![](https://www.startinggrid.id/wp-content/uploads/2022/04/mavf1.prostsenna.jpg)
Berbicara persaingan di Formula 1 sebetulnya adalah soal biasa. Baik antar rekan setim maupun berlainan tim. Tapi yang biasanya mengundang kontroversi adalah rekan satu tim.
Kenapa? Karena mereka harusnya saling mendukung satu sama lain untuk sebuah kemenangan yang mengangkat nama tim. Siapa pun yang menang dalam tim itu, berarti kemenangan tim. Kemenangan tim adalah kemenangan semua.
Jadi seharusnya mereka saling dukung satu sama lain agar bisa menang. Hal seperti ini identik dengan team order. Tapi apa yang terjadi antara Ayrton Senna dan Alain Prost tidaklah demikian.
Mereka bersaing sengit satu sama lain. Padahal, kalau mau dirunut, Senna bisa masuk Mclaren pada musim 1988 adalah berkat jasa Alain Prost yang meyakinkan pihak manajemen Mclaren bahwa Senna yang saat itu membalap di Lotus adalah pembalap yang pas untuk mendampinginya di Mclaren.
Rupanya hal itu seperti jadi bumerang buat Alain Prost. Prost laksana melempar sesuatu yang pada akhirnya balik menyerang dirinya. Kepercayaan diri Senna yang tinggi, serta sifat tidak mau mengalah di trek membuatnya kedodoran.
Sebetulnya apa yang dilakukan Senna adalah hal wajar, kalau tidak ada sikap pilih kasih dari manajemen Mclaren. Prost menyebut bahwa bos Mclaren, Ron Dennis, lebih menyukai Senna kelak kemudian hari. Prost menyebut Senna juga mendapat perlakukan khusus terkait setingan mobil.
Dalam hal perlakukan tim terhadap Senna yang istimewa ini, bahkan Prost terang-terangan menuding ke tim bahwa mereka mengistmewakan Senna pada soal settingan mesin. Dan belakangan hal itu terkuak dan di akui oleh kepala divisi R&D di Honda, yaitu Nobuhiko Kawamoto.
Rupanya kedekatan kawamoto dan Senna semasa di Lotus ikut terbawa ketika Senna masuk Mclaren.
Tapi sebetulnya, bibit rivalitas keduanya itu terjadi jauh-jauh hari sejak sebelum Senna masuk Mclaren. Tepatnya ketika lomba di Monako pada musim 1984 sewaktu Senna masih di Toleman.
Ketika itu Prost tengah memimpin lomba dengan mobil Mclaren-TAG. Dibelakangnya, mobil merah Ferrari yang dikemudikan Rene Arnoux (baca: Rene Arnu) terus-mnerus memberi pressure. Sementara rekan setimnya, NIki Lauda retired karena mobilnya melintir pada lap 23 setelah berusaha memberi pressure terhadap Arnoux.
Saat itu, Prost pun sebetulnya tak sedang baik-baik saja. Prost merasa ada yang salah dengan remnya. Maka prost melambaikan tangannya ke Racing Steward untuk menghentikan lomba. Lomba akan terlalu berbahaya jika dilanjut. Bukan hanya masalah pada mobilnya, melainkan guyuran hujan yang sangat deras.
Rupanya lambaian tangan Prost tidak ditanggapi dengan baik oleh steward. Lomba terus berlanjut, hingga pada lap ke 29 sebuah Toleman merangsek melibas Arnoux dan ganti memberi pressure pada dirinya.
Prost kaget. Prost tahu, mobil Toleman itu memulai lomba di posisi ke 13. Prost tahu, bahwa Toleman itu tidaklah mobil yang kompetitif. Yang Prost tidak tahu, adalah kemampuan orang dibalik kemudi mobil Toleman tersebut. Dia adalah seorang rookie asal Brazil yang baru sekali turun balapan di Monako.
Di podium, Prost sempat menatap mata Senna, senna pun balas menatap dan mengulurkan tangan untuk menyalami Prost. Tak disangka, awal dari situah Prost terkesan dengan Senna dan merekomendasikan Senna untuk masuk di timnya kelak.
Senna pun akhirnya merebut juara dunia untuk pertama kalinya di musim pertama bersama Mclaren, kendati hal itu memicu protes Alain prost terkait perlakukan istimewa yang di berikan tim kepada Senna.
Menginjak musim 1989, persaingan mereka memuncak. Pada GP San Marino yang di gelar pada bulan Mei musim 1989, Prost menuding Senna mengingkari kesepakatan yang telah mereka buat bersama. Isi kesepakatan itu adalah, kalau salah satu diantara mereka berdua bisa mengawali balapan lebih baik, maka diantara keduanya, siapapun yang lebih lambat, tidak boleh mendahului di tikungan awal atau Tosa Corner. Tapi Senna dengan segenap egonya, melupakan perjanjian itu. Akhirnya Prost pun naik pitam.
Puncak persaingan mereka adalah di GP Jepang. Prost saat itu memacu mobilnya memimpin balapan. Senna terus memberi tekanan. Tapi upayanya sia-sia, dan membuatnya putus asa.
Senna yang di musim sebelumnya merupakan juara dunia, dengan segenap egonya ingin mempertahankan gelar. Sampai di satu titik, Senna yang melihat peluang untuk mendahului segera beraksi. Tapi Prost menghalangi upaya Senna untuk mendahului. Akhirnya mobil mereka bersenggolan satu sama lain yang menyebabkan Prost keluar trek. Sedangkan Senna, berhasil melanjutkan balapan.
Awalnya pihak panitia menyatakan kemenangan ada di tangan Senna. Tapi tunggu, panitia melihat bahwa Senna memasuki area ilegal, sehingga mendiskualifikasi Senna. Prost pun dinyatakan menang dan merebut gelar juara dunia tahun 1989.
Pada musim 1990, Prost hengkang ke Ferrari. Pada era ini, bisa dikatakan bahwa itulah musim terakhir mereka bersaing. Bukannya apa, tapi karena performa Prost bersama Ferrari turun drastis. Hal ini bukan karena faktor kemampuan Prost yang payah, tapi karena Ferrari tidak mampu menyediakan paket mobil yang kompetitif.
Dan akhirnya membuat Prost harus dipecat dari Ferrari karena mengatakan bahwa Ferrari mobil yang sangat lambat laksana truk. Berbanding dengan Ayrton Senna yang saat itu sedang ada dalam puncak performa bersama Mclaren.
Sampai apda musim 1991 dominasi Senna tak terbendung, sedangkan Prost memutuskan istirahat dari panasnya persaingan. Gelar Senna direnggut Nigel Mansel pada musim 1992 dengan tim William.
Menginjak tahun 1993, Prost ditarik masuk William. Di william Prost meraih gelar juara dunia keempat serta suskses mengawinkan dengan gelar konstruktor buat william.
Dan Senna, juga dalam masa yang kurang menggembirakan, menyusul hengkangnya Honda dari Mclaren dan Formula 1.
Pada tahun 1994, Prost memustuskan pensiun dari balapan. Kursinya di berikan pada Senna. Tak disangka, itulah tim terakhir Senna di Formula 1. Senna wafat di GP San Marino.
Dan Prost berada di barisan terdepan orang yang berduka atas meninggalnya Senna. Prost yang memikul peti Jenazah Senna menuju peristirahatan terakhir.