
Dalam hidup seseorang, ada yang ditakadirkan dan terhubung dengan sesuatu yang kelak menjadi jalan jidupnya. Begitu juga dengan jalan dan takdir Nino. Dia dari lahir sudah di takdirkan untuk menjadiinsan otomotif, hal yang kelak membuatnya ‘hidup’ sekaligus menganrak kematiannya.
Hal itu ditunjukkan ketika hari kelahirannya, seperti yang sudha kita sebut, 30 Oktober 1906. hari itu tepat sang ayah, yaitu Govani Farina, mendirikan bengkel karoseri, Stabilimente Farina, di Kota Turin. Kota Turin adalah ibarat Detroit di Amerika, banyak pabrik mobil ( otomotif) disana. Fiat pun berasal dari kota ini. Dan kalau kita tahu nama Pininfarina, sebuah rumah desain kondang yang jadi langganan Ferrari, Peugeot, dan lain sebagainya, tak lain Pininfarina adalah sang paman dari Nino Farina.
Dari awal, Nino sebetulnya sudah di kader oleh keluarganya untuk meneruskan bisnis keluarga mereka di bidang autowork. Tapi semuanya berubah ketika pada usia 9 tahun Nino belajar mengemudikan mobil. Sebuah mobil dua silinder buatan pabrikan Temperino menjadi mobil pertama yang di kemudikan. Sejak saat itulah Nino jatuh cinta pada aktifitas nyetir ini!
Pengalaman awal Nino adalah balapan bersama pamannya, Pinin, pada usianya yang ke 16 tahun. Saat itu Nino berperan sebagai navigator. Tiga tahun kemudian, saat dia masih duduk di bangku kuliah, dengan koceknya sendiri Nino sudha bisa membeli mobil bekas. Sebuah Alfa Romeo, yang kemudian dipakai untuk ‘mengasah’ kemampuan balapnya.
Turun sendiri balapan, Nino mengikuti ajang balapan Aosta-Gran San Bernardo Hillclimb, salah satu pembalap yang jadilawannya di lintasan, tak lain adalah ayahnya sendiri. Tapi sayang, gaya mengemudinya yang ceroboh membuatnya mengalami kecelakaan saat berusaha mendahului mobil ayahnya , yang pada akhirnta menyebabkan bahunya patah. Sebuah kenang-kenangan yang tak terlupakan adalah bekas luka di wajahnya yang uniknya, menjadi tren saat itu.

Gaya mengemudi Nino banyak dipakai pembalap-pembalap generasi selanjutnya. Kepercayaan diri dan keberanian Nino yang tinggi, dipakai bekal untuk melawan rival-rival dilintasan. Satu halyang menjadi kelemahannya adalah, dia seorang yang ceroboh dalam mengemudi.
Pada masa itu membalap bukanlah aktifitas yang ringan. Minimnya alat bantu mobil, mengharuskan pembalap harus punya stamina fisik yang kuat. Dan Nino punya syarat itu. Tubuhnya atletis karena selain balapan dia juga menempa dirinya dengan berbagai olahraga fisik. Setidaknya Nino juga seorang pelari ( Sprint), dan sebagai orang Italia, tentu Nino juga punya kemampuan bermain sepakbola yang bagus.
Modal fisik yang prima inilah yang membuatnya selalu tampil prima di setiap perlombaan dengan di balut sedikit kecerobohan, seperti yang kami tuliskan diatas.
Pada setiap cabang olahraga, tentu ada strategi. Tak peduli apapun olahraga itu, selain fisik, tentu harus ada strategi tertetnu untuk bisa tetap kompetitif. Dan strategi yang bagus tentu akan lahir dari pemikiran yang bagus. Kemampuan berfikir bagus inilah yang juga dimiliki seorang Farina.
Diakui atau tidak, Farina punya otak yang encer, hal ini di buktikan dengan gelar Doktor yang di dapat dari Universitas.
Pada musim 1933 sampai dengan 1934, Nino kembali ke arena balap dibawah asuhan Gino Rovere di tim Scuderia Subalpina. Di tim inilah Nino berkenalan dan selanjutnya menjalin persahabatan dengan seroang egenda Italia lainnya, Tazio Nuvolari. Nino mengemudikan mobil Maseratti dan Alfa Romeo.
Pada musim berikutnya, tepatnya tahun 1935, barulah Nino masuk di tim pabrikan Maseratti. Rupanya penampilan Nino membuat seorang Enzo Ferrari terkesan. Enzo pun tertarik untuk merekrut untuk membalap di timnya, Scuderia Ferrari. Di cuderia Ferrari, Nino mengendarai Alfa Romeo 8c. Memang, saat itu Scuderia Ferrari adalah sebuah tim yang di dukung secara teknis oleh Alfa Romeo.
Performa luar biasa ditunjukan ketika dia finish runner up pada balapan yang di gelar di Mille Miglia, padahal mereka membalap dalam gelap, ta ada sistem penerangan pada sirkuit saat itu.
Sedangkan kemenangan diraihnya pada musim 1937 di Grand Prix of Naples. Sebuah sirkuit di Posillipo, dekat Napoli.
Diakui atau tidak, sebagai seorang bergelar Doktor, tentu Nino mempunyai kecerdasan diatas rata-rata pembalap waktu itu. Kecerdasannya ini yang dipakai dalam setiap strategi balap dan menghasilkan gaya balap yang luar biasa. Tapi satu kelemahan lain seorang Nino selain ceroboh, yaitu pemarah.
Ya, dia seorang yang pemarah. Dia orangnya bodoh amat dengan pembaap lain. Termasuk rekan setim sekalipun. Sifatnya inilah yang berperan untuk mengantarkan dia terlibat dalam dua buah insiden kecelakaan yang dialami pada tahun 1936. Saat itu dia sedang berebut posisi dengan Marcel Lehoux, saat itulah, mobilnya mengalami ‘senggolan’ dengan mobil Lehoux. Tak urung hal iut membuat mobil Lehoux terbalik dan terbakar. Lehoux terpental keluar mobil. Luka di tulang tengkorak yang parah menyebabkan Lehoux menutup usia setelah sebelumnya dirawat di sebuah rumah sakit. Sedangkan Nino Cuma mengalami cedera ringan. Kejadian tragis dialami dua musim kemudian, tapatnya pada musim 1938. Kali ini terjadi di Gran Premio Tripoli. Kejadiannya melibatkan Laszlo Hartman yang memgemudikan Maserati 4CM. Kejadiannya bermula ketika Hartman berusaha mendahului dan memotong laju Nino dari sudut depan. Nino tak mau mengalah, atau memang tak sempat mengerem, karena selanjutnya mobil Nino menghajar mobil Hartmann yang menyebabkan Maserati itu terguling dan menyebabkan Hartmann meninggal dunia.
Pada musim 1938, secara resmi Nino mengemudi untuk itm pabrikan Alfa Romeo. Tim ini bernama resmi Alfa Corse. Disana dia mengemudikan mobil Maserati 158 Voiturette. Kemenangan diraihnya semuim kemudian di Gran prix de’ Anvers Copa Ciano dan Prix de Berne. Kemenangan-kemenangan inilah yang mengantarkan Nino meraih kemenangan selama tiga tahun berturut-turut. Sedangkan kemenangan pada Grand Prix Tripoli diraih pada tahun berikutnya. Di Mille Miglia dia kembali finish runner up. Berarti ini sudah tiga kali berturut-turut Nino menjadi runner up di Miglia. Setelah perang dunia kedua, Nino kembali balapan. Pada akhirnya, Nino memenangi Grand Prix Des Nation pada 1946.
Pada tahun berikutnya, 1947, Nino berselisih paham dengan tim soal kepemimpinan. Hal itu membuatnya berhenti balapan selama semusim penuh.Baru pada musim berikutnya Nino kembali balapan, kali ini sebagai Privater, modal sendiri, Nino mengendarai Maserati. Kurun waktu tersebut, Nino Farina menikahi Elsa Giaretto.
Diketahui, Elsa adalah seorang perempuan yang elegan dan stylish pada masanya. Elsa, selanjutnya berusaha membujuk Nino untuk berhenti balapan. Tapi Nino keukeuh tetap balapan.
Bahkan tiga hari setelah pernikahan mewahnya Nino terbang kre Argentina untuk balapan di Gran Premio Internacional del General San Martín dan menang pada kesempatan itu. Setelah Argentina, Nino merajai sirkuit Monaco dengan Ferrari 125.
Sampai pada tahun 1950, kerjuaraan Dunia Pembalap yang di helt FIA dibuka untuk pertama kali. Balapan awal di adakan di Sirkuit Silverstone, Inggris. Tak kurang dari 150.00 penonton hadir di even itu. DI musim perdana ini, Farina sudha kembali di kursi Alfa Romeo. Satu tim ada tiga mobil.
Farina bersama Luigi Fagioli, dan Leg Parnel. Rupanya tahun awal dimulainya Formula 1 ini adalah awal keberuntungan Alfa Romeo. DImana tiga pembalap mereka finish beruntun posisi 1 untuk Farina, Luigi Fagioli di posisi kedua, dan Leg Parnel di tempat ketiga. Saat itulah sejarah di Formula 1 mencatatkan namanya sebagai pemenang pertama kali kejuraan di gelar.
Di tim ini, Farina adalah pembalap nomor satu. Dimana dia memimpin dua pembalap Alfa Romeo lainnya. Selanjutnya Alfa Romeo adalahs alah satu dari beberapa tim Italia yang ada di Grid yang secara resmi di selenggarakan tiap tahun oleh .
Pada race berikutnya yang di gelar di Monako, Farina tersingkir dari Juan Manuel Fangio yang pada putaran kedua ini juga masuk sebagai rekan setim di Alfa Romeo. Mereka akhirnya dijuluki tiga F Alfa Romeo. Farina, Fagioli, dan Fangio.
Terlepas dari itu, performa tim sangat kompetitif yang mengakibatkan persaingan sengit, bahkan diantara ketiga pembalap Alfa Romeo itu sendiri. Sepanjang musim, yang kala itu digelar dalam tujuh putaran, persaingan justru terjadi antara Fangio dan Farina.
Setelah dua putaran Alfa Romeo memenangi balapan, putaran ketiga yang di helat di Indianapolis 500 dimenangkan oleh Johnnie Parson, dari tim Kurtis Kraft Offenhauser. Sepanjang musim, rupanya grid di dominasi oleh triple F ini.
Setidaknya selepas GP Indianapolis 500, Fasrina kembali unjuk gigi. Dia melibas Fangio dan menjadikan Fangio menempati runner up. Beranjak ke GP Beligia yang di gelar di Spa Franchorchamp, Fangio berhasil mengalahkan Fagioli, sedangkan Farina musti merasakan getirnya duduk di posisi keempat gegara kerusakan pada gearbox.
Kendati begitu, sampai disini Farina masih memimpin klasemen dengan modal 22 poin balapan, sementara di runner up klasemen Fagioli mengantongi 18 poin, dan Fangio berada di urutan ketiga dengan hanya selisih satu poin dari Fagioli, yaitu 17 poin. Pada GP Perancis, Farina tersungkur ke urutan yang ke tujuh.
Hasil ini membuat Farina terlempar ke posisi dua dan Fangio berhasil mengungguli Farina sebanyak dua poin balapan. Balapan di Monza di putaran berikutnya adalah laga kandang buat Alfa Romeo dan Farina.
Dibawah tekanan Alberto Ascari yang mengendarai Ferrari. Saat itu Fangio sedang bermasalah dengan gearbox. Seharusnya kalau Fangio baik-baik saja, bisa jadi, rival berat Farina adalah Fangio. Dan tentunya, kalau semua berjalan sesuai rencana, ini akan jadi perebutan gelar juara dunia. Karena, seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, Fangio unggul 2 poin balapan dari Farina.
JUARA DUNIA 1950
Dan Monza adalah sirkuit terakhir untuk musim 1950. Tapi rupanya dalam hidup, ada banyak hal yang tidak sesuai yang di rencanakan manusia. Kerusakan mobil Fangio akan memberi peluang buat Farina untuk meraih gelar juara dunia pertamanya!
Tekanan Ascari ibarat hanya sebagai lecutan semangat agar dia bisa finish, setidaknya dengan hanya urutan ketiga pun sudah cukup membuat Farina meraih titel juara.
Toh apda akhirnya Farina bisa menyelesaikan balapan dengan kemenangan! Plok..plok..plok.. Dimata banyak orang, sosok Farina adalah seorang pria yang punya kepribadian ganda. Pada satu waktu, Farina bisa jadi seorang yang sopan dan ramah.
Tapi pada saat lain, Farina bisa jadi seorang yang angkuh dan penyendiri. Setidaknya tuduhan yang terakhir kami tulis itu ditunjukkan Farina pada sikapnya yang ditujukan terhadap Fangio yang berasal dari latar belakang keluarga sederhana di Argentina.
Dan Farina, seperti kita tahu, keluarga pengusaha kaya di Italia. Sampai sekarang pun, siapa tidak kenal salah satu anggota keluarganya, Pinninfarina, yang tak lain adalah pamannya.
Pada masa itu, Farina mendapat nickname ( julukan) Gentelman Of Turin, karena latar belakangnya yang terbilang istimewa. Seumpama di sistem monarki, Farina ini seorang berdarah biru. Bahkan, gaya ‘ningrat’ ini di juga di adopsi Farina di belakang kemudi. Posisi duduk ketika mengemudi diatur tegak, seolah ogah , mennjukkan penundukan diri.
Tangannya pun diatur untuk terentang penuh, seperti seorang petarung yang siap menerima tantangan lawan. Gaya Farina tidak ‘boros gerakan’ yang tak perlu. Respon kaki pada pedal gas yang smooth menjanjikan pengendalian sempurna dalam melajukan mobil.
Gerakan ini terbukti di memporsir mobil. Teknik mengemudi seperti inilah yang kelak ditiru Juan Manuel Fangio dan Stirling Moss. Look at! Fangio pun akhirnya menjadi dominan di grid dengan gaya ini, kan? Akhirnya Farina memutuskan pensiun pada musim 1956. Fangio punya pendapatnya sendiri tentang Farina.
Fangio menganggap Farina adalah pembalap gila. Bahkan, sebagai seorang yang religious, Fangio berpendapat, hanya perawan suci ( Bunda Maria) lah yang bisa mengontrol laju mobil Farina untuk tetap di jalurnya.
Sementara seorang Enzo Ferrari pun pernah melontarkan rasa kawatir terhadap keselamatan Farina, kendati Enzo pun mengakui, bahwa Farina adalah seorang berotot kawat balung wesi seperti pepatah Jawa, yang artinya terbuat dari baja luar dalam.
Tapi toh Farina berhasil menyelesaikan semua pertandingan yang di ikuti dengan masih bisa menghembuskan nafas, yang aetinya dia selamat dari maut pada seluruh balapan. Maut justru menjemput Farina pada saat perjalanannya untuk nonton GP Perancis. Saat itu Lotus Cortina yang di kemudikan menabrak tiang telegraf di Savoy Alps.
Sumber : http://www.motorsportmemorial.org/LWFWIW/focusLWFWIW.php?db=LWF&db2=&n=33 https://www.formula1.com/en/drivers/hall-of-fame/Nino_Farina.html