Ngomong soal balapan motor, sebetulnya pada masa lalu, setidaknya pada era-era 90 an, negeri ini bertebaran pembalap-pembalap jempolan dan berbakat tanah air. Diantara mereka, bahkan prestasinya sampai ada yang sampai merambah kancah even internasional.
Ada alasan yang kuat kenapa banyak pembalap motor. Alasan pertama tentu saja tingkat penjualan kendaraan roda dua yang cukup tinggi di tanah air. Wajar, karena motor adalah alat transportasi yang relatif terjangkau dan praktis.
Alasan lain tentu maraknya even balapan, dalam hal ini road race alias balap jalan raya. Walau yang di perlombakan motor-motor ‘kecil’ dan notabene produksi masal yang beredar dengan kemampuan terbatas, tapi tidak menyurutkan pembalap tanah air untuk mengasah kemampuan adu cepat di lintasan sirkuit pasar senggol.
Hal itu seharusnya bisa dijadikan ajang promosi untuk APM ( Agen tunggal pemegang Merk) untuk dagangannya.
Kenapa?
Karena era itu, even balapan di dominasi, atau bahkan hampir semua adalah ajang balap jalan raya alias road race, dimana motor yang dipakai kudu motor yang dijual masal, bkan motor konsep seperti halnya Grand prix.
O ya, sirkuit pasar senggol adalah istilah dari beberapa media tanah air untuk sebutan trek road race. Kebanyakan sih digelar di jalan raya yang ditutup untuk sementara selama gelaran berlangsung.
Tentu saja karena sarana yang terbatas, maka tempat penonton ya dipinggir jalan itu! Mereka berdesakan di sisi sirkuit yang diberi pembatas. Untuk pembatas biasanya hanya berupa tali.
Tapi untuk kota Surabaya sudah punya sirkuit permanen. Tentu saja sirkuit itu tidak sekelas Sentul atau Mandalika jaman sekarang. Karena peruntukannya pun hanya untuk balapan Road Race. Jadilah namanya Sirkuit pasar Senggol, Kenjeran.
Kalau ditanya kenapa mereka tidak punya sirkuit besar, karena yang diperlomabkan saat itu motor-motor kecil. Dari kelas 110 cc- sampai dengan 150cc. Yang cocok ya memang sirkuit jalanan macam ini. Pernah pada satu ketika pas mereka ikut kejuaraan di Sentul sekitar tahun 2000an, tapi kondisi malah kacau. Karena
Dari sirkuit-sirkuit pasar senggol ini lah muncul nama-nama pembalap macam Ahmad Jayadi, Petrus Canisius, Rudi Arianto alias Ade Taruna, Sony saksono dan tentu saja Hendriansyah!
Pembibitan pembalap dari tahun ke tahun terus tumbuh. Ada semacam regenerasi pembalap.
Maraknya gelaran road race, antusiasme penggemar, seolah menambah pertumbuhan jumlah pembalap tanah air.
Dan diantara mereka bahkan pernah satu trek, balapan bareng Valentino ‘ the Doctor’ Rossi!
Serius?
Yeyy, ini serius. Tapi diantara mereka pernah menjadi pembalap wild card pada gelaran GP 1997. Mereka turun di kelas 125cc, dimana Rossi membalap di kelas itu untuk Tim Aprilia Racing. Mereka juga yang jadi saksi bagaimana Rossi menang di Sentul dan dapat senyum manis Pak Harto waktu penyerahan Piala.
Siapa kah mereka?
Mari kita ulas satu persatu!
Sony Saksono
Ini adalah pembalap yang sangat spesial! Mengingat era itu tak banyak yang bisa diperbuat oleh insan otomotif tanah air untuk bisa sekedar berkiprah diajang balapan. Boro-boro internasional, nasional pun susah. Bisa dimaklumi, masa itu masa perekonomian nggak sebagus sekarang. Sarana dan prasarana pun minim banget.
Dan Om Sony, adalah satu-satunya pembalap tanah air yang bisa merangsek maju di kancah internasional dengan turun di kelas 500cc atau GP500. Kelas paling bergengsi saat itu. Itu adalah kelas puncak pada gelaran balapan motor.
Mengawali balap motor dari sirkuit Ancol, beliau mendapat julukan Sony SA, bernama lengkap Sasono Sastro Atmodjo. Kakak kandungnya juga pembalap era 1960 an. Sang adik, Sidarto Sastro Atmodjo juga menekuni profesi yang sama, sebagai pembalap.
Nama julukan tambahan SA bisa jadi kependekan dari Sastro Atmojo, nama keluarga besarnya, tapi banyak yang mengartikan Setan Ancol!
Mantap kali julukannya. Dari ancol itulah kiprah mendunia Om Sony bermula.
Kiprahnya di dunia internasional nggak malu-maluin juga. Setidaknya Om Sony pernah merasakan podium kedua di Sirkuit Zandvoort, Belanda pada tahun 1972.
Tapi sayang, kiprah om Sony di dunia balap musti berakhir karena sang takdir. Om Sony mengalami kecelakaan menjelang GP Ceko. Motor om Sony hilang kendali di tikungan S, ( Chikane), dan membuat om Sony jatuh dengan luka parah di bagian kepala dan pinggang. Konon Om Sony jatuh ke rel kereta api yang ada di sisi jalan. Saat itu Om Sony baru mengikuti latihan, sehari sebelum race per tanggal 12 agustus 1972.
Sesaat setelah kejadian, Om Sony sempat dirawat di rumah sakit setempat. Setelah koma Om Sony dinyatakan meninggal. Kini piala kemenangan Om Sony waktu di Zandvoort dan helm yang digunakan di simpan di museum sirkuit Sentul
Hendriansyah
Pada tahun 1993 ada seorang remaja 12 tahun yang menggebrak dunia motorsport. Mengawali karier olahraga bermotor terlebih dulu Hendriansyah, nama pemuda itu, karena mengikuti jejak sang kakak, Irwan Ardiansyah.
Debut selanjutnya Hendriansyah terjun ke kejuaraan road race pada tahun 1996, setelah sebelumnya menekuni motor cross.
Tak butuh waktu lama buat pemuda yang akrab dapat julukan kuncung tersebut untuk membuktikan dirinya sebagai Dewa Road race karena kemampuannya mengasai motor di lintasan sirkuit pasar senggol.
Awalnya turun sebagai pembalap pemula. Tentu saja motornya pun berbasis motor jalan raya yang dijual dipasaran. Boleh dibilang, teknologi motor yang dipasarkan di tanah air apa adanya banget. Dan Suzuki Tornado GS yang dipilih Hendriansyah. O ya, buat anak milenial yang belum tahu Tornado GS. Motor ini bermesin 110cc, 2Tak. Mesin yang sama juga dipakai Suzuki Crystal.
Setelah Suzuki meluncurkan Shogun, Hendri pun memakai motor 4Tak.
Jangan ragukan soal prestsi si Kuncung ini. Setahun kiprahnya di balap jalan raya, tahun 1997 langsung menyabet gelar juara kelas pemula.
Tahun 1998 Hendri naik pangkat ke Seeded B. Kali ini si Kuncung direkrut oleh tim Yamaha Indonesia.
Karier Hendriansyah terus menanjak ketika tahun 2000 masuk ke Tim Inter Biru CMS yang di komandani Edwin Wongso alias Apeng. Fyi, Inter Biru adalah merk rokok produksi PT Bentoel Malang.
Pendeknya, ini tim non pabrikan, dengan keuangan yang lebih ‘royal’ terhadap pembalap. Yap! Bayaran atau nilai kontrak Hendri lebih tinggi disini. Saya rasa bukan hanya Hendriansyah, hampir semua pembalap kalau di ditawari gaji lebih gede, tentu akan memilih yang lebih gede.
Selain dapat bayaran lebih tinggi, Hendriansyah juga berkesempatan balapan di regional Asia. Bagus dong buat pengembangan karier balap ke depan.
Puncak karier Hendriansyah adalah ketika dia mengikuti lomba di kelas Supersport 600cc Asia, dimana saat itu dia mendapat kontrak dari tim China Macau Zhongshen Racing Tim.
Setelah lama malang melintang di panasnya aspal sirkuit dan meraih berbagai gelar, akhirnya Hendri memutuskan pensiun, lalu memulai berbisnis bersama sang kakak, Irwan Ardiansyah.
Ahmad Jayadi
Kalau Hendriansyah mengawali balap dari Motorcross, maka Ahmad Jayadi mengawali langsung ke motor jalan raya. Sunday Race Kemayoran adalah ajang yang diikuti pertama kali pembalap kawakan itu. Turun dengan menggunakan RX King sebagai pembalap Privateer.
Sebagai tim privater dengan dana terbatas, tentu saja Ahmad Jayadi turun dengan motor standart. Tahu sendiri kan betapa mahal olahraga raga balap.
Di ajang inilah keduanya di pertemukan, sebagai rival berat!
Tapi debut pertamanya tersebut lah yang menjadi ‘peluru’ yang melejitkan karier Ahmad Jayadi. Rangkaian kemenangan di berbagai balapan membuat tim pabrikan Yamaha melirik Jayadi untuk bergabung dengan tim Yamaha. Tahun itu tahun 1994. Saat Hendriansyah berkutat dengan motorcross.
Ada satu momen tak terlupakan dimana Ahmad Jayadi menjadi pembalap Wild Card tuan rumah pada gelaran Grand prix 1997. Saat itu Ahmad Jayadi yang saat itu turun di kelas 125 cc berada satu lintasan dnegan Valentino ‘the doctor’ Rossi.
Ahmad Jayadi bersama Ade Taruna dan Petrus Tobun Canisius.
Walau, pada perhelatan itu Jayadi mengakui bahwa kekuatan mereka sangat tidak imbang. Maklum, seperti yang sering saya singgung, teknologi yang masuk di negeri ini belum secanggih sekarang.
Puncak karier tertinggi yang bisa di capai Jayadi adalah ketika dia memenangkan kejuaraan nasional Suersport 600CC ( 2006)
Jayadi mengakhiri karier balapnya di tahun 2010, lalu memulai usaha. Masih berkaitan dengan motor, Jayadi membuka bengkel dikawasan Pondok Gede, Bekasi.
Ade Taruna
Jauh-jauh hari sebelum dua pembalap tanah air yang kita bahas diatas terjun ke dunia adu cepat ini, ada nama Rudi Arianto yang mengisi jajaran pembalap tanah air.
Om Rudi Arianto ini akrab dipanggil Ade Taruna.
Dimana pembalap tanah air lainnya tahun itu, Ade Taruna memulai karier adu cepatnya di Sirkuit Ancol, Jakarta Utara. Maklum, belum ada Sentul waktu itu.
Di tahun 2000 an Ade Taruna menggeber Yamaha F1Z-R pada ajang Inter Biru Road Race Championship di lapangan SCTV, Surabaya.
Untuk Om Ade terakhir membalap pada tahun 2006 di Tim pabrikan Yamaha.
Beda dengan Hendriansyah dan Ahmad Jayadi yang mengakhiri karier balapnya dengan berbisnis, kini Ade Taruna menjadi manajer tim balap H Putra 969 milik Haji Putra Rizky.
Petrus Tobun Canisius.
Petrus Tobun Canisius adalah salah satu dari tiga pembalap yang turun sebagai Wild Card di GP Sentul bersama Ahmad Jayadi dan Ade Taruna. Saat itu terbilang usia Petrus sudah tidak muda lagi.
Saat Valentino Rossi berusia 20 tahun, Petrus sudah berusia 26 tahun.
Walau catatan waktu Petrus terpaut cukup jauh dengan The Doctor, (sekitar 3 detik), tapi toh akhirnya dia bisa menyelesaikan balapan dan finish di posisi akhir. Cukup bagus lah untuk pembalap yang waktu itu terbiasa turun di lintasan road race.
Sekilas sosok Petrus tobun Canisius.
Petrus, seperti kebanyakan pembalap tanah air era 90 an, merupakan ‘lulusan Ancol’. Terutama pda ajang Yamaha Sunday Rce. Sesuai namanya, even itu adalah sebuah One Make Race. Yamaha Indonesialah yang menginisiasi balapan yang banyak melahirkan pembalapembalap hebat di tanah air.
Berawal dari Ancol, ajang tersebut kemudian merambah ke seluruh daerah di Indonesia. Pada gelaran itu, Petrus berhasil menjadi legenda dengan menggondol kemenangan selama lima tahun berturut-turut dari tahun 1993 sampai dengan 1997.
Sebagai pembalap senior Yamaha, Petrus juga pernah mengecap pendidikan langsung dari Kenny Robert, Sr di Barcelona, Spanyol. Sebagai perwakilan pembalap Yamaha Indonesia yang dikirim untuk program pelatihan.
Petrus pernah menjadi pelatih Doni Tata Pradita. Petrus salah satu orang yang menggembleng Doni Tata sejak awal karier balap Doni.
Tapi karena beda prinsip, akhirnya Petrus mengundurkan diri dari Doni Tata.
Selepas itu, tak banyak yang bisa diketahui tentang Petrus. Tapi pada satu kesempatan tahun lalu, Petrus sempat terlihat menggeber motor Kawasaki ZX25-R Ninja. Petrus dapat kesempatan pertama menggeber motor sport itu menjelang launching Kawasaki ZX25-R.
Itulah list pembalap Tanah Air yang berprestasi di masa lalu.
Kalau dilihat, walau teknologi seadanya, sarana prasarana terbatas, tapi jaman dulu semarak dengan pembibitan pembalap.
“ Sekarang pun masih banyak pembibitan pembalap muda, om!” ujar Om Ade Taruna yang berhasil kami hubungi secara langsung.
Tapi waktu gelaran MotoGP kemarin jatah wild card nggak ada yang ambil.
“ Itu tergantung pabrikan, om..” Lanjut Om Ade Taruna.
Harusnya, dengan makin canggihnya teknologi, sarana dan prasarana yang memadai, serta varian motor yang dipasarkan tanah air makin beragam, dari kelas 110cc sampai dengan motor gede 1000cc, pembibitan pembalap bisa makin bagus. Harusnya jumlah pembalap makin banyak, sehingga peluang untuk turun ke kancah internasional makin besar.
Apalagi di era teknologi informasi ini banyak akses informasi yang bisa di dapat dengan mudah.
Faktor apa kah penyebabnya?
Karena balapan adalah olahraga mahal? Atau mungkinkah karena pelarangan sponsor rokok? Mengingat jaman dulu kebanyakan tim-tim balap tanah air banyak yang di sokong dana oleh pabrikan rokok. Sampai disini belum tahu pasti apa penyebabnya. Tapi makin maraknya gadget, membuat kawula muda makin malas menekuni olahraga fisik, mereka lebih suka balapan virtual daripada balapan beneran.
Masuk akal nggak?