Kevin James Schwantz (baca: Shwons), sebuah nama yang tak asing lagi di kancah balap motor kelas dunia, motograndprix. Bertarung di kelas 500 cc sebagai kelas utama, Schwantz mencatatkan diri sebagai seorang pebalap fenomenal yang meski hanya sekali meraih titel juara dunia, namanya ditetapkan Dorna –selaku promotor MotoGP—sebagai pembalap legenda grand prix motor.
Memulai debutnya di tahun 1988, Schwantz meraih titel sebagai juara dunia pada tahun 1993 bersama pabrikan Jepang, Suzuki. Beberapa tahun keberadaanya di Grand Prix 500, tersaji sebuah rivalitas antara dia dan rekan senegaranya yang bertarung di bawah bendera Yamaha, Wayne Rainey.
Kevin lahir di tengah keluarga yang menjadikan motor sebagai bagian dari hidupnya. Ayahnya memiliki sebuah dealer motor di tempat kelahirannya, Houston Texas, sedangkan pamannya, Darryl Hurst adalah seorang pembalap dirt track tingkat nasional.
Mengikuti jejak sang paman, Schwantz beberapa kali terjun dalam kompetisi amatir pada event-event dirt track hingga motocross di Texas. Namun cidera menghampiri dan membuatnya berhenti dari balap motocross. Namun minatnya di dunia motor tak benar-benar hilang.
Schwantz pun mulai melirik balap jalan dan mengikuti balap ketahanan atau endurance. Talenta membalapnya di atas motor balap produksi massal membuat tim Yoshimura Suzuki Superbike tertarik dan berminat mengetesnya di penghujung musim 1984. Dan hasilnya positif, musim 1985 the Texan Lion resmi mengisi line up pembalap untuk kompetisi yang diikuti oleh Yoshimura Suzuki yakni Daytona 200 dan West Coast.
Schwantz membuktikan kemampuannya di depan khalayak setahun kemudian. Di kejuaraan Daytona 200, dengan paket GSXR 750 yang dimiliki Suzuki, Schwantz berhasil menempatkan diri di posisi ke-2 pada awal musim menguntit penguasa podium, Eddy Lawson yang mengendarai Yamaha. Namun nahas, cidera yang menimpa membuatnya harus absen selama 3 seri dari total 8 seri yang harus diikuti. Di akhir musim, Schwantz hanya mampu menduduki posisi ke-7.
Tahun 1987, kejuaraan AMA Superbike menyuguhkan ketatnya persaingan antara Kevin Schwantz dan Wayne Rainey yang nantinya akan berlanjut di Grand Prix 500cc. Saat itu Rainey membalap untuk Honda dan berhasil menjuarai kompetisi.
Sedangkan Schwantz sudah mulai membalap di GP (baca: jipi) 500 dalam beberapa seri di tahun 1986 dan 1987 yang membawanya ke peringkat ke 22 di tahun 1986 dan peringkat 16 di 1987.
Ingin membawa talenta Schwantz ke ajang yang lebih mendunia, Pepsi Suzuki menyodorkan kontrak untuk membalap di GP 500 secara penuh di tahun 1988. Pada tahun itu juga, Wayne Rainey memulai karirnya di Grand Prix 500 dengan bergabung di tim yang dikelola juara dunia Grand Prix 500cc sebelumnya, Kenny Roberts yakni Lucky Strike Yamaha Roberts.
Di seri perdana Suzuka Jepang, the Texan Lion langsung menggebrak dengan menyabet podium pertama mengungguli pebalap Honda, Wayne Gardner dan saingannya semasa di Daytona 200, Eddy Lawson yang masih menggeber Honda.
Namun di tahun itu, Kevin Schwantz harus puas menghuni tempat ke-8 klasemen akhir sementara Rainey sukses berada di posisi ke-3. Karena sering tak dapat melanjutkan lomba karena terjatuh — 5 kali kee;akaan dalam 15 seri balap.
Prestasi Wayne Rainey meningkat setahun kemudian dengan menduduki posisi ke-2 dan berlanjut di tahun 1990 saat dia berhasil mengeklaim gelar juara dunia. Gelar itu dipertahankannya selama 3 tahun berturut-turut hingga 1992 sebagaimana bos timnya, Kenny Roberts yang mampu menguasai GP 500 dari 1978 hingga 1980.
Dalam kurun waktu 3 tahun itu, Kevin Schwantz berlalu lalang di posisi ke-2, 3 dan 4 klasemen akhir. Hingga akhirnya dapat merebut gelar dari tangan Rainey pada 1993.
Meski saling berupaya mengalahkan satu sama lain, Schwantz dan Rainey tak terlalu terpengaruh suhu panas kompetisi.
Banyak yang menduga, kekalahan Schwantz dari rival senegaranya Wayne Rainey disebabkan karena tunggangan motor yang dipakai Kevin Schwantz yaitu Suzuki RGV 500, sulit untuk menandingi kecepatan Honda NSR 500 dan Yamaha YZR 500. Suzuki RGV 500 tak benar-benar unggul dari 2 kompetitornya itu, tepatnya pada kemampuannya saat melaju di trek lurus. Sehingga para pebalap Suzuki harus menggali potensi motor mereka untuk melampaui laju para pebalap Honda dan Yamaha.
Termasuk Schwantz yang selalu memaksa RGV 500 sampai pada batasnya yang justru membuatnya kerap terjatuh. Untuk menetralisir kekurangan motornya, Schwantz menggunakan teknik balap yang di sebutnya dengan istilah “See God, then brake”. Kemampuan pembalap di sektor tikungan menjadi kunci untuk dapat mencuri posisi dengan mengandalkan kemampuan pengereman yang lebih lambat dari pembalap lain, atau biasa disebut late braking.
Tak semua pebalap Suzuki dapat beradaptasi dengan gaya balap seperti itu. Salah satu yang berhasil adalah pebalap Australia, Darryl Beattie yang menjadi rekan setim Kevin Schwantz pada 1995 di Lucky Strike Suzuki. Di tahun itu pulalah dia menjadi runner up sementara Michael Doohan mengunci gelar juara dunianya.
Banyaknya cidera yang dialami memaksa Schwantz mengakhiri karirnya di Grand Prix 500cc. Musim 1995 menjadi musim terakhirnya membalap di kejuaraan motor prototype.
Ada hal lain yang mempengaruhi keputusannya itu selain alasan medis. Mundurnya Wayne Rainey akibat kecelakaan di 3 seri sebelum berakhirnya musim 1993 membuatnya merasa kehilangan motivasi. Ya, seri Misano 1993 adalah seri yang merenggut kemampuan Wayne Rainey untuk kembali membalap karena kecelakaan itu membuat kakinya lumpuh.
” saya mencoba untuk memotivasi diri saya, karena bagus atau tidaknya performa saya di setiap balapan tergantung bagaimana posisi Wayne berada ,”ucap Schwantz via crash.net .
Kevin Schwantz bahkan tak menyelesaikan keseluruhan seri di musim 1995. Dia hanya mengikuti 3 seri yakni seri Australia, Malaysia dan Jepang yang membuatnya jatuh ke posisi 15 klasemen akhir.
Meski begitu, bendera Lucky Strike Suzuki masih berkibar di posisi ke-2 berkat peran Darryl Beattie.
Pada tahun 2000, saat Suzuki kembali mengeklaim gelar juara dunia melalui Kenny Roberts, Jr, gelar legenda MotoGP disematkan ke pebalap asal Texas itu.
Ada yang berpikir bahwa gelar juara Schwantz didapat lebih kepada faktor keberuntungan yakni karena tersingkirnya Wayne Rainey di penghujung musim 1993. Namun absennya Rainey tak berarti mengecilkan kemampuan Schwantz dalam menggunakan mesin yang tak semumpuni para kompetitor lainya, dalam mengalahkan para pesaing.