Kejayaan Ducati akhir-akhir ini tidak terlepas pada tiga nama brilian dari bagian managerial tim yakni, Luigi Dall’Lgna, Paolo Ciabatti dan Davide Tardozzi.

Ketiganya memegang peran penting untuk merombak habis-habisan struktur tim dan teknis Ducati yang kala itu begitu hancur paska ditinggal Valentino Rossi.
Bisa dibilang kejersama antara ketiganya berjalan dengan baik. Tardozzi sendiri mengambil peran sebagai manager tim balap dan dirinya bisa dikatakan sebagai salah satu manager terbaik di paddock Motogp saat ini.
Sayang Tardozzi mendapat pandangan negatif dari para penggemar balap Motogp, terutama karena dirinya viral meminta tim Gresini untuk membuat Enea Bastianini untuk menyerahkan posisinya ke Pecco Bagnaia.

Karena kejadian itu Tardozzi kemudian dijuluki sebagai bapak team order Ducati. Meskipun begitu, Tardozzi adalah pria dengan kemampuan managerial yang baik dan mampu memberikan kinerja terbaik bagi tim Borgo Panigale.
Siapa sangka pula kalau dengan perawakannya yang kecil itu Tardozzi dulunya pernah menjadi pembalap di World Superbike Championship (WSBK).
Tidak hanya menjadi pembalap penggembira melainkan juga menjadi salah satu pembalap yang rutin bersaing di barisan depan.
Penasaran seperti apa perjalanan karir Tardozzi? Berikut adalah ringkasannya.
Pernah Membalap di GP250
Davide Tardozzi lahir di Ravenna, Italia pada tanggal 30 Januari 1959. Masa kecil Tardozzi tidak banyak diketahui, namun pada tahun 1983 Tardozzi diketahui pertama kali mengikuti kejuaraan Eropa di kelas 250cc.
Tardozzi lalu pindah ke kejuaraan dunia kelas 250cc (GP250, sekarang Moto2) pada tahun 1994 menunggang Yamaha.
Karirnya di kelas 250cc dunia ini tidak begitu bagus, malah sama sekali tidak bagus. Tardozzi hanya start pada empat balapan pada tahun 1984, dari empat balapan itu dia hanya finish dua kali, itupun diluar poin.
Musim selanjutnya dia pindah menunggang Malaka, merek tidak terlalu terkenal dari Italia. Performanya semakin buruk dengan hanya bisa berpartisipasi pada empat balapan, itu pun tidak lolos untuk start.
“Aku balapan di GP250 pada tahun 84 dan 85. Performaku buruk sekali. Aku membalap di tim privateer, kepala mekanikku adalah istriku sendiri dan kami tidak punya uang. Bukan hanya kesulitan namun kami benar-benar tidak punya uang. Beberapa teman lalu membantu kami dan yang kupelajari dari pengalaman itu adalah balapan di level tertinggi itu sangat mahal.” Ujar Tardozzi (Dikutip dari Superbike.co.uk)
Pindah ke Superbike
Tardozzi lalu memutuskan untuk pindah ke kelas balapan motor produksi massal Italia pada musim 1986.
Waktu itu kelas itu masih disebut TT1 (Tourist Trophy 1) lalu diganti menjadi F1 (Formula 1) sampai akhirnya diubah menjadi kelas Superbike.
Saat itu, kelas Superbike masih mempertandingkan motor empat tak produksi massal berkapasitas 750cc.
Setelah memenangkan Superbike Italia, Tardozzi lalu berkesempatan untuk membalap di World Superbike Championship (WSBK) pada 1988, yang mana itu adalah tahun pertama WSBK diadakan.

Tardozzi turun bersama tim Bimota yang menggunakan motor baru mereka, Bimota YB4 yang mana Tardozzi yakini terlalu canggih pada jamannya.
“Aku pikir motor itu lucu, nama tipenya adalah Bimota YB4 dan motor itu sangat canggih pada jamannya. Maksudku motor itu adalah motor pertama yang menggunakan fuel injection, teknologi yang rumit untuk sebuah motor balap pada waktu itu.” Kata Tardozzi (dikutip dari Superbike.co.uk).

Balapan pertama di sepanjang kelas WSBK itu diadakan di sirkuit Donington Park Inggris, pada 3 April 1988. Tardozzi berhasil menjadi pembalap pertama yang memenangkan balapan di race 1.
Namun pada race 2, Tardozzi terjatuh dan tidak bisa menyelesaikan balapan. Pada waktu itu regulasi WSBK mengharuskan pembalap untuk finish di dua balapan untuk mendapatkan poin.

Karena itu, Tardozzi tidak mendapat poin sama sekali pada pekan pertama WSBK itu walau memenangkan balapan pertama. Regulasi ini lalu diprotes oleh para pembalap sehingga management WSBK saat itu langsung menggantinya pada seri kedua.
“Sejak aku pensiun membalap, beberapa temanku menghitung apa jadinya kalau sistem poin pada seri kedua berlaku dari seri pertama. Kata mereka aku bisa saja menjadi juara dunia musim 1988. Aku tahu itu sudah berlalu lama sekali, tapi mengingatnya kadang membuatku kesal.” Ujar Tardozzi (Dikutip dari Superbike.co.uk).
Musim 1988, Tardozzi berhasil memenangkan lima balapan. Dia mengumpulkan 91.5 poin dan duduk di peringkat tiga dibawah Fred Merkel dan Fabrizio Pirovano.

Walau hanya duduk di peringkat tiga, namun Tardozzi berhasil menjadi pembalap yang mengumpulkan kemenangan terbanyak.
Namun sayang, pada tahun-tahun selanjutnya performa Tardozzi menurun dan sering mengisi barisan belakang.
Pada 1991 dia memutuskan kembali ke Superbike Italia sambil sesekali tampil di WSBK. Namun akhirnya Tardozzi mengakiri karir balapnya pada akhir musim 1992.

“Aku menyadari kalau aku bukan pembalap yang top. Karena aku pernah membalap maka aku bisa tahu hal itu. Menurutku setiap pekerjaan yang kamu lakukan ada massanya, ketika kamu berhenti kamu harus benar-benar berhenti. Karena itu aku benar-benar tidak ingin membalap lagi. Aku mungkin lakukan satu putaran parade pada World Ducati Week pada beberapa tahun lalu sesudah dua puluh tahun pensiun, itu pun aku hanya mengendari motor kurang dari lima menit.” Ujar Tardozzi (Dikutip dari superbike.co.uk).
Lebih Sukses Jadi Manager Tim
Setelah pensiun membalap, Tardozzi lalu memindahkan karirnya pada bidang team managerial. Tardozzi ditunjuk oleh Ducati WSBK untuk menjadi team manager mereka selama 20 tahun.
Karirnya sebagai manager di WSBK terbukti sukses, dia meraih kesuksesan meraih gelar bersama pembalap-pembalap legendaris WSBK seperti Carl Fogarty, Troy Corser, James Toseland dan Troy Bayliss.

Tardozzi sukses mengantarkan pembalap-pembalap Ducati itu merebut gelar pada delapan kesempatan. Menjadikan Tardozzi sebagai salah satu manager tim tersukses di WSBK.
“Aku sangat bersyukur memindahkan karirku dari pembalap ke manager. Aku belajar kalau manager yang baik harus selalu tahu apa yang pembalapnya pikirkan dan harus selalu memberikan apa yang dia butuhkan, bukan apa yang mereka pantas dapatkan.” Kata Tardozzi (dikutip dari superbike.co.uk).

Akhir musim 2009, Tardozzi memutuskan untuk pindah ke tim BMW WSBK. Di sana walau tidak sebagus di Ducati, Tardozzi beberapa kali mengantarkan pembalapnya menantang gelar.
Sesudah menjadi manager BMW selama beberapa tahun, Tardozzi lalu kembali ke Ducati namun kini ke tim Motogp.

Di sana dia bekerja dengan Luigi Dall’lgna dan Paolo Ciabatti membenahi Ducati yang sedang kacau balau.
Tardozzi terbukti sukses membenahi Ducati bersama dua koleganya itu. Sedikit demi sedikit hasil bagus Ducati raih dan puncaknya pada musim 2022 yang lalu, mereka berhasil merebut gelar juara lagi.
“Sangat menyenangkan melihat nomor 1 di motor baru,” Ujar Tardozzi (dikutip dari Kompas.com).
Musim 2023 ini akan menjadi tantangan baru bagi Tardozzi dan Ducati. Karena seperti kata orang-orang, “Mempertahankan lebih sulit daripada merebut.”