Sampai saat ini, Formula 1 masih di dominasi tim-tim Eropa. Mercedes yang dari Jerman, Red Bull Racing dari Austria, Ferrari & Alfa Romeo dari Italia,, dan masih banyak lagi. Hanya HAAS satu-satunya tim Amerika.
Tidak heran, karena olahraga ini memang berpusat dan berasal dari jantungnya Eropa, lebih tepatnya Inggris. Jadi Tidak salah Formula 1 adalah salah satu budaya Inggris. Dan banyak markas besar tim Formula 1 disana. McLaren, walau perintisnya berkebangsaan New Zaeland, tapi seorang Bruce Mclaren tak akan setenar kala itu kalau tetap ada di New Zaeland.
Jangan heran kalau rata-rata mesin juga buatan negara-negara di Eropa. Italia dan Jerman saat ini adalah dua negara penghasil mesin Formula 1 yang ciamik. Walau kadang keberadaan mereka terusik oleh ganasnya lengkingan mesin dari negeri Yakuza. Siapa lagi kalau bukan Honda!
Tapi pembahasan tentang Honda akan kami sampaikan hanya lain kesempatan. Karena kali ini kita akan membahas sebuah pabrikan yang berpusat di Bayerische. Namanya Bayerische Motoren Werke. Disingkat BMW.
Pabrikan ini senegara dengan Mercedes. Dan dalam jualan mobil jalan raya, mereka berdua rival berat.
Lalu di Formula 1 bagaimana?
Walau pabrikan besar dan punya divisi sport tenar, tapi kiprahnya tidak semoncer rekan setanah air-nya, yaitu Mercedes. Kiprah BMW di balapan formula 1 kurang konsisten. Keluar masuk dan terkesan seperti ogah-ogahan.
Walau telah mengikuti balapan sejak tahun 50 an, tapi kurangnya konsistensi dalam mengikuti ajang Formula 1 membuat BMW kurang greget di ajang paling bergengsi ini.
Pertama mengikuti Formula 1 bahkan BMW menggunakan spek mobil Formula 2. Waktu itu BMW turun sebagai tim pabrikan, sasis yang digunakan pun masih menggunakan atau berbasis BMW 328.
Ada satu keunikan yang terjadi pada GP Jerman tahun 1960 ketika gelaran Formula 1 di helat berbarengan dengan Formula 2. BMW turun di dua kelas itu sekaligus! Tahun segitu memang Formula 1 dan Formula 2 sering diadakan dalam waktu dan sirkuit yang sama.
Kalau boleh berspekulasi, atau mengandai-andai, keberadaan BMW di Formula 1 seperti halnya Honda, keluar masuk. Pada tahun 1969 BMW mengundurkan diri dari arena Formual 1 menyusul kecelakaan yang dialami oleh Gerhard Mitter.
BMW Masuk lagi di Formula 1 tahun 1980. Pemicunya adalah Renault (baca: Runolt) yang masuk ajang yang sama dengan mengembangkan mesin Turbocharger dan menangguk kesuksesan. BMW lalu memulai riset dengan mesin turbo-nya
Pengumuman tentang masuknya BMW di Formula 1 ini di umumkan pada sebuah press release pada bulan April 1980.
Sebuah mesin berbasis pada unit M10 yang sebenarnya sudah mereka riset pada tahun 1950. Mesin itu adalah unit 1500c, 4 silinder segaris, dan tanpa turbo atau Normally Aspirated. Pengembangan mesin itu menghasilkan unit dengan kode M12 yang juga di cangkokkan pada mesin Formula 2. Mesin ini terbukti sukses dengan raihan kemenangan di Formula 2 pada tahun 1979 dan 1980.
Sebuah tim asal Inggris yang di miliki seorang pria berambut perak yang kelak mengubah Formula 1 menjadi sebuah olahraga mahal, mengetes unit mesin M12 BMW pada tahun 1981. Apabila cocok, mesin itu nantinya dipakai musim kompetisi 1982. Ya, tim itu adalah Brabham yang saat itu dimiliki Bernie Ecclestone.
Gordon Murray mendesain mobil Brabham BT50 bersama dengan chief designer David North. Mereka mengganti unit yang sebelumnya di sediakan oleh Renault (baca: Runolt) dengan BMW M12. Pihak Brabham berekspektasi bahwa mesin ini mempunyai performa sama dengan ketika mereka menggunakan Renault.
Pada GP Afrika dimana seri pembukaan, kedua pembalap mereka, Nelson Piquet dan Ricardo Patresse menempati start posisi 2 untuk Piquet, dan Patresse di urutan ke 4. tapi mereka harus merasakan pahitnya balapan karena DNF. Di akhir musim Brabham bermesin M12 mendulang 1 kemenangan dan 1 posisi pole. Podium urutan kedua diraih oleh Piquet pada GP Belanda. Dari total 16 race dalam satu musim mereka menghasilkan 41 poin dan menduduki urutan ke 5 konstruktor.
Pada 1983 Brabham tampil cukup impresif dan kompetitif. Mengakhiri musim dengan 4 kemenangan dan dua pole. Dalam 15 race dalam satu musim menghasilkan 59 poin pembalap, mengantarkan ayah dari Kelly Piquet meraih juara pembalap. Tapi sayang juara konstruktor masih jauh. Karena Brabham bermesin BMW masih harus puas bertengger di posisi 3 klasemen konstruktor.
Pada tahun yang sama, 1983, BMW berekspansi dengan memasok mesin buat ATS. Sejatinya tim ini adalah produsen ban. Tim itu adalah ‘sisa-sisa’ Tim Penske (baca: Penski). Pihak ATS mendirikan tim Formula 1 tahun 1977 dan baru 1983 memilih BMW untuk memasok mesin. Sama dengan Brabham, unit M12/M13 (baca: M twelve M Thirteen ) dicangkokkan pada sasis ATS. Pada tahun 1984 ATS menghentikan kerjasama dengan BMW.
Pada tahun 1984 pabrikan asal Bavaria ini juga memasok mesin untuk Arrows. Arrows dengan kode sasis A7 tersebut di desain oleh Dave Wass. Tapi sayang, Arrows A7 tidak cukup kompetitif.
Hasil terbaik hanya finish urutan ke 6 yang diperoleh pembalap mereka, Marc Surer, di GP Austria yang hanya menghasilkan 3 poin di akhir klasemen membuat Arrows A7 hanya bertengger di posisi 11 klasemen konstruktor.
Tahun berikutnya, Arrows dengan kode sasis A8 mendapat hasil yang lumayan. Setidaknya dibanding musim sebelumnya. Mereka naik peringkat konstruktor dengan menempati posisi 8 mengantongi 14 poin. Tahun 1986 dengan tetap menggunakan sasis A8 merupakan tahun yang jeblok. Hanya menghasilkan 1 poin dan menduduki peringkat 10. Menyusul pengumuman pengunduran diri BMW dari Formula 1.
Dua belas tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1998, BMW terlibat penandatanganan kontrak panjang dengan sebuah tim kaya bernama Williams. Williams adalah tim non pabrikan yang cukup disegani. BMW mensyaratkan minimal ada satu pembalap Jerman membalap untuk Williams, kelak, apabila mereka ketemu kata sepakat.
Dan akhirnya ketemulah sebuah nama asal Kerpen yang tak lain adalah adik sang legenda Michael Schumacher. Ya, Ralf Schumacher adalah pilihan ideal. Berpasangan dengan Jenson Button dari Inggris.
Mereka memulai ujicoba BMW untuk menggantikan unit Supertec mereka. Supertec adalah unit yang berbasis pada mesin Renault yang di rebranding. Williams mengujicoba mesin BMW pada tahun 1999.
Secara Resmi Williams menggunakan mesin BMW pada musim 2000 dengan kode sasis FW22.
Walau tanpa kemenangan sekali pun, tapi menghasilkan 3 podium untuk Ralf adalah hasil yang lumayan. Karena ini merupakan tahun yang serba baru. Pasangan pembalap baru buat Williams sekaligus pendatang ‘baru’ buat BMW setelah sekian lama absen di Formula 1.
Kedatangan Juan Pablo Montoya pada musim 2001 menambah warna tersendiri buat Williams-BMW. Bukan hanya buat tim, melainkan juga buat Formula 1 secara keseluruhan. Pembalap ini luar biasa. Cepat, tapi belum punya keberuntungan di Formula 1. Gaya balapnya yang sedikit liar membuat makin semaraknya ajang olahraga glamour ini.
Pasangan pembalap ini membawa banyak pengharapan buat Williams BMW. 4 kemenangan berhasil diperoleh, masing-masing 3 untuk Ralf dan satu kemenangan untuk Montoya. Digadang-gadang sebagai mesin terkuat, BMW masih harus beradaptasi lebih lanjut dengan sasis Williams. Tapi klasemen ketiga konstruktor juga bukan hasil yang buruk.
Di akhir seri Williams merasa kurang puas hanya bertengger di posisi 3 klasemen di bawah Ferrari dan Mclaren.
Berikutnya di tahun 2002, Williams betul-betul menjadi penantang sang juara, baik pembalap atau konsrtuktor. Mesin BMW benar-benar perkasa.
Dan Montoya, pembalap ‘gila’ itu mencatatkan 7 podium yang mmbuahkan 50 poin. Sedangkan Ralf, meraih enam podium, salah satunya kemenangan di Malaysia mendulang 42 poin. Mereka betul-betul tim yang dijadikan kandidat juara dunia. Tapi sayang, kedigdayaan Ferrari masih sulit di taklukkan. Bahkan poin konstruktor antara Ferrari dan Williams terpaut 129! William hanya mendulang perolehan 92 point, sedangkan Ferrari 221 poin.
Catatan rekor kecepatan yang di torehkan Juan Pablo Montoya di sirkuit Monza seolah tanpa arti. Di Monza pada sesi kualifikasi Montoya memecahkan rekor Keke Rosberg. Kalau Keke Rosberg membukukan kecepatan 259,005 KM/jam, maka Montoya melejit di angka 259,827 km/jam!
Setelah tahun 2005 BMW mengakhiri kerjasama dengan Williams. BMW membeli Sauber dan membentuk tim-nya sendiri, meski untuk penamaan masih menggunakan embel-embel Sauber. Di tengarai sejumlah konfilk turut mewarnai hengkangnya BMW dari Williams. Sebuah ironi buat para penggemar fanatik Formula 1, khususnya fans berat Williams. Menurut beberapa pendapat, seandainya tak ada sejumlah konflik, mereka berpeluang mendulang juara 1 sebagai konstruktor. Tapi ya itulah Formula 1. Unsur politik turut mendominasi selain sport.
Hasilnya, 5 tahun menjalin kerjasama dengan Williams tak menghasilkan sesuatu yang seperti di targetkan. Yaitu juara konstruktor. Juara konstruktor adalah impian semua tim dan supplier mesin. Masih banyak tim yang tak mendapatkannya, tapi toh mereka tak serta merta putus hubungan.
Kasus Williams-BMW sedikit pengecualian. Mereka punya ekspektasi terlalu tinggi. Memang, awal kerjasama mereka, BMW memasok unit mesin 2998cc V10 yang di labeli BMW E41/42 dengan tenaga mencapai 810 HP, yang merupakan salah satu mesin terkuat. Tapi apalah arti mesin kuat tanpa diimbangi paket aerodinamika yang bagus. Seperti kita tahu, di Formula 1 aerodinamika adalah hal kedua dalam penentu kecepatan selain mesin.
ERA SAUBER
Pada tahun 2006 BMW meluncur di lintasan dengan label Sauber. Label sauber tetap di pertahankan kendati BMW telah membeli tim dari tangan Peter Sauber. BMW tetap memakai Peter Sauber sebagai konsultan tim. Bos tim pun tetap DR. Mario Thiesen. Pembalap Jerman tetap di ada di tim ini. Mungkin sebagai bentuk patriotism, BMW tetap mempekerjakan pembalap Jerman. Tapi bukan Ralf lagi, Ralf sudah hengkang ke Toyota. Sebagai gantinya, Nick Hiedfeld. Berpasangan dengan Nick, seorang pembalap ‘gila’ lain dikontrak. Dia adalah seteru Montoya. Namanya Jacques Villeneuve!
Tahun 2006 tim tampil impresif. Nick berhasil naik podium 3 pada GP Hongaria. Tapi lain cerita dengan Jacques Villeneuve. Tidak konsisten dan labil membuat tim memecat dan mengganti dengan sosok Robert Kubica, seorang pebalap Polandia.
Tahun 2007 seolah menegaskan bahwa Hongaria adalah sirkuit ‘milik’ Nick. Walau hanya finiss di urutan ketiga ( lagi).
Sauber BMW menduduki juara 2 konstruktor dengan menghasilkan 101 poin. Harusnya posisi 2 di raih oleh Mclaren. Tapi Mclaren terseret kasus spygate yang menyebabkan mereka harus di dikualifikasi.
Tahun 2008 merupakan tahun yang moncer buat BMW. Digadang-gadang sebagai kandidat juara. Nick tampil cukup impresif dengan hasil P2 di Malaysia dan P3 di Bahrain cukup membuat tim pecaya diri. Ditambah lagi P2 di Monako oleh Kubica, lalu finish 1-2 di Kanada. Kubica posisi 1, dan Nick 2. Kubica sebelumnya di gadang-gadang sebagai juara dunia pembalap.
Tapi di GP China Kubica musti menari bersama sang takdir, balapan yang kurang begitu menyenangkan di China membuat harapan Kubica pupus. Tim mengakhiri musim dengan perolehan 135 poin, meningkat dari tahun sebelumnya. Dan posisi tiga pun tetap jadi milik Sauber BMW.
Tahun 2009 BMW mengumumkan pengunduran dirinya dari kancah Jet darat setelah hampir 10 tahun berkiprah. Kemunduran BMW ini seolah sebagai sinyal menyerah. Mereka harus mengakui, panasnya persaingan jet darat ini tidak mudah ditaklukkan hanya dengan mengandalkan kekuatan mesin. Segala aspek sangat mempengaruhi kompetitif atau tidaknya satu tim.
Regulasi yang dibuat pun tak jarang melenceng dari unsur sportifitas. Bahkan sering disertai intrik karena pengaruh dari tim-tim lain yang lebih punya pengaruh di Formula 1.
Per tahun 2019 pihak BMW mengatakan, tak akan ada lagi rencana untuk masuk ke Formula 1 sebagai pabrikan. BMW beralasan, bahwa pengembangan yang ada di Formula 1 tidak relevan dengan kondisi perkembangan jaman dan tidak lagi cocok untuk di aplikasikan pada mobil jalan raya ( Road Car).
Setidaknya hal itu dikatakan oleh Jens Marquardt, direktur motorsport BMW. Arah perkembangan dan pengembangan teknologi Formula 1 sudah beda dengan planning BMW. Hal yang cukup mendasar adalah menyangkut dapur pacu Formula 1 yang berupa unit mesin hibrida Turbo 1500cc tidak sesuai dengan apa yang dikembangkan BMW untuk mobil-mobil jalan raya yang di produksi oleh BMW yang notabene lebih condong ke electric vehicle.
Dan Formula E adalah ajang balapan yang ideal menurut BMW sebagai bentuk dari keikutsertaan BMW di even motorsport.
Oke, sampai disini kita sudah bisa memaklumi alasan yang disampaikan BMW. Dan mereka memang mengikuti Formula E, masalahnya satu tahun kemudian BMW mengumumkan pengunduran dirinya dari ajang mobil Listrik Formula E. BMW bersama AUDI absen untuk tahun 2022 dan seterusnya sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Kok bingung ya, sebenernya mau kemana BMW ini ?