Perpindahan pembalap selalu jadi hal yang menarik di MotoGP. Perpindahan pembalap akan membawa perubahan dan bisa jadi berdampak bagi kejuaraan.
Karena perpindahan pembalap dapat merubah peta dan keseimbangan persaingan di Motogp kedepannya.
Terbaru ada Marc Marquez yang diisukan akan berpindah tim dari Repsol Honda ke Gresini Ducati atau Red Bull KTM. Meski baru sekedar rumor, namun hal ini sudah memberikan dampak yang besar bagi kejuaraan.
Pasalnya tidak ada yang meragukan kemampuan juara dunia delapan kali itu untuk tampil bagus dengan Ducati.
Mengingat sekarang motor terbaik adalah Ducati dan bukan Honda. Marquez juga mengekspresikan ketidakpuasannya dengan kinerja Honda akhir-akhir ini.
Sehingga rumor mengenai kepindahan Marquez semakin santer terdengar, walau belum ada kepastian.

Di masa lalu ada beberapa pergantian tim pembalap yang tidak hanya mengubah persaingan, melainkan juga berdampak besar pada kejuaraan.
Berikut adalah beberapa diantara:
Giacomo Agostini (MV Agusta – Yamaha 1974)
Giacomo Agostini adalah penguasa Motogp (waktu itu masih bernama GP500) pada tahun 60an sampai awal 70an.
13 gelar bersama MV Agusta (tujuh di kelas 500, sisanya kelas 350). Menjadikan Agostini sebagai pembalap paling dominan pada waktu itu.
Bahkan torehan total jumlah kemenangan Agostini di semua kelas belum bisa dikejar oleh siapapun sampai saat ini, termasuk Valentino Rossi.

Saking dominannya, Agostini punya kebiasaan untuk tidak ikut satu atau dua balapan terakhir dan lebih memilih untuk berpesta merayakan gelar.
Namun pada tahun 1974, Agostini memutuskan untuk meninggalkan MV Agusta dan pindah ke Yamaha.
Pada waktu itu, MV Agusta sedang mengalami pergantian pemilik dari Count Demenico Agusta ke Count Rocky Agusta.
Rocky Agusta diketahui lebih memfavoritkan rekan setim Agostini, Phil Read untuk memenangkan gelar kembali.
Memang pada kenyataannya Phil Read sudah berhasil mengalahkan Agostini pada perebutan gelar tahun 1973 dan 1974.
Namun karena merasa sudah menyumbangkan banyak gelar untuk MV Agusta, Giacomo Agostini masih merasa berhak menyandang status pembalap nomor satu di MV Agusta.
Karena selisih paham ini, akhirnya Agostini memutuskan untuk meninggalkan MV dan berpindah ke Yamaha yang pada waktu itu masih kesulitan mengembangkan motor.
Perpindahan Agostini ini kemudian membawa dampak yang sangat signifikan bagi masa depan GP500.
Agostini dan Yamaha berhasil mengalahkan MV Agusta yang tidak pernah kalah sejak tahun 60an pada musim 1975.
Agostini bahkan menjadi pembalap pertama yang berhasil menjadi juara dunia di kelas 500cc bersama pabrikan Jepang dan dengan motor dua tak.
Akibat dari kemenangan ini, Agostini memancing perkembangan motor dua tak untuk menjadi motor yang dominan di sisa era GP500 sebelum digantikan dengan era Motogp.
Agostini juga memancing lebih banyak pabrikan Jepang lain untuk berkompetisi dengan serius di GP500.

Setelah kemenangannya dengan Yamaha, Suzuki kembali ke GP500 dengan dukungan penuh pabrikan. Beberapa tahun kemudian Honda menyusul kembali ke GP500 dan Kawasaki juga ikut tertarik.
Kemenangan ini juga mengakiri era pabrikan Eropa dengan mesin 500cc empat tak dan digantikan dengan era pabrikan Jepang dengan mesin dua tak.
Eddie Lawson (Yamaha – Honda 1989)
Eddie Lawson adalah pembalap Amerika tersukses di Motogp. Selain karena memenangkan empat gelar, Lawson adalah satu-satunya pembalap yang berhasil memenangkan gelar dengan dua motor yang berbeda di era GP500 dua tak.
Lawson terkenal dengan gaya balapnya yang berhati-hati. Karena itu dia jarang terjatuh dan berhasil lebih sering mengumpulkan poin daripada pembalap lain.

Lawson berhasil memenangkan gelar tahun 1984, 1986 dan 1988 bersama dengan Yamaha. Tapi di akhir musim 1988, hubungannya dengan manager team yakni Giacomo Agostini memburuk.
Lawson tidak menyukai sikap Agostini yang tidak transparan mengenai gajinya. Lawson merasa sikap seperti itu tidak pantas didapatkan oleh juara dunia seperti dirinya.
“Giacomo Agostini, manager dari tim Yamaha seperti memulai suatu permainan dengan saya. Dia mengatakan hal-hal seperti ‘Aku tidak tahu apa kami bisa membayarmu seperti tahun 1988’. Maksudku, aku baru saja memenangkan gelar ketigaku jadi hal-hal seperti itu tidak menyenangkan untuk didengar. Aku juga akhirnya tahu kalau diam-diam Agostini bernegosiasi dengan Kevin Schwantz. Lalu aku bertemu dengan Erv (Kanemoto) dan aku bilang aku butuh perubahan. Ketika Marlboro (sponsor utama Yamaha waktu itu) tahu aku berbicara dengan Honda, mereka menaikan nilai kontrakku dua kali lipat, tapi semuanya sudah terlambat. Sejujurnya gajiku terpotong untuk membalap dengan Honda.” Cerita Lawson.

Akhirnya pada 1989 Lawson resmi pindah ke Honda. Walaupun tetap disponsori oleh Rothmans namun Lawson tidak masuk ke tim utama HRC.
Tim utama HRC tetap dibela oleh duo Australia, Wayne Gardner dan Mick Doohan. Dan memang untuk menghindari konflik antara Gardner dan Lawson yang pada saat itu adalah rival, Honda sengaja tidak memasukan Lawson ke tim utama.
Lawson masuk ke tim Kanemoto Honda yang dikepalai oleh Erv Kanemoto. Ironisnya, justru duo Rothmans Honda yang utama gagal tampil baik di musim 1989 itu.
Wayne Gardner didera cedera dan Mick Doohan masih seorang rookie yang performanya kurang solid.
Sehingga Lawson menjadi tumpuan utama Honda sepanjang musim 1989 itu. Lawson menjadi pembalap pertama di era GP500 dua tak yang mampu menjadi juara dunia dengan dua motor yang berbeda.

Lawson juga jadi pembalap pertama yang pindah dari tim pabrikan ke tim satelit dan berhasil membawa pulang gelar.
Setelah musim 1989, Lawson kembali ke Yamaha. Kali ini kepemimpinan Yamaha telah berpindah dari Giacomo Agostini ke Kenny Roberts Sr yang mana merupakan rekan setim Lawson.
Lawson kemudian kembali ke Yamaha karena berhasil dibujuk oleh mantan rekan setimnya itu. Walau hanya semusim, namun kepindahan Lawson ini membawa dampak yang signifikan untuk GP500.
Musim 1989 menjadi pembuktian HRC bahwa mereka bisa memberikan motor terbaik ke semua pembalap mereka meskipun ke tim satelit.
Musim 1989 juga jadi terakhir kali Giacomo Agostini terlibat aktif di lintasan Motogp. Karena insidennya dengan Lawson itu, Yamaha memutuskan untuk tidak lagi memberikan Agostini peran manager.
Valentino Rossi (Honda – Yamaha 2004)
Ini mungkin menjadi perpindahan pembalap paling ikonik sepanjang masa di Motogp. Valentino Rossi, juara dunia tiga kali, punya motor terbaik, di tim terbaik memutuskan untuk pindah.
Sudah jadi rahasia umum bahwa Honda RC211V adalah motor yang luar biasa. Di tambah waktu itu Honda punya Valentino Rossi sebagai pembalap utama.

Namun, dominasi RC211V sepertinya membuat Honda gelap mata dan mengesampingkan peran pembalap pada motor mereka.
Rossi kesal dengan sikap Honda yang menganggap motor mereka yang membuatnya mendominasi dua tahun pertama Motogp.
Rossi butuh perubahan, namun pada waktu itu dia bingung harus kemana. Rumor santer memberitakan bahwa waktu itu Rossi ingin pindah ke Ducati.
Namun proyek Ducati di Motogp pada waktu itu masih berumur satu tahun, performa motornya belum stabil dan Ducati juga tidak punya budget untuk menggaet pembalap seperti Rossi.
Suzuki juga ikut dirumorkan, mengingat idola Rossi saat masih kecil adalah Kevin Schwantz. Namun penurunan performa Suzuki serta minimnya komunikas, membuat rumor ini berhenti hanya sebatas rumor saja.
Pada akhirnya pilihan Rossi mengerucut ke Yamaha. Pabrikan yang sudah 10 tahun lebih tidak memenangkan gelar.
Tidak hanya itu, pada tahun 2003 saat Honda mendominasi. Yamaha hanya berhasil mencetak satu podium.
Jika dibandingkan dengan Honda, tentu pilihan untuk pindah ke Yamaha nampak tidak masuk akal.
Namun usaha team manager Yamaha waktu itu, Davide Brivio dan kepala proyek M1 Masao Furusawa yang sering menyelinapkan Rossi ke garasi Yamaha akhirnya berhasil.
Rossi luluh dengan candaan Masao Furusawa tentang display digital Yamaha M1 yang bisa menanyangkan “Blue Film” salama Rossi balapan.
Setidaknya, Rossi merasakan atmosfer yang baik dari Furusawa tidak seperti kepala proyek RC211V di Honda waktu itu.
Rossi juga berdiskusi dengan salah satu temannya. Temannya lalu menyakinkan Rossi untuk pindah ke Yamaha lewat satu kalimat.
“Kalau di Honda kamu bisa menang dengan jarak 10 detik, tapi kalau di Yamaha kamu bisa menang dengan jarak 0,1 detik. Tapi menang tetap menang kan?” Kata salah satu teman Rossi itu.
Rossi lalu akhirnya pindah ke Yamaha. Honda yang sakit hati tidak membiarkan perpindahan Rossi ini berjalan mulus. Honda melarang Rossi untuk melakukan tes dengan Yamaha sampai dengan Januari 2004.
Berarti Rossi tidak punya kesempatan untuk menjajal M1 sampai dengan Januari. Walaupun dipersulit, namun ketikan Rossi sudah lepas dari ikatan Honda, Rossi langsung bekerja.
Rossi tidak datang sendiri, dia membawa semua personel timnya dari Honda ke Yamaha. Ini termasuk kepala mekanik jenius Jeremy Burgess.
“Aku bilang kepada mereka (Yamaha) kalau mau sukses, dengarkan apa yang dia (Rossi) katakan. Turuti saja semuanya.” Kata Burgess.
Hal pertama yang diubah Rossi bukanlah mesin atau chasis melainkan warna. Warna biru yang ada di Yamaha, Rossi rasa terlalu boring. Dia lalu menambahkan beberapa aksen warna kuning yang identic dengan dirinya kemudian ditambah beberapa stiker sampai akhirnya M1 memenuhi standar cantik minimal Rossi.
Kita semua tahu kelanjutannya. Rossi berhasil merubah M1 menjadi mesin yang kompetitif dan kemudian mengalahkan semua jagoan Honda untuk menjadi juara dunia.

Kepindahan Rossi ini tidak hanya membantu Yamaha kembali meraih gelar, namun juga mendemonstrasikan kemampuannya yang tidak main-main serta menjadikan karir Rossi menjadi ikonik.
Casey Stoner (Honda – Ducati 2007)
Orang-orang sepertinya lupa kalau 2011 bukan kali pertama Casey Stoner membela Honda. Sebelumnya pada 2006, Stoner debut di Motogp bersama LCR Honda.

Setelah satu tahun yang sulit di LCR, Stoner lalu menerima tawaran Ducati untuk bergabung ke tim utama mereka.
Tawaran untuk bergabung ke tim utama pabrikan itu yang menjadi alasan utama Stoner untuk pindah ke Ducati.
“Sebagai pembalap muda waktu itu, aku sangat bersemangat saat bergabung di Ducati. Bagaimana tidak, aku akan membela tim pabrikan. Namun saat tes pertama, tepat pada putaran pertama aku berpikir ‘Apa yang kulakukan, sepertinya aku melakukan kesalahan’” Kata Stoner di documenter resurrection Ducati.
2007 adalah tahun pertama era 800cc. Berbeda dengan pabrikan lain utamannya pabrikan Jepang. Ducati membuat motor yang sangat kencang di lintasan lurus namun kikuk di tikungan.
Namun, Casey Stoner sebagai pembalap yang baru punya pengalaman satu tahun di Motogp mampu menaklukan motor yang liar itu dan meraih juara dunia tahun 2007.
Sebuah prestasi yang bahkan rekan setimnya waktu itu, Loris Capirossi yang punya lebih banyak pengalaman terheran-heran.
“Saat dia masuk ke pit, dia bilang ke mekaniknya. Motornya cukup bagus, yang menurutku aneh karena bagiku motor itu punya banyak masalah, tapi sepertinya tidak untuk dia,” Kata Capirossi di documenter Resurrection Ducati.
Kepindahan Stoner ke Ducati ini membawa gelar pertama untuk Ducati yang menjadi gelar pertama pabrikan Eropa di kelas utama sejak MV Agusta di tahun 1974.

Butuh waktu 15 bagi Ducati untuk mengulangi prestasinya itu di kelas utama.
Valentino Rossi (Ducati – Yamaha 2013)
Sesudah tahun-tahun kesuksesannya dengan Yamaha, Rossi lalu memutuskan untuk pindah ke Ducati pada tahun 2011.
Hal ini karena Jorge Lorenzo berhasil memenangkan gelar pada tahun 2010. Membuat Yamaha memprioritaskan Lorenzo.
Rossi kemudian ditawari kontrak yang lebih kecil dan harus mau menerima status sebagai pembalap nomor dua.
Uang mungkin bukan segalanya bagi Rossi, namun dia harus selalu jadi yang nomor satu. Karena itu dia pindah ke Ducati.

Italian dream team yang ditunggu-tunggu oleh publik Italia kemudian menjadi kenyataan pada akhir tahun 2010. Sayang prestasi yang dihasilkan tidak begitu baik.
Rossi tidak bisa mengerti karaktersitik motor Ducati yang baginya begitu aneh pada waktu itu.
Rossi kemudian mencari tempat lain di Motogp pada pertengahan 2012. Sebelumnya Rossi dirumorkan dekat dengan Suzuki yang pada waktu itu menargetkan kembali ke Motogp pada tahun 2014.
Apalagi masuknya Davide Brivio ke Suzuki memperbesar peluang Rossi untuk berpindah ke sana.
Namun bagi pembalap seperti Rossi, dia tidak punya waktu untuk menunggu. Rossi kemudian kembali mendekati Yamaha.
Tentu saja awalnya Yamaha menolak, terutama petinggi-petinggi di Jepang. Namun Lin Jarvis selaku manager Yamaha Factory Racing menyakinkan para petinggi untuk menerima Rossi lagi.
Lin menekankan poin bahwa Yamaha harus membalas budi Rossi pada tahun 2004. Ketika Yamaha kesulitan, dia mau datang dan membantu, sekarang dia kesulitan maka mari kita bantu balik.
Lin juga menyakinkan Lorenzo untuk menerima Rossi kembali. Sebagai pembalap utama Yamaha yang menggantikan Rossi, Lorenzo semakin percaya diri dengan kemampuannya di lintasan.
Sehingga kembalinya Rossi ini tidak akan mengusiknya. Lorenzo lalu mengiyakan kembalinya Rossi.
Lorenzo bahkan tidak menyekat garasi mereka lagi seperti yang ada di masa lalu. Pada musim 2013, Rossi resmi kembali ke Yamaha.

Kembalinya Rossi ke Yamaha ini kemudian disambut dengan antusias oleh penggemar dan pengamat Motogp.
Apakah duo pembalap terbaik pada tahun 2008-2010 ini akan dapat mendominasi Motogp lagi. Walau tidak tahun pertama, namun kembalinya Rossi ke Yamaha ini membuktikan bakat Rossi yang belum pudar.
Rossi – Lorenzo jilid dua ini kemudian kembali dapat mendominasi Motogp pada musim 2015. Walau hasil akhir dari musim itu membuat mereka kembali bermusuhan.
Jorge Lorenzo (Ducati – Honda 2019)
Jorge Lorenzo memutuskann pindah ke Ducati dari Yamaha pada akhir musim 2016. Lorenzo lalu dikontrak Ducati selama dua tahun sampai 2018.
Sayang prestasi Lorenzo yang dianggap kurang oleh Ducati dari musim 2017 sampai pertengahan 2018 membuat Ducati lalu tidak memperpanjang kontrak Lorenzo.
Namun Lorenzo nyatanya berhasil merebut tiga kemenangan dengan Ducati di sisa musim 2018. Membuat keputusan Ducati mengganti Lorenzo dengan Danilo Petrucci sepertinya salah.
Lorenzo lalu pindah ke Repsol Honda pada 2019, tim yang sudah lama dirumorkan menginginkan Lorenzo.

Namun ternyata RC213V sangat sulit untuk Lorenzo kendalikan. Beberapa kecelakaan fatal kemudian terjadi, dan Lorenzo mendapatkan banyak cedera.
Pada pertengahan musim, untuk pertama kalinya di sepanjang karir Lorenzo gagal finish di sepuluh besar satu kalipun. Karena itu pada akhir musim Lorenzo memutuskan untuk pensiun.