia itu dibutuhkan budget 5 Trilyun! Itu biaya untuk dua mobil, buat Max dan Sergio Perez. Itu belum termasuk gaji Max Verstappen dan Sergio perez. Belum termasuk anggaran buat gaji karyawan yang mencapai ratusan orang, dan biaya tetek bengek lainnya!
Tapi tahukah, ada manfaat secara marketing yang luar biasa dahsyat di balik dua mobil itu. Dalam setahun mereka berlaga di 20 kota besar di lima benua, diliput ratusan stasiun TV, dan mereka dapat bagian hak siar! Rugikah mereka? Untuk biaya promosi untuk produk minuman kelas dunia, tidak. Kalau kita membandingkan biaya iklan Sirup Marjan, yang sebulan mengeluarkan biaya iklan sebesar 149.5 Milyar rupiah di bulan ‘biasa’ menurut laporan bisnis.com.
Biaya tersebut membengkak menjelang hari-hari besar keagamaan, terutama Idul Fitri dan Natal. Bisa mencapai 200 milyar lebih. Hitungan kasarnya pertahun mencapai 2 Trilyun! Itu dengan daya jangkau secara demografis hanya Indonesia saja!
Nah, sekarang mari kita bicara Impact-nya secara marketing. Yaitu peningkatan penjualan akibat dari strategi marketing itu. Bahwa sirup Marjan hanya di beli di Indonesia, atau paling banter Asia tenggara. Karena secara demografis iklan Marjan hanya tayang di stasiun-stasiun televisi nasional.
Tapi Redbull bisa menjual minumannya ke seluruh penjuru bumi, karena F1 disiarkan oleh stasiun-stasiun televisi dari seluruh planet ini!
Satu hal lagi, yang dilakukan Redbull bisa meningkatkan value terhadap merk ataupun perusahaan. Redbull pun makin mengukuhkan posisinya sebagai minuman energi kelas dunia, dan jumlah penjualan minuman ‘kembaran’ Kratingdaeng itu akan meningkat pesat. Positioning Redbull yang menjanjikan stamina tinggi buat yang mengkonsumsi adalah sesuatu yang sudah tepat sasaran. Ibarat kata, beriklan produk daging ke pecinta daging. Beriklan sayuran ke masyarakat vegetarian. Dan Redbull beriklan minuman energi ke pecinta olahraga, dalam hal ini pecinta F1. Karena untuk mengemudikan mobil F1 butuh stamina yang tinggi, maka boleh dikatakan bahwa apa yang dilakukan Redbull sudah pas!
Selain keuntungan dari peningkatan penjualan secara langsung, Redbull juga dapat bagian hak siar, bagian penjualan tiket, dan duit dari sponsor lainnya yang memajang logo merk di mobil Red Bull Racing. Bisa-bisa Redbull malah ‘menang banyak’! Karena, mereka tim juara ! Tentu banyak produsen ingin ikut beken dengan menempelkan logo produk di mobil sang juara. Pastinya ini mendatangkan uang juga ! Itulah yang disebut cara berfikir jenius!
Jadi, intinya Redbull bisa bertahan sampai sekarang karena punya dukungan dana yang kuat. Dana yang diperoleh dari hasil penjualan minumam energi yang menurut banyak orang hanya dagangan recehan.
Dan Redbull dapat duitnya dengan cara yang brilian. Secerdas bos teknik di tim itu, Om Adrian Newey.
Coba kalau ada perusahaan minuman energi dalam negeri yang mau mensponsori dana buat Rio Haryanto ya, tentu Rio akan tetap bisa membalap. Bahkan di tim yang lebih baik, lebih baik dari sekedar Manor. Lalu mari kita berandai-andai, seandainya di McLaren tertempel stiker Xtra-joss, dan Rio ada di balik kemudi tim legend itu. Betapa bangganya orang Indonesia, dan Xtra-joss pun bisa mendunia, layaknya Redbull!
Tapi Itu Cuma seumpamaa!