
Beberapa tahun terakhir Formula 1 di Amerika kian tenar. Hal itu berkat Liberty media yang kian agresif merambah negeri Paman Sam. Dan jurus untuk merambah pasar Amerika serikat makin sukses dari hari ke hari.
Formula 1 makin bisa diterima disana. Bahkan untuk kalender 2023, balapan terbanyak digelar di Amerika, yaitu di sirkuit Miami, Austin, dan Las Vegas. Tentu saja ini market yang luar biasa. Peluang pasar yang luar biasa.
Dan sebagai segmen yang bagus, tidak afdol kalau tidak ada tim dari Amerika yang ikut sebagai kontestan. Sebagaimana kita tahu, hanya ada satu tim Amerika di grid. Itu pun tim kecil, HAAS.
Setelah kontroversi tentang keikutsertaan Andretti, kini kabar Ford bakal masuk Formula 1 lagi menyeruak. Tentu saja ini kabar yang sangat menggembirakan buat pecinta Formula 1. Mengingat Ford bukan nama baru di Formula 1.
Ford pernah ada di Formula 1. Kiprah Ford dimasa lalu disegani oleh tim-tim peserta balapan. Ford pernah menjadi pemasok mesin yang dominan di kancah Formula 1.
Bukan sekedar banyak digunakan, tapi Ford pernah berjaya dengan mesin buatannya, yaitu mesin seri DFV atau double four valve. Saking populernya mesin jenis ini, sampai-sampai majalah Motorsport menjulukinya dengan mesin sejuta umat.
Alasan tim-tim Formula 1 memakai mesin ini adalah, mesin ini murah, kuat, dan kompetitif. Ukurannya yang kompak, relatif lebih kecil, serta bobotnya yang enteng tentu menjadi keunggulan tersendiri yang membuat para desainer relatif lebih gampang mengekspresikan karyanya yang nanti dikawinkan dengan mesin DFV buatan Ford.
Sejarah Ford masuk Formula 1 pertama kali adalah musim 1967. Saat itu Ford memasok mesin buat tim Lotus dan memulai balapan pertamanya di GP Belanda. Debut pertama Ford langsung sukses dengan memenangkan balapan dengan pembalapnya, Jim Clark.
Kurun waktu dari musim 1967 hingga 1983 mesin Ford ini telah mencatatkan 155 kemenangan.
Masa kejayaan mesin Ford seri DFV ini berakhir pada musim 1983. Kemenangan terakhir dicatatkan oleh Michelle Alboreto pada GP Detroit. Masa keemasan mesin Ford kalah oleh mesin-mesin berturbo saat itu.
Tapi Ford masih belum tenggelam sepenuhnya di tengah hingar bingarnya kompetisi. tanda -tanda kesuksesan Ford mulai tampak lagi tatkala musim 1988 tim Benetton membukukan tujuh podium dengan mesin Ford seri DFR lewat dua pembalapnya, Thierry Boutsen dan Alessandro Nannini . DFR sendiri merupakan kelanjutan dari mesin DFV. Tentu saja untuk meraih juara dunia lagi sangatlah sulit saat itu. Karena duo Mclaren bermesin Honda tengah merajai Formula 1 dengan mesin Hondanya yang sangat kuat.
Mesin seri DF ini akhirnya benar-benar tidak ada penggunanya lagi setelah musim 1991. Tiga tim konsumen terakhir mereka adalah Footwork, Fondmetal, Larrousse dan Coloni. Mereka itu dulu tim-tim gurem di grid.
Pada musim 1994 seorang pembalap asal Jerman yang kelak menjadi legenda, memenangkan seri kejuaraan untuk tim Benetton yang bermesin Ford, kendati bukan menggunakan seri DFV lagi. Mesin Ford yang digunakan di Benetton saat itu adalah jenis Zetec R V8. pembalap itu adalah Michael Schumacher.
Tapi sayang, musim berikutnya Benetton menggunakan mesin Renault.
Setelah itu tim-tim yang menggunakan mesin Ford hanyalah tim-tim gurem seperti Simtek, Sauber, atau Minardi.
Pada tahun 1997, Ford mulai memasok mesin untuk Tim Stewart. Dan pada tahun 1999 di GP Eropa di Nurburgring dua pembalapnya, Johnny Hebbert memenangkan balapan, serta Rubens Barrichello menempati podium ketiga.
Musim berikutnya Stewart dibeli oleh Ford untuk dijadikan Jaguar. Ford menggunakan mesin kerjasama dengan Cosworth untuk Jaguar. Selain sebagai pabrikan, Ford juga memasok mesin Cosworth untuk tim Jordan selama musim 2003 sampai dengan 2004.
Duit ada, tim kaya, serta pembalap top macam Eddie Irvine tak mampu menyelamatkan Ford hingga akhirnya Jaguar dijual ke Redbull. Jaguar menjalani balapan terakhirnya pada musim 2005. Dan ini lah akhir dari sepak terjang Ford (sebagai tim pabrikan) di Formula 1.
Tim terakhir yang dipasok mesin Cosworth oleh Ford adalah Marussia pada musim 2013. Tahun 2014 nama Ford benar-benar tidak ada lagi di grid.
Pada tahun 2017 dalam sebuah interview, seperti dimuat di Majalah Motorsport, mereka memancing Dave Pericak yang merupakan direktur Ford Performance tentang peluang Ford untuk comeback ke Formula 1. Pericak mengatakan, bahwa mereka tidak akan masuk Formula 1 dalam waktu dekat. Alasannya, tidak ada keuntungan di Formula 1. Terlalu mahal dan tidak ada korelasi dengan riset mobil jalan raya.
Tapi kini Ford mencoba kembali lagi di panasnya persaingan serta intrik politik di Formula 1.
Kapan? Musim 2026. Alasan teknis serta penyesuaian mesin menjadi alasan utama kenapa mesti menunggu sampai 2026, dimana aturan penggunaan mesin berubah drastis di tahun tersebut. Masalahnya, Ford sejauh ini belum mengkonfirmasi sejauh mana keterlibatan mereka.
Apa ini ada kaitannya dengan pembicaraan pihak Ford dan Redbull yang mereka lakukan pada bulan Desember kemarin kah? Iya, betul. Meski beberapa kali mereka berkilah dan seolah menyimpan rahasia itu, toh pada akhirnya mereka mengumumkan bahwa Ford akan menjalin kerja sama dengan Redbull. Tentu saja kerja sama tersebut tidak sampai mendalam seperti apa yang pernah ditawarkan Porsche yang berniat mengakuisisi saham Redbull.
Kerjasama mereka lebih ke pada hal yang brsifat teknis.
Dan keraguan soal mahalnya biaya di Formula 1 akan sirna, kalau kerjasama tersebut benar-benar bersama Redbull. Maksudnya, semua juga tahu Red Bull kalau soal duit. Lagian, kalau mereka masuk ke dalam Redbull,nggak bakal asing juga kan? Mengingat cikal bakal Redbull adalah tim Jaguar di masa lalu. Kita tunggu saja bagaimana episode selanjutnya.