Setiap negara yang menjadi tuan rumah ajang MotoGP sebenarnya dikasih jatah pembalap wild card. Sebelumnya akan kami jelaskan dulu tentang apa itu pembalap wild card, barangkali saja ada yang belum tahu.
Definisi pembalap wild card, khususnya MotoGP, adalah pembalap non reguler atau pembalap yang tidak ada dalam list maupun agenda balapan yang dapat kesempatan untuk membalap di seri tertentu. Yang layak dan sering dilakukan adalah biasanya pembalap test rider di satu tim. Dan karena satu dan lain hal, maka si pembalap dikasih jatah balapan.
Bisa juga pada event di satu negara, maka setidaknya pihak penyelenggara kasih kesempatan pembalap lokal untuk ikut serta balapan. Tentu saja itu di luar list pembalap reguler. Ibarat kata, pembalap tambahan.
Untuk kasus wild carder (Pembalap wild Card) kayak gini bisa jadi untuk menarik jumlah penonton lokal. Artinya ada daya tarik tersendiri yang bisa jadi nilai jual event tersebut, sehingga diharap penjualan tiket akan terdongkrak. Karena tentu banyak masyarakat yang ingin menyaksikan aksi pembalap lokal adu nyali dengan pembalap reguler yang sudah malang melintang ke seluruh penjuru bumi.
Untuk Indonesia, pada gelaran Grand Prix 1997 menurunkan Ahmad Jayadi, Petrus Tabun, dan Ade taruna. Mereka bertiga adalah artis lintasan di kancah road race. Pada kesempatan itu mereka turun di kelas 125cc ( 2-tak), kalau sekarang yang Moto3 gitu.
Nah, pada gelaran hari minggu lalu di sirkuit Mandalika, tak tampak satu pun pembalap lokal Indonesia yang memanfaatkan pembalap Wild Card.
Super Mario?
O, tidak! Super Mario dalam hal ini adalah artis lintasan reguler atau pembalap yang sudah masuk list tetap untuk mengikuti keseluruhan grand prix. Jadi Mario Aji praktis tidak bisa di sebut sebagai pembalap Wild Card.
Padahal pada gelaran Idemitsu Asia Talent Cup yang di gelar di sirkuit yang sama ( Mandalika) pada tahun 2021, setidanya ada total enam pembalap indonesia yang turut memeriahkan ajang balap tingkat Asia itu. Wild card dua orang, sedangkan reguler ada empat orang. Wuih!
Empat pembaap reguler itu diantaranya Herlian Dandi, Herjun Atna Firdaus, Dhyo Wahyu, serta satu lagi adalah Fadillah Arbi. Mereka-mereka ini sudah menjadi duta balap di ajang ini sejak tahun 2020.
Adapun nama ke dua pembalap wild card adalah Veda Ega Pratama yang baru berusia 12 tahun, serta Reykat Yusuf Fadillah, 13 tahun. Bibit-bibit unggulan nih!
Tapi kenapa justru pada helatan internasional macam MotoGP tak tampak satu pun pembalap Wild Card?
Ada beberapa kemungkinan kenapa tahun ini pembalap wild card Indonesia tidak mengambil jatahnya. Kemungkinan pertama adalah ketiadaan pembalap bagus yang memenuhi syarat secara umur. Seperti kita ketahui, untuk bisa turun di kelas kejuaraan ini, baik pembalap reguler maupun wild card, harus berusia minimal 16 tahun.
Sedangkan kalau mengacu pada gelaran Idemitsu Asia Talent Cup tahun lalu, dua pembalap wild card Indonesia, masing-masing Veda Ega Pratama, baru berumur 12 tahun, sedangkan Reykat Yusuf Fadillah baru berumur 13 tahun. Jadi secara otomatis mereka belum bisa diikut sertakan untuk bisa turun di gelaran ini.
Kedua, unuk turun menjadi pembalap wild card pun memegang lisensi dari FIM atas nama FMN. Jika semua persyaratan telah terpenuhi dan lolos kualifikasi yang ditetapkan, maka para pembalap non reguler ini musti bayar uang ke IRTA ( International Road Racing Team Association), sebuah asosiasi yang terdriri dari tim-tim peserta balapan reguler.
Untuk apa uang tersebut?
Untuk mengganti biaya penggunaan ban yang dipakai pembalap selama turun balapan ke pemasok ban resmi.
Hal ini turut membuat heran insan balap tanah air, setidaknya seorang Doni Tata pun turut mengungkapkan keheranannya.
“ Harusnya ada pembalap Indonesia yang bisa memanfaatkan jatah Wild Card, “ ujar Doni Tata seperti yang kami kutip dari MOTOR PLUS di Bandara Lombok.
Sangat disayangkan kalau tidak ada pembalap yang memanfaatkan jatah ini. Karena di ajang ini mustinya pembalap tanah air bisa belajar banyak bersama pembalap reguler.
Bicara soal jumlah pembalap, sebenarnya Indonesia Indonesia punya potensi tinggi untuk bisa mencetak pembalap motor. Dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa, dan mayoritas alat transportasi andalah adalah sepeda motor, rasanya tidak mustahil untuk mengkader pembalap-pembalap unggul.
Mengingat, di masa lalu banyak pembalap-pembalap hebat tanah air yang merajai road race. Sebut saja Ahmad Jayadi, Hendriansyah, Irwan Ardiansyah.
Kemampuan mereka tak diragukan lagi di kancah international. Hanya saja, karena kurangnya sarana dan prasarana, dalam hal ini sponsor, karier mereka mentok disitu-situ saja.
Setidaknya ada satu momen yang menunjukkan kehebatan para pembalap ini. Tak main-main, seorang pembalap asal negeri Sakura pun pernah ngerasa bagaimana dia harus tersingkir pada satu balapan eksibisi di sirkuit pasar senggol di kawasan Kenjeran, Surabaya pada tahun 2000.
Yap! Saat itu Norick Abe, panggilan Norifumi Abe datang pada ‘hajatan’ Coaching clinic bagi pembalap Indonesia sekaligus acara peluncuran motor bebek Underbone Yamaha 125Z.
Sekalian saja mereka balapan.
Abe pun menggeber Yamaha 125Z, meski start dari urutan buncit, Abe berhasil merangsek ke deretan tengah. Tapi rupanya barisan pembalap kita yang saat itu ada Hendriansyah juga, terlalu tangguh untuk di taklukkan.
Akhirnya Abe justru tida bisa menyelesaikan balapan karena terjatuh.
“ Pembalap Indonesia hebat-hebat! “ Pujinya.
Nah, pembalap Jepang sekelas Norick Abe saja memuji pembalap kita. Itu duluuu…
Iya, duluuu banget! Seharusnya dengan perkembangan perekonomian, infrastruktur dan banyak hal lain di negeri ini, seharusnya bisa mencetak calon pembalap-pembalap handal. Apalagi motor yang di jual di pasaran sekarang pun makin banyak macamnya. Masyarakat, asal mampu beli, bisa memiliki motor dari kelas 110cc sampai 1200 cc.
Harusnya kita gudangnya pembalap motor lho!
Tapi faktanya, bahkan jatah dua orang pembalap wild card pun tidak ada yang ambil. Itu tandanya tidak banyak kader pembalap yang bisa kita andalkan.
Apakah mungkin ada hubungan dengan pelarangan ( Pabrikan) Rokok untuk mensponsori even balapan dan atau pembalap?