Seperti kita tahu, Formula 1 adalah olahraga super mahal. Sangat mahal. Karena berkaitan dengan teknologi tinggi. Banyak hal yang menyebabkan biaya balapan sangat besar. Hal pertama yang membuat mahal adalah, tentu saja teknologi untuk membuat rancang bangun mobil itu sendiri. Sedangkan hal lain, dalam menggelar seri balapan, Formula 1 bahkan melintasi beberapa benua, terdiri dari 21 negara (21 seri balapan).
Di Formula 1, kunci utama untuk tetap bisa eksis, atau menang, adalah uang. Tim-tim besar bahkan menganggarkan dana ratusan juta dollar hanya untuk membuat unit mobil yang dipakai balapan. Belum lagi biaya lain-lain, termasuk biaya promosi dan lobby-lobby.
Emang ada lobby-lobby?
Ya ada lah! Segala sesuatu yang menyangkut soal duit, pasti ada proses lobby. Dalam mencari sponsor pun mereka tentu saja harus melobby calon investor, kan?
Anggaran tim yang telah ditetapkan, bisa saja kemudian membengkak karena ada pengeluaran tambahan yang tak terduga. Contoh paling gampang adalah kerusakan mobil. Baik karena faktor teknis, atau kecelakaan. Namanya juga balapan, resikonya antara nabrak, atau ditabrak. Ya kan?
Disisi lain, banyak tim (sekitar tujuh) yang bukan tim kaya. Anggaran mereka terbatas. Tidak seperti tiga tim kaya yang saat ini sedang berebut tahta juara konstruktor ( RBR, Ferrari, dan MercedesGP), mereka musti berhemat dan berhati-hati dalam menjalani race. Atau kalau nggak mereka akan rugi. Rugi sekali dua kali mungin oke, namanya juga bisnis. Tapi kalau berkali-kali, jatuhnya tekor, kan?
Padahal, sebagai tim gurem, mereka biasanya hanya membayar pembalap murah, atau bahkan pay driver. Bukannya berasumsi, tapi pembalap seperti ini yang lebih sering mengalami kecelakaan. Ditambah lagi, dengan dana pas-pasan, mereka membangun mobil nggak sebagus tim-tim kaya. Soal kecepatan, reliabilitas, dan lain-lain.
Berkaitan dengan reliabilitas, siapa bisa menjamin bahwa mobil tidak rusak ditengah balapan? Kalau sudah begitu, mereka musti mengeluarkan duit lagi untuk perbaikan.
Dan terkait ketimpangan keuangan antara tim kaya dan tim papan tengah kebawah dan setelah digodog selama bertahun-tahun menyoal biaya yang dikeluarkan tim, akhirnya Formula 1 menurunkan batas anggaran tim-tim kontestan. Kalau untuk tahun 2021 lalu ditetapkan sebesar $145 juta sementara untuk tahun 2022 ini ditetapkan sekitar $140 juta $135 juta pada tahun 2023.
Tentu saja itu akan membuat pusing tiga tim terbesar F1—Mercedes , Ferrari dan Red Bull Racing—yang pengeluarannya masing-masing melebihi $400 juta per tahun, maklum, mereka lebih dari seribu karyawan di setiap tim.
Disisi lain hal itu (penurunan anggaran) adalah penyelamat bagi tujuh tim (kecil) lainnya untuk tetap bisa bertahan, mereka biasanya menghabiskan setengah atau bahkan sepertiga dari tiga tim besar, “ Mereka (tim kecil) hampir ditakdirkan untuk tetap berada di lini tengah. .” ujar CEO Alpine Racing, Laurent Rossi.
Masalahnya, bagi sebagian besar tim kunci kecepatan di balap mobil adalah teknologi. Dan riset teknologi berarti duit. Tentu saja dengan anggaran besar, buat tim kaya raya bukan Persoalan. Dana melimpah, engineer jenius siap melaksanakan tugasnya, menterjemahkan idenya dengan bebas tanpa khawatir soal anggaran. Tapi dengan adanya budget cap, bagaikan menjegal pengembangan teknologi itu sendiri.
Tapi menyoal kunci kecepatan mobil, bukan melulu soal teknologi mahal. Ada orang yang sangat ahli dalam pengembangan aerodinamika kampiun yang membuktikannya. Setidaknya dia pernah punya tim dengan anggaran terbatas, dan masih bisa merebut gelar, first, and only in 2009! Dia adalah Ross Brawn, mantan engineer Ferrari dan pendiri tim BrawnGP yang merupakan cikal bakal dari MercedesGP.
Waktu itu BrawnGP mengembangkan double diffuser yang bahkan membuat tim papan atas sewot! Bagaimana mungkin tim papan bawah, di debut pertamanya bisa mengasapi tim-tim kelas wahid. Tapi memang itulah yang terjadi. Brawn berhasil mendominasi musim dengan hanya memanfaatkan aliran udara.
Tinggal bagaimana tim-tim itu memanfaatkan wind tunnel yang ada, karena pemangkasan anggaran juga termasuk masalah pengembangan terowongan angin itu.
Kalau mau menelaah lebih lanjut tentang peraturan baru itu adalah, bahwa sebenarnya peraturan baru itu ditujukan untuk lebih mengedepankan ground effect sebagai penghasil kecepatan selain mesin. Ground effect akan memberi down force yang bagus dan akan membuat mobil punya daya cengkeram yang lebih maksimal ke permukaan lintasan dan tetap kencang ketika melibas tikungan.
Tren seperti ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 70 an sampai awal 80 an. Pelopornya adalah Lotus 78 yang di besut Colin Champan pada tahun 1977. Saat itu mereka memanfaatkan side skirt untuk penghasil ground effect.
Beda mendasar ground effect yang hadir di tahun 70 an dengan regulasi yang akan di terapkan di tahun 2022 adalah, kalau ground effect yang di pakai di Lotus-nya Colin Chapman berfokus pada side skirt, maka untuk musim tahun 2022 ini berfokus pada pengembangan ‘lantai’ mobil.
Selama ini ‘lantai’ atau bagian bawah mobil Formula 1 berbentuk flat, atau datar. Sedangkan demi memperoleh ground effect, maka bentuk tersebut diubah sedemikian rupa yang selanjutnya di sebut venturi tunnel. (ilustrasi ada pada gambar).

Diyakini Venturi Tunnel ini nantinya akan menambah down force sebesar 80%!
Sesederhana itu? Ya, sesederhana itu!
Dan sampai disini bisa kita simpulkan, bahwa regulasi baru ini lebih menyarankan tim-tim kontestan untuk ‘berbenah’ di sektor aerodinamika dengan biaya yang relatif murah.
Tentu aturan baru ini nggak makan biaya riset yang terlalu besar sehingga dinilai terjangkau oleh tim-tim papan tengah dan bawah, yang disebut oleh Om Laurent Rossi sebagai tim yang ‘menjalani takdir’ selamanya jadi tim ‘miskin’, selama tidak ada perubahan regulasi yang mengatur anggaran.
Berkaitan dengan peraturan baru pada musim 2022, tentu saja akan menguntungkan tim-tim kecil. Mereka ngerasa ‘diberi angin’. Dimana gap antara tim kecil dan tim besar (kaya) akan makin berkurang.
Lantas bagaimana hegemoni tim-tim kaya?
Itu soal nanti, mereka pasti punya cara untuk menyiasati regulasi.