Formula 1, identik dengan Ferrari sebagai tim. Tanpa Ferrari, rasanya Formula 1 seperti kehilangan separuh nyawa. Karena Ferrari adalah tim tertua, selain Mclaren dan menyusul Mercedes. Tapi Mercedes mengalami ‘jeda’ puluhan tahun dan baru masuk lagi sebagai tim pabrikan pada musim 2010 setelah sebelumnya terhitung dari 1995 hanya sebagai pemasok mesin buat Mclaren.
Tercatat prestasi pertama Ferrari adalah pada tahun 1961 dan terakhir 2008, untuk gelar konstruktor. Sedangkan gelar pembalap pertama diraih tahun 1952 ( melalui pembalapnya Alberto Ascari), serta yang terakhir pada 2007 ( Melalui Kimi Raikonnen).
Ferrari pernah mengalami paceklik juara, dari tahun 1979, sampai dengan tahun 1999 dan puncaknya, pada tahun 2000 berhasil mengawinkan gelar konstruktor dan pembalap selama lima musim berturut-turut melalui dua pembalapnya, Michael Schumacher dan Rubens Barichello.
Belum pernah Ferrari mengalami kesuksesan luar biasa seperti kala itu. Selanjutnya, mereka anti klimaks setelah Renault menjegal dominasi Ferrari. Dua musim, 2005 dan 2006 gelar itu melayang ke Renault.
Pada tahun 2006, Ferrari kehilangan tiga orang hebatnya, yaitu Michael Schumacher, Ross Brawn, dan Rory Byrne, setelah musim 2005 mereka ditinggalkan oleh Rubens Barichello dna di gantikan Felipe Massa.
Setelah 2008, Ferrari seolah kehilangan kejayaannya. Betul-betul tak berdaya.
Lantas, apa kunci sukses Ferrari ?
Jawabannya pertama adalah pembalapnya, Michael Schumacher! Hanya dia? Tidak!
Ada tokoh belakang layar yang turut ikut memberikan sumbangsih kepada tim kuda jingkrak. Todt adalah orang terakhir di tim sukses Ferrari yang hengkang, yaitu pada tahun 2007. Kebetulan, tahun ini tahun terakhir Ferrari memenangkan juara dunia pembalapnya, seperti yang tadi sudah kita sebut, yaitu kimi Raikonen.
Ditangan merekalah Ferrari mengukir sejarah manis.
Pada tahun 2008, posisi Todt digantikan Stefano Domenicali sampai tahun 2014. Selepas Domenicali, Ferrari menempatkan Marco Mattiacci. Hanya setahun berselang, Mattiacci digantikan oleh Maurizio Arrivabene.
Tapi Arrivabene tak bisa mengembalikan kejayaan Ferrari. Jabatannya lalu diganti oleh Mattia Binotto terhitung sejak tahun 2019.
Bagaimana progresnya?
Sejauh ini, amburadul! Setidaknya kalau kita melihat pada apa yang dialami oleh Ferrari musim 2022.
Dari hari ke hari strategi Ferrari terlihat sangat aneh.
Kekonyolan yang disoroti adalah pada kejadian di GP Monako tanggal 29 Mei 2022. Dimana saat itu Charles Lecrec yang memulai balapan dengan posisi pole, tapi justru finish posisi empat. Padahal karakter sirkuit jalanan Monako sangat memungkinkan Lecrec untuk bisa meraih kemenangan. Mengingat akan sulit mendahului di sirkuit jalanan ini.
Tak urung hasil balapan itu membuat Charles Lecrec kesal dan menuding strategi tim yang amburadul yang menjadi penyebab kekalahan pembalap asal Monako tersebut.
Lecrec saat itu ada di barisan terdepan, diikuti rekan setim, Carlos Sainz, berhasil mengungguli duo Redbull.
Sampai Pada lap ke 22, mereka mengganti ban kering. Anehnya, empat lap kemudian Leclerc masuk pit lagi dan mengganti ban.
Dan itu yang membuat posisinya melorot urutan ke empat, sampai finish!
Leclerc pun menuding keputusan Ferrari yang secara tiba-tiba itu sebagai biang kerok kekalahnnya. Harusnya kemenangan sudah dalam genggaman.
Leclerc mengatakan, mereka punya semuanya untuk modal menang, tapi strategi yang kacau membuat mereka harus menelan pil pahit.
Pada GP Hungaria yang di helat di Sirkuit Hungaroring pada tanggal 31 juli 2022, Charles yang mengawali balapan di posisi ketiga merangsek ke depan. Tapi apda lap ke 50 dia diperintahkan masuk pit. Mereka melakukan penggantian ban dari medium ke hard. Tapi justru menurunkan performa dan membuat posisi Leclerc melorot dan finish ke enam. Leclerc sudah tak kurang-kurang mengeluhkan strategi tim sampai-sampai merasa frustasi dibuatnya.
Strategi aneh lain turut mewarnai GP Belgia pekan silam. Strategi mereka kali ini nggak kalah aneh seperti yang sudah-sudah. Bahkan dianggap blunder.
Tak hanya Charles Lecrec, bahkan Fernando Alonso pun di buat bingung dengan strategi aneh Ferrari ini.
Ferrari melakukan pitstop di lap terakhir balapan hanya demi mencapai fastest lap, dengan harapan mendapat tambahan satu poin buat Leclerc. Tapi apa yang terjadi? Strategi itu justru membuahkan hukuman stop and go selama 5 detik karena Lecrec melampaui batas kecepatan maksimal di pitlane.
Akhirnya posisi 5 Leclerc digantikan oleh Alonso akbitan penalty tersebut.
Melihat dua kasus diatas sudah cukup menggambarkan bahwa pada masa kepemimpinan Mattia Binoto Ferrari mengalami kemunduran. Bukan oleh hal yang sifatnya teknis engineering, tapi lebih ke soal strategi.
Pertanyaannya adalah, kenapa? Apakah Binoto tidak cukup pintar? Apakah Binoto kurang pengalaman? Kalau soal pengalaman di tim, Binoto bukanlah orang baru di Ferrari. Binoto gabung dengan tim kuda jingkrak sudah sejak tahun 1995 silam.
Itu berarti Binotto sudah ada di Maranello sejak masa keemasan Ferrari. Dan berarti, Binotto sudah pernah bekerja untuk proyek mobil-mobil masterpiece Michael Schumacher dan beberapa pembalap hebat lain di Ferrari, meskipun hanya sebagai Engineer biasa.
Sampai pada musim 2019 Ferrari mengumumkan bahwa mereka menggantikan posisi Maurizio Arrivabene dengan Matia Binotto. Mengawali musim pertamanya sebagai team Principal, Matia Binotto belum seberapa menunjukkan kepiawaiannya mengelola tim. Perolehan poin akhir konstruktor pada musim sebelumnya 571 poin dan bertengger di urutan kedua klasemen akhir, pada kepemimpinan Binotto justru turun pada angka 504 poin kejuaraan.
Sementara tim juara (Mercedes) justru naik dari 655 melonjak ke angka 739 poin di klasemen akhir. Pada 2020 Ferrari makin terpuruk dengan hanya memperoleh 131 poin, dan 2021 naik perlahan di angka 323.5. tentu saja ini jauh dari kata ideal.
Kalau ada yang tanya kenapa?
Jawabnya ada dalam keanehan strategi tim kepemimpinan Mattia Binotto. Seperti yang tersebut diatas pada strategi GP Belgia, Binotto justru membela bahwa sudah benar strateginya, padahal jelas-jelas konyol.
Sebagai orang yang sangat pengalaman di Ferrari, sikap dan gaya Binotto ini seolah bagaikan badut yang kerjaannya melucu. Mengingat sudah banyak prestasi di raih Ferrari selama dia bergabung dengan tim merah ini.
Jadi gimana bisa membawa tim ke puncak lagi, seperti yang diucap pada sesi podcast dengan audiobooms pada 9 Desember 2020 lalu, kalau kerjaannya Cuma ‘mulucu’ mulu ?
Ya begitulah sikap dan gaya Binotto, padahal beberapa orang di Formula 1 sudah memprediksikan, posisinya akan terancam bila terus menerapkan strategi yang aneh. Seperti diungkapkan oleh mantan pembalap Ralf Schumacher.
Tapi dari kubu Ferrari sendiri bergeming untuk tetap mempertahankan Binotto dalam sekuad mereka. Padahal, pada tanggal 10 Januari 2022 silam, kubu Ferrari melakukan restrukturisasi besar-besaran. Tapi tak sampai menyentuh ke elit pimpinan, termasuk posisi Binotto. Mengenai perombakan itu sendiri pihak Ferrari mengatakan untuk lebih merampingkan struktur organisasi agar lebih lincah untuk mencapai tujuan, salah satunya emisi bebas karbon 2030.
Jelas pesan yang tersirat, bahwa Ferrari masih butuh engineer berpengalaman sekaliber Mattia Binotto untuk mencapai tujuan itu. Toh nanti kalau sudah tidak butuh mereka akan membuangnya. Seperti itu yang kebanyakan terjadi, kan?
Betul jg ya,pd wktunya nti.ferarri jg akan mendepak,membuang,…mattio binotto.
Sa’at ini,Ferarri msh sgt membutuhkannya to urusan mesin…mski sgt n sgt menjengkelkan sepak terjangnya dlm meminij blpnnya.