Motograndprix atau MotoGP adalah ajang balap motor paling prestisius yang dihelat di muka bumi. Mengetengahkan adu cepat motor-motor prototype, kejuaraan ini menjadi ajang adu teknologi pabrikan-pabrikan kelas dunia dengan segala inovasinya. Mulai diselenggarakan pada tahun 1949 oleh FIM (baca: Ef Ai Em), MotoGP telah melahirkan para pebalap legendaris di zamannya yang menorehkan rekornya masing-masing.
Sebut saja nama-nama yang meramaikan era awal MotoGP seperti Geoff Duke, John Surtees, Mike Hailwood, Giacomo Agostini hingga pebalap era 1990-an yang menyajikan nama Wayne Rainey, Michael Doohan dan Kevin Schwantz. Dan di milenium ke-2, Valentino Rossi, Casey Stoner, Jorge Lorenzo dan Marc Marquez menjadi idola para penggila MotoGP.
Mereka dikenal luas karena capaiannya menjadi nomor 1 di kelas utama. Namun bukan berarti pebalap yang tak pernah menggenggam status juara dunia adalah pebalap kacangan. Mereka pun adalah para pebalap hebat, hanya saja tak berada pada momen dan kesempatan yang tepat untuk menjadi juara.
Siapakah mereka?
- Yang pertama Randy Mamola
Randy Mamola merupakan pembalap andal pada era 1980-an. Sepanjang periode tersebut, Mamola membawa panji-panji Yamaha, Suzuki, Honda, dan Cagiva.
Meskipun mengoleksi 13 kemenangan Grand Prix dan 54 kali naik podium, pria Amerika Serikat itu tak pernah melampui peringkat kedua di klasemen akhir kelas utama 500 cc.
Faktanya, dia menjadi runner-up sebanyak empat kali, yaitu pada 1980, 1981, 1984, dan 1987. Sepertinya Randy kurang beruntung karena membalap di periode yang sama dengan sejumlah legenda seperti Eddie Lawson, Freddie Spencer, dan Wayne Gardner.
- Yang kedua ada Max Biaggi
Pembalap Italia, Max Biaggi, menyamai Mamola dengan koleksi 13 kemenangan di kelas premier tapi tanpa pernah mencicipi gelar juara dunia. Salah satu pembalap yang dikenal menjadi penghalang utama Biaggi dalam meraih gelar juara dunia tak lain rekan senegaranya sendiri, Valentino Rossi.
Keduanya punya hubungan yang panas baik di dalam maupun luar sirkuit. Jika Rossi sudah mengoleksi tujuh gelar juara dunia MotoGP, Biaggi hanya bisa memimpikan titel tersebut hingga akhir kariernya.
Sepanjang kiprahnya di ajang balap motor dunia, prestasi terbaik Biaggi adalah empat kali juara dunia di kelas 250cc secara berturut turut dari tahuin 1994 sampai 1997 dan dua kali juara dunia Superbike di tahun 2010 dan 2012.
- Yang ketiga ada Sete Gibernau
Sete Gibernau bernasib seperti Max Biaggi. Keduanya sama-sama sering dibuat frustrasi oleh Valentino Rossi. Gibernau promosi ke kelas 500cc di tim yang sama dengan Wayne Rainey, yaitu Yamaha. Pada musim berikutnya dia bergabung dengan Repsol Honda dan menggeber motor NSR500 yang tersohor tersebut.
Setelah Mick Doohan pensiun dia diwarisi NSR500 tiga silinder. Namun, motor perkasa tersebut tetap tak mampu mengantarnya menjadi juara dunia. Prestasi terbaiknya menjadi runner-up pada musim 2003 dan 2004 bersama tim Telefonica Movistar Honda.
Pada 2005, karier Gibernau diwarnai dengan insiden kontroversial dengan Rossi di tikungan terakhir Sirkuit Jerez. Sejak saat itu, performa Gibernau terus menukik dan dia tak mampu kembali bangkit.
Total di kelas tertinggi ia sudah mengoleksi 9 kemenangan, 30 podium dan 13 pole position
- kemudian ada pembalap italia, Luca Cadalora
Modal gelar juara dunia di kelas 125cc bersama Garelli pada 1986 dan dua titel juara dunia di kelas 250cc dengan tim Honda Kanemoto tahun 1991 dan 1992, ternyata tak cukup untuk mengintimidasi rival-rival barunya di kelas premier.
Selama tiga tahun memperkuat tim Roberts Yamaha, Cadalora menunjukkan performa brilian, dengan finis kedua pada musim 1994 di belakang Mick Doohan.
Cadalora kembali ke Kanemoto pada 1996 dan menyudahi musim tersebut di peringkat ketiga. Sayang, hingga akhir kariernya dia tak sempat mencicipi gelar juara dunia kelas premier.
Prestasinya di kelas 500cc tidak bisa dibilang buruk, ia sudah megoleksi 8 kemenangan dan 24 podium.
- berikutnya ada pembalap bintang asal Brazil, Alex Barros
Kiprah Alex Barros di kelas 250cc jauh dari mengesankan. Begitu juga dengan debutnya di kelas premier bersama Cagiva pada 1990.
Namun, setelah tiga musim, dan membela panji-panji Lucky Strike Suzuki, Barros akhirnya berhasil meraih kemenangan pertama di kelas premier. Total sepanjang kariernya dia memenangi tujuh seri Grand Prix dan 32 kali podium di kelas premier.
Enam kemenangan lainnya diraih pada musim 2000 dan setelahnya, semuanya bersama tim Pons Honda. Kemenangan terakhir diraihnya pada GP Portugal 2005.
Selama 17 tahun berkiprah di kelas utama (500cc dan MotoGP), prestasi terbaiknya finis di peringkat keempat. Pencapaiannya tersebut dianggap tak menggambarkan dengan layak kehebatannya di lintasan.
- yang keenam ada John Kocinski
John Kocinski merupakan keajaiban di ajang American Superbike, dengan menjadi juara dunia tiga musim beruntun, pada 1987-1989. Kesuksesan itu mengantarnya mencicipi balapan 250cc.
Pada musim penuh pertamanya di kelas tersebut tahun 1990, Kocinski berhasil merebut gelar juara dunia bersama tim Roberts Yamaha. Pada tahun berikutnya, Kenny Roberts membawa Kocinski naik ke kelas 500cc bersama tim Malboro Yamaha.
Kualitas pembalap asal Amerika Serikat tersebut terlihat pada musim 1992 ketika menempati peringkat ketiga di belakang Wayne Rainey dan Mick Doohan.
Pada 1994, dia berhasil mengulangi capaian tersebut, tapi kali ini bersama tim Cagiva. Hanya saja hingga pensiun pada 1999, Kocinski tak sempat mencicipi titel juara dunia kelas premier.
Total ia sudah mengoleksi 4 kemenangan dan 19 podium di kelas 500cc
- berikutnya yang ke tujuh, ada Marco Melandri
Setelah menjadi juara dunia 250cc bersama Aprilia pada 2002, Melandri promosi ke kelas MotoGP bergabung dengan Yamaha. Ternyata, dua musim perdana di kelas utama merupakan yang terberat sepanjang kariernya. Pembalap Italia tersebut hanya finis di posisi ke-15 dan 12.
Pada musim 2005, Melandri meninggalkan Yamaha dan menerima pinangan Honda. Di tim itulah Melandri mampu bersinar. Dia menyudahi musim tersebut sebagai runner-up, di belakang Valentino Rossi.
Sayangnya, posisi kedua merupakan pencapaian terbaik Melandri di kelas premier, hingga dia memutuskan pensiun pada musim 2015.
Prestasinya di MotoGP ialah total ia sudah mengoleksi 5 kemenangan dan 20 podium
- lalu di urutan ke delapan ada Loris Capirossi
Setelah menjejak kelas 500cc pada 1995, Loris Capirossi memutuskan kembali ke kelas 250cc selama tiga musim, yaitu di tahun 1997 sampai 1999. Keputusan tersebut cukup mengagetkan karena di kelas premier dia mampu sekali juara seri dan dua kali naik podium.
Tiga musim di kelas 250cc, pria Spanyol ini mampu juara dunia sekali, tepatnya pada 1998. Pada musim 2000, dia kembali ke kelas premier memperkuat Honda, Ducati, dan kemudian Suzuki.
Capirossi memutuskan pensiun pada 2011 setelah 22 musim berkiprah di berbagai kelas balap motor dunia. Prestasi terbaiknya hanya menempati posisi ketiga, tepatnya pada musim 2001 dan 2006.
Meski begitu ia sudah mengoleksi 9 kemenangan dan 42 podium di karirnya yang panjang di kelas utama
- kemudian yang terakhir, siapa lagi kalau bukan Dani Pedrosa
Statistik menunjukkan kiprah Dani Pedrosa di kelas premier tak bisa dipandang sebelah mata. Dia telah tampil di 187 seri, menang 30 kali, dan telah naik podium 107 kali. Dia juga tiga kali finis di urutan kedua di klasemen akhir, pada musim 2007, 2010, dan 2012.
Namun, Dewi Fortuna sepertinya tak berpihak kepada Pedrosa. Impian untuk merengkuh gelar juara dunia MotoGP selalu kandas. Pedrosa hanya bisa merelakan saat gelar juara dunia bergantian direngkuh oleh Valentino Rossi, Jorge Lorenzo, Casey Stoner, hingga Marc Marquez.
Sampai akhirnya pensiun dari MotoGP penghujung musim 2018, Pedrosa pun harus rela tak pernah mengecap titel juara dunia kelas tertinggi Kejuaraan Dunia Balap Motor.
itulah 9 pembalap hebat yang bisa dibilang cukup pantas untuk menjadi juara dunia MotoGP, tapi untuk menjadi jaura dunia di kelas tertinggi ini, skill membalap saja tidak cukup untuk membuat pembalap bisa juara dunia. Harus ada dukungan motor yang kuat, dukungan sponsor dan tak lupa faktor keberuntungan.