Pada Agustus lalu, Dovizioso mengumumkan tak mau lagi membela Ducati Team tahun depan. Sejak itu, namanya dikaitkan dengan Aprilia Racing, yang juga terancam kehilangan Andrea Iannone akibat kasus doping. Sayang, Aprilia akhirnya urung menggaet ‘Dovi’, karena kabarnya pembalap Italia itu meminta nilai gaji yang cukup tinggi.
Setelahnya, Dovizioso justru dikabarkan akan menjadi test rider Aprilia. Namun, Honda, Yamaha, dan KTM juga tertarik. KTM sendiri akhirnya memilih menarik tawaran, memutuskan tetap fokus pada Dani Pedrosa sebagai test rider. Honda juga ingin menggaetnya untuk menggantikan Stefan Bradl yang sudah jadi test rider mereka sejak 2018.
Yang paling menghebohkan, ‘Dovi’ sempat negosiasi serius dengan Yamaha, yang belakangan cekcok dengan sang test rider, Jorge Lorenzo, akibat performa yang buruk di uji coba Portimao, Portugal, pada awal Oktober. Namun, kini Dovizioso justru memutuskan menarik diri dari tawaran apa pun di MotoGP, dan malah memilih vakum setahun.
Dovizioso, yang merupakan anak dari eks pembalap motor Italia, Antonio Dovizioso, lahir di Forli pada 23 Maret 1986. Ia sudah belajar mengendarai motor sejak belia, namun motor yang ia kendarai pertama kali adalah motocross, yakni disiplin balap motor yang menjadi cinta pertamanya.
Meski begitu, ketika beranjak remaja, Dovizioso banting setir ke ajang road race, dan sukses menjuarai Aprilia Challenge Italia 125cc pada 2000. Pada 2001, ia pun naik ke level Eropa, dan kembali merebut gelar juara di kelas 125cc. Prestasi ini membuatnya mendapatkan fasilitas wildcard di Mugello, Italia di Grand Prix 125cc.
Meski gagal finis di Mugello, Dovizioso mendapatkan kontrak untuk pertama kali turun sepenuhnya di ajang Grand Prix 125cc bersama Team Scot Honda. Pada musim debutnya, ia mengakhiri musim di peringkat 16, tanpa satu pun podium atau kemenangan. Namun, setahun setelahnya, kariernya berubah drastis.
Masih membela Team Scot Honda pada 2003, Dovizioso menggebrak dengan 4 podium. Meski belum menang, ia sukses mengakhiri musim di peringkat 5. Pada 2004, dengan tim yang sama, ia mengoleksi 8 pole dan 11 podium, yang 5 di antaranya merupakan kemenangan. Ia pun sukses merebut gelar dunia GP125, membekuk Hector Barbera, Roberto Locatelli, dan Jorge Lorenzo.
Setia kepada Honda dan juga Team Scot, Dovizioso naik ke kelas GP250 pada 2005. Pada musim perdananya di kelas intermediate, ia paceklik kemenangan, namun mengoleksi 5 podium, dan menduduki peringkat 3 pada klasemen pembalap, di belakang Pedrosa dan Casey Stoner.
Pada 2006, Pedrosa dan Stoner pun naik ke MotoGP, hingga perebutan gelar terjadi di antara Dovizioso dan Lorenzo. Rivalitas mereka yang sengit pun dimulai pada musim tersebut, ketika Lorenzo meninggalkan Honda demi menuju Aprilia. Menjadi rider andalan pabrikan masing-masing, keduanya pun bertarung sengit sampai akhir.
Musim itu, Dovizioso kembali mengoleksi 11 podium, yang 2 di antaranya kemenangan. Sayangnya, ia harus puas jadi runner up, melihat gelar jatuh ke tangan Lorenzo. Hal yang sama terjadi pada 2007, dan sejak itulah Dovizioso dapat status ‘underdog’, karena Lorenzo mencuri perhatian paling banyak, walau Dovizioso tak kalah garangnya.
Status ‘underdog’ ini bahkan terbukti pada 2008, saat keduanya sama-sama naik ke MotoGP. Walau dua tahun berturut-turut terbukti jadi dua rider muda terbaik di kelas GP250, Lorenzo mendapatkan kontrak dari tim pabrikan Yamaha, sementara Dovizioso sekadar diletakkan di tim satelit Honda, yakni JiR-Scot Honda.
Lagi-lagi Lorenzo jadi bintang muda yang lebih bersinar pada seri pertama MotoGP 2008, langsung finis kedua dan naik podium. Namun, Dovizioso tak kalah mengagumkan. Mengendarai motor tim satelit yang ala kadarnya, ia bisa finis keempat usai berduel sengit dengan Valentino Rossi sampai tepat di garis finis, dengan keunggulan 0,017 detik.
Sepanjang musim, Dovizioso hanya meraih satu podium, yakni saat finis ketiga di Malaysia. Namun, performanya sangat konsisten, kerap finis di posisi 10 besar, hingga mengakhiri musim di peringkat 5. Performa ini membuatnya dinilai cukup layak membela Repsol Honda pada 2009, menggantikan Nicky Hayden yang hengkang ke Ducati.
Membela tim paling prestisius dalam sejarah Grand Prix, banyak orang menantikan gebrakan lebih besar dari Dovizioso. Sayangnya, lagi-lagi ia harus jadi ‘underdog’, karena sang tandem, Pedrosa, menjadi rider utama tim tersebut. Dovizioso memang konsisten bertarung di posisi 6 besar, namun juga 4 kali gagal finis.
Dovizioso pun akhirnya membuktikan bahwa ia juga layak menjadi rider yang diperhitungkan secara serius, usai merebut kemenangan perdananya di MotoGP dalam pekan balap di Donington Park, Inggris, yang kala itu diguyur hujan. Sayangnya, ia harus legawa mengakhiri musim di peringkat 6 pada klasemen pembalap.
Pada 2010 dan 2011, performa Dovizioso meningkat drastis. Walau paceklik kemenangan lagi, dan harus jadi rider kedua bahkan ketiga di belakang para tandemnya, Pedrosa dan Stoner, ia mengoleksi 14 podium. Ia mengakhiri 2010 dan 2011 di peringkat 5 dan 3. Bahkan pada 2011, ia berhasil membekuk Pedrosa dalam perebutan peringkat di klasemen akhir musim.
Sayang, Repsol Honda tak lagi menurunkan tiga rider sekaligus pada 2012. Dovizioso pun hengkang ke Monster Yamaha Tech 3. Di atas YZR-M1, lagi-lagi Dovizioso paceklik kemenangan, namun ia meraih 6 podium, dan sampai saat ini masih jadi rider Tech 3 dengan podium terbanyak sejak tim asal Prancis itu turun di kelas tertinggi pada 2000. Ia juga mengakhiri musim di peringkat 4.
Performa ini membuat Ducati meliriknya untuk dijadikan pengganti Rossi yang kala itu sangat kesulitan di atas Desmosedici dan ingin kembali ke Yamaha. Sebagai rider muda Italia dan mengantongi pengalaman sebagai rider Honda dan Yamaha, Dovizioso dijadikan proyek jangka panjang oleh Ducati demi membangkitkan kejayaan Desmosedici sejak Stoner merebut gelar pada 2007.
Kepindahan Dovizioso ke Ducati membuat banyak orang cemas soal kariernya akibat performa Desmosedici yang jeblok. Benar saja, sepanjang 2013, ia paceklik podium dan duduk di peringkat 8 pada akhir musim. Namun, semua berubah saat Gigi Dall’Igna tiba menggantikan Bernhard Gobmeier sebagai General Manager Ducati Corse, sekaligus berperan sebagai insinyur utama Desmosedici.
Dall’Igna tadinya merupakan Direktur Teknis Aprilia Racing, membantu Lorenzo merebut gelar GP250 2006 dan 2007, serta membuat RSV4 berjaya di kancah WorldSBK. Dall’Igna sendiri menyatakan bahwa bekerja sama dengan Dovizioso merupakan impian sejak lama, yakni saat melihat ia bertarung sengit dengan Lorenzo di GP250.
Kolaborasi antara Dovizioso dan Dall’Igna sebagai pembalap dan insinyur utama Ducati pun mulai terlihat pada 2014, saat Dovizioso finis ketiga di Austin, finis kedua di Belanda, dan lima kali start dari barisan terdepan, termasuk pole position di Motegi, Jepang. Dovizioso pun mengakhiri musim di peringkat 4.
Pada 2015, Dovizioso meraih 5 podium dan makin kompetitif, tapi justru kalah dari sang tandem, Andrea Iannone, di klasemen akhir musim. Iannone, yang kala itu mencuri perhatian dengan gaya balapnya yang agresif dan berani, duduk di peringkat 5, sementara Dovizioso duduk di peringkat 7. Namun, hal ini justru bikin Dovizioso makin panas dan ingin balas dendam pada 2016.
Meski berhasil balas dendam dan mengalahkan Iannone di klasemen 2016, Dovizioso sempat kecewa berat gagal jadi pembalap Ducati pertama yang merebut kemenangan sejak Stoner di Australia pada 2010. Dalam balapan di Austria itu, Iannone lah yang merebut kemenangan, dengan keunggulan 0,9 detik dari Dovizioso yang harus puas finis di posisi kedua.
Uniknya, kala itu, Jorge Lorenzo mulai digosipkan akan bergabung dengan Ducati pada 2017. Tim Merah pun jadi sorotan karena banyak orang penasaran siapa yang akan dipertahankan dari kedua Andrea. Pada akhirnya, Dovizioso yang bertahan, karena Iannone memilih pindah ke Suzuki. Dapat perpanjangan kontrak, Dovizioso berlaga lebih lepas, dan akhirnya mengakhiri paceklik kemenangan selama 7 tahun usai menang di Malaysia.
Pada 2017, Dovizioso lagi-lagi dianggap ‘underdog’, karena ia bertandem dengan Lorenzo yang merupakan rival bebuyutannya sejak belia dan 5 kali juara dunia. Lorenzo diyakini bisa cepat beradaptasi dengan Ducati, namun nyatanya kesulitan dan hanya mampu meraih 3 podium. Di lain sisi, Dovizioso justru menggila dengan meraih 8 podium, yang 6 di antaranya kemenangan.
Dovizioso bahkan sukses jadi rival terberat Marc Marquez sepanjang musim, memaksa rider Repsol Honda itu memburu gelar dunia sampai seri penutup. Marquez pun akhirnya jadi juara dan Dovizioso harus puas finis sebagai runner up. Namun, aksi Dovizioso dianggap ‘heroik’, karena juga mampu beberapa kali mengalahkan Marquez sampai tikungan terakhir.
Performa Dovizioso pada 2017 pun membuatnya tak lagi dianggap ‘underdog’. Rossi, yang kerap berlatih motocross dengannya di Italia, bahkan menyanjung rekannya itu, menyebut Dovizioso sebagai bukti bahwa usia bukanlah patokan dalam mencari performa terbaik, melainkan ketelatenan, keuletan, dan pengalaman.
Dovizioso mempertahankan prestasinya sebagai runner up pada 2018 dan 2019, masih menjadi rival terdekat Marquez. Namun, sebagai pembalap MotoGP, Dovizioso merasa prestasi ini tak cukup, karena setiap pembalap pasti menginginkan gelar dunia. Ia pun merasa sudah berusaha keras, dan pada pertengahan 2019, ia mulai mengeluhkan Ducati yang tak memberinya dukungan optimal.
DesmoDovi pun berkali-kali menyatakan secara publik, bahwa besarnya tenaga mesin, yang selama ini jadi keunggulan Ducati sampai-sampai ditiru oleh Honda, bukanlah solusi dari segala masalah. Ia menuntut Dall’Igna dan departemen balap Ducati untuk meningkatkan kelincahan motor di tikungan, seperti Yamaha dan Suzuki.
Ducati bergeming, bersikeras mengandalkan tenaga mesin, dan justru menyediakan inovasi-inovasi baru di area lain. Sejak itu, Dovizioso dikabarkan cekcok dengan Dall’Igna.
Lewat berbagai media massa, Dovizioso makin ‘panas’ dan menyebut permasalahan Ducati di tikungan ini sejatinya sudah ia keluhkan sejak pertama kali bergabung pada 2013, dan bukan terjadi baru-baru ini saja.
Polemik ini makin rumit karena diiringi fakta bahwa Ducati melirik Maverick Vinales dan Fabio Quartararo 2019 untuk bekerja sama pada 2021. Sejak itu, Dovizioso kehilangan rasa percaya pada Ducati. Walau Vinales dan Quartararo akhirnya memutuskan bertahan di Yamaha, Ducati masih mengincar pembalap muda lain, dan akhirnya dapat kesepakatan dengan Jack Miller pada akhir Mei 2020.
Ducati masih ingin Dovizioso bertahan, dan keduanya menjalani negosiasi panjang. Kabarnya, Dovizioso hanya mau bertahan jika Dall’Igna Ducati berjanji mau mengatasi masalah Desmosedici di tikungan. Sayang, permintaan ini ditolak. Akhirnya, di Austria pada Agustus lalu, Dovizioso memilih hengkang. Sebagai bukti rasa jengkelnya, ia hengkang tanpa rencana cadangan untuk masa depannya.
Ia pun akhirnya memilih vakum setahun, yang sebenarnya juga sudah sempat menjadi gosip panas pada Juni lalu. Belum diketahui apa yang akan dilakukan pembalap 34 tahun ini pada 2021. Namun, rumor menyatakan ia akan kembali berkecimpung di motocross, disiplin balap motor yang ia kenal lebih dulu ketimbang road race.