Hari ini kita sudah biasa melihat para pembalap merebahkan diri ketika melintasi tikungan dengan cara melemparkan tubuh mereka ke arah dalam tikungan sampai mencapai sudut kemiringan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan hingga lebih dari 60 derajat. Dan saat ini pun kita menerima bahwa itu merupakan cara mengendarai motor yang alami.
Namun nyatanya gaya balap motor dari kejuaraan balap motor dunia telah terbentuk dengan sendirinya selama bertahun tahun, akibat adaptasi dari kemungkinan yang ditawarkan oleh teknologi saat itu.
Tentu tidak ada orang yang akan punya ide menggunakan gaya balap seperti saat ini dengan motor dan ban yang ada di tahun 1960an, dan kemudian menggabungkan gaya balap tertentu yang telah dikembangkan oleh pembalap hebat di beberapa momen bersejarah kejuaraan dunia balap motor.
Kala Kejuaraan Dunia Balap Motor pertama kali dimulai pada tahun 1949, bentuk motor pada masa itu masih terpengaruh oleh konsep motor pra perang dunia kedua. Bentuk motornya cukup panjang, dengan ban depan yang cukup jauh dari titik pusat berat motor, dan posisi pembalapnya masih agak tegak ketika mengendarai motornya, hal ini membuat berat tubuh pembalap tertumpu pada bagian belakang motor.
Konsekuensinya, ketika pembalap berakselerasi saat keluar tikungan, motor cenderung kehilangan beban yang dibutuhkan di bagian depan karena beban tersebut terlalu banyak terdistribusi ke bagian belakang motor, dan akibat kurangnya dukungan beban di bagian depan motor, membuat pembalap kesulitan berada di racing line yang benar atau melebar di tikungan.
Semuanya kemudian berubah dengan diperkenalkannya sasis Norton Featherbed, yang didesain oleh insinyur sekaligus pembalap Cromie McCandless. Norton dikenal sebagai pabrikan motor yang memiliki mesin bagus. Dan bila dibandingkan dengan pesaingnya Gilera dan MV Agusta, jarak antara ban depan dan blok silinder mesin motornya lebih dekat. Oleh karena itu motor Norton lebih punya beban yang cukup di bagian depan, membuat motor Norton tidak terlalu menderita ketika berakselerasi keluar tikungan karena distribusi beban ke bagian belakang motor lebih sedikit, yang pada akhirnya membuat pembalapnya bisa menikung dengan sudut yang lebih kecil dari sebelumnya.
Di masa itu, tenaga motor adalah segala-galanya. Oleh karena itu sirkuit yang dipakai didesain dengan tujuan untuk mempertontonkan performa maskimum motor, dan sektor lintasan lurusnya melimpah di semua sirkuit. Di sektor tikungannya cukup simpel, pembalap hanya perlu melakukan pengereman sederhana dengan tanpa melakukan kesalahan, melintasi tikungan dan melakukan akselerasi penuh. Para pembalap kala itu tidak terlalu mempermasalahkan kondisi mesin motor, melainkan para pembalap harus lebih sering berurusan dengan masalah lainnya, yaitu ban.
Di awal tahun 50an struktur dasar dari ban adalah katun. Ban ini membutuhkan banyak lapisan katun untuk membuat karkas ban. Pengenalan serat sintetis yang dikembangkan untuk keperluan militer selama perang, seperti nilon dengan segera diaplikasikan ke pabrikan ban, yang mana terjadilah kemajuan yang signifikan.
Dengan bahan nilon ban memiliki karakter lebih fleksibel dan tahan ketimbang katun, juga lebih sedkit lapisan yang dibutuhkan untuk membuat struktur karkas ban. Oleh karena itu ban yang dihasilkan lebih ringan dan motor menjadi lebih gesit dan lebih mudah dikendarai. Yang akhirnya motor bisa masuk tikungan lebih cepat. Dan yang tak kalah penting ketika masuk tikungan dengan kecepatan tinggi, motor bisa lebih miring saat menikung. Bahan nilon juga memungkinkan penggunaan karet lebih sedikit, sehingga temperatur roda dan juga perubahan bentuk ban bisa dikurangi, sebaliknya ban jadi meningkat cengkraman dan keamanannya.
Perkembangan selanjutnya di tahun 60an adalah penggunaan tapak ban yang agak membentuk segitiga, yang mana bisa meningkatkan cengkraman di tikungan. Pembalap kemudian mulai berani lebih menikung. Dari yang tadinya masih memakai gaya balap lama yang pada waktu itu masih sulit untuk menikung lebih dari 45 derajat, sekarang pembalap mulai melibas tikungan dengan kemiringan yang lebih tinggi.
Ujung sepatu mereka sekarang mulai digunakan sebagai referensi kemiringan ketika menikung. Dan pada era itu merupakan hal biasa bagi para pembalap saat menyelesaikan balapan dengan sepatu yang ujungnya sudah berlubang karena gesekan aspal ketika para pembalap menikung pada limit ban motor.
Gaya balap seperti ini kemudian bertahan selama beberapa tahun. Namun pada tahun 1969 muncul seorang pembalap asal Finlandia yaitu Jarno Saarinen, yang nantinya akan merevolusi gaya balap motor. Gaya balap Saarinen terbentuk di balapan di atas es di Finlandia, dimana dia terbiasa mengendarai motor dengan melebarkan lututnya dan menggunakannya sebagai dukungan ketika menikung.
Saarinen yang juga seorang insinyur pernah memperebutkan gelar dunia di kelas 250cc dan 350cc. Sempat juga memenangkan gelar dunia di kelas 250cc di tahun 1972 dan 2 kali meraih runner up di kelas 350cc ketika bertarung dengan penguasa balap kala itu Giacomo Agostini dengan motor MV Agustanya.
Sedikit demi sedikit Saarinen mulai menetapkan gaya balapnya sendiri dengan badannya semakin miring ke arah dalam tikungan dan lututnya semakin mengarah ke aspal. Pada waktu itu sebenarnya gaya balap Saarinen yang menurunkan lutut ke bawah belum terlalu cocok dengan motor yang dipakai. Meski begitu Saarinen sudah menggunakan bantalan lutut di baju balapnya untuk melindunginya dari kemungkinan gesekan dengan aspal.
Namun meskipun posisi tubuh dan gaya balapnya sudah menjadi pakemnya, dia belum sering menempelkan lututnya ke aspal saat menikung. Kematiannya yang tragis di Monza tahun 1973 akhirnya mencegahnya untuk terus menyempurnkan gaya balapnya.
Kemudian lahirlah gaya menikung sampai lutut menyentuh aspal yang sangat populer. Gaya balap ini dipopulerkan oleh Kenny Roberts yang memperkenalkan teknik ini di tahun 1978, ketika dia ikut ajang Grand Prix 500cc. Roberts mengaku terinspirasi oleh gaya balap Saarinen. Pembalap Amerika ini awalnya melihat Saarinen membalap di Daytona 200 di tahun 1973 saat Roberts masih membalap di kelas 250cc dan sangat terkesan saat melihat gaya balap Saarinen.
Roberts kemudian mengadaptasi konsep gaya balap Saarinen yang menurunkan lutut ke dalam gaya balapnya, lalu mengkombinasikan gaya balap dirt track yang mengandalkan slide ban belakang, dimana gaya balap ini lahir dari ajang balap dirt track AMA Grand National, yang mana Roberts pernah menjuarainya di tahun 1973 dan 1974 sebelum dia hijrah ke Eropa.
Ketika akhirnya Roberts ikut serta dalam Grand Prix di 1978, dia memperkenalkan gaya balapnya yang biasa kita kenal knee-down, yang mana gaya balap seperti ini memaksanya harus menggunakan pelindung lutut. Awalnya Roberts melapisi lututnya dengan hanya lakban namun ternyata tidak cukup.
Gaya balap knee down kemudian menjadi hal yang umum di kalangan pembalap, meskipun masih ada pembalap yang masih menggunakan gaya balap lama dengan mengandalkan ujung kaki ketika menikung seperti yang dilakukan pembalap Belanda, Wil Hartog.
Lalu dengan semakin majunya teknologi ban membuat gaya pembalap semakin rebah ketika menikung. Dengan mulai hadirnya ban radial di tahun 1985, performa motor dan keefektifannya dalam menikung pun meningkat. Gaya balap tidak banyak berubah di tahun tahun berikutnya, namun mulai hadirnya pabrikan ban Bridgstone ke Grand Prix MotoGP tahun 2003, situasinya mulai bertransformasi lagi.
Salah satu pembeda utama dari pabrikan ban asal Jepang ini adalah keunggulan cengkraman lateral ban yang luar biasa, yang mana memungkinkan pembalap mampu menikung dengan sudut kemiringan yang belum pernah terbayangkan saat itu yang hampir mendekati 60 derajat. Dalam upayanya untuk mempertahankan racing line pada sudut kemiringan seperti itu, tubuh pembalap harus semakin merebah ketika menikung sampai ke titik dimana lutut bukan lagi referensi sebagai pendukung.
Para pembalap kemudian harus mencari referensi lain ketika menyentuh aspal di tikungan dan mulailah pembalap menggunakan sikutnya sebagai referensinya yang baru. Marc Marquez menjadi contoh dari gaya balap ini, yang mana dia sudah mulai mengembangkan gaya balap ini sejak di kelas Moto2.
Demi mencari grip yang paling memungkinkan dari ban belakang, Marquez mulai merebahkan tubuhnya serebah mungkin, untuk mencari batasan maksimal dari kemiringan motor, yang mana membuatnya bisa menguasasi posisi tubuh yang tidak biasa ini ketika menikung. Dengan segera semua pembalap menyadari manfaat dari gaya balap Marquez ini.
Memang grip lateral yang luar biasa dari ban MotoGP ini sangat cocok dengan gaya balap elbow down, tapi gaya balap ini tidak hanya terbatas di kelas MotoGP. Di kelas Moto2 dan Moto3 yang menggunakan ban Dunlop yang punya karakter cukup berbeda, gaya balap elbow down yang sangat rebah ketika menikung juga diterapkan oleh semua pembalapnya, bahkan di kelas pemula dimana bakat bakat pembalap muda mulai dibentuk.
Dan seperti di tahun 80an, produsen perlengkapan balap juga akhirnya membuat pelindung siku yang memungkinkan siku untuk menopang pembalap dengan aman di aspal.
Gaya balap baru ini telah membuat kita melihat pembalap melakukan manuver hebat dengan kemiringan hingga lebih dari 60 derajat, namun terlepas dari gaya balap yang telah diciptakan para pembalap top dunia ini, evolusi gaya balap tidak akan mungkin tercipta bila tanpa adanya evolusi teknis dari motor itu sendiri.