Di negeri ini orang sangat kenal dengan satu merk yang sangat tenar, Yamaha. Iya, Yamaha adalah merk yang sangat familiar dan hampir semua pengguna motor tahu itu. Ketenaran Yamaha menempati urutan 2 setelah Honda.
Yamaha adalah merek yang sudah sangat lama memasarkan produk sepeda motornya di negeri eks koloni Kumpeni ini. Sehingga kalau orang tanya, apa itu Yamaha? Jawaban nomor satu adalah, sepeda motor!
Padahal Yamaha bukan hanya memproduksi Motor. Selain motor, Yamaha juga memproduksi peralatan musik, lengkap dengan Yamaha music School sebagai yayasan musiknya.
Selain itu di Indonesia Yamaha juga memproduksi mesin tempel pada boat, juga jetski.
Tapi Yamaha tidak pernah memproduksi mobil, setidaknya di negeri ini.
Tapi bukan berarti Yamaha tidak pernah berkiprah di balapan mobil. Bukan mobil Rally, atau mobil touring.
Gokart? Iya, Yamaha juga memproduksi mesin Gokart.
Tapi pada artikel kali ini penulis akan menyajikan sebuah mobil Formula 1 bermesin Yamaha. Betul! Kami tidak sedang bercanda. Tapi pernah ada mobil Formula 1 bermesin Yamaha. Bukan satu atau dua tim. Pabrikan Jepang itu memasok lima tim dalam kurun waktu tahun 1989 sampai dengan 1997. Tim-tim itu adalah Zakspeed, Brabham. Jordan, Tyrell, dan Arrows
Dan yang kita bahas kali ini adalah tim terakhir, sekaligus juga kiprah terakhir Yamaha sebagai pemasok mesin di formula 1.
Tim terakhir itu adalah Arrows. Tak main-main, mesin Yamaha yang ditanam di Sasis Arrows itu bertenaga 700DK. Dengan konfigurasi V10, dengan kode mesin OX 11A.
Diluncurkan pada bulan Januari 1997, adalah awal baru buat tim. Dengan dua pebalap baru, Damon Hill dan Pedro Diniz. Sedangkan tunner mesin adalah John Hudd, seorang Insinyur yang pernah bekerja sama dengan Jack Brabham, dan salah satu orang yang diberi kewenangan oleh Cosworth ntuk pengembangan mesin Cosworth seri DFV.
Dan Tom Walkinwshaw pun merupakan pemilik baru di tim yang sebelumnya bernama Footwork Arrows itu.
Buat Hill, ini adalah awal yang baru juga. Bisa dikata Hill turun kasta. Karena di tim sebelumnya, Williams, adalah sebuah tim yang kompetitif dan mengantar dia merengkuh juara dunia. Sedangkan Pedro Diniz, adalah pensiunan Ligier.
Bisa jadi Tom Walkinshaw, Bos Arrows, menarik Hill dengan sebuah ekspektasi yang tinggi. Tapi kelewat tinggi, karena kemampuan Hill tidak diimbangi dengan kemampuan mobil secara teknis.
Padahal, Tom walkinshaw mengawali musim dengan cukup percaya diri “Kami telah mengumpulkan tim teknis dan sponsor yang kuat,” ujar Walkinshaw
A18 terus di dera masalah. Mengawali hal baru tak pula selalu bagus. Setidaknya dibuktikan oleh Arrows ketika Hill DNS ( Do Not Start ) di Grandprix Melbourne, Australia. Meski begitu Pedro Diniz berhasil finish. Karena tanpa poin dan hanya posisi 10. Ada yang bilang, finish urutan 10 buat tim gurem sudah lumayan. Apalagi Diniz bisa ‘mengalahkan’ rekan setim yang merupakan juara dunia tahun lalu.
Hah!? Mengalahkan? Tidak, bukan mengalahkan. Tapi karena Hill apes.
Tapi di race kedua gantian Diniz gagal menyelesaikan balapan alias Do Not Finish. Sedangkan Hill, finish diposisi terakhir, yaitu posisi 17. Alamak!
Baru setelah race ketiga dan selanjutnya mereka imbang. Tak bisa finish semuanya. Tak main-main, mereka gagal di Argentina, San Marino, Monza, dan Spanyol .
Posisi terbaik diperoleh Damon Hill di Hungaroring, Hungaria. Dimana Hill mampu finish di urutan kedua. Podium buat Hill, tapi Diniz harus menelan ludah, karena tidak bisa melanjutkan balapan. Dan itulah satu-satunya poin dan podium buat Arrows.
Dalam satu musim, Hill hanya mampu menyelesaikan 10 balapan dari total 17 balapan. Sedangkan Diniz, lebih menyedihkan lagi. Hanya bisa finish sebanyak 6 kali! Total poin yang bisa dikumpulkan adalah 9 poin dan menduduki urutan 9 konstruktor.
Lantas, apa yang membuat Arrows jeblok? Apakah Mesin Yamaha? Atau ketidak tepatan paket yang dirancang oleh tim desain yang dipimpin Paul Bowen?
ANALISA
Kalau nurut perspektif penulis, dan mungkin banyak orang yang menyukai olahraga ini, masalah di Arrows cukup kompleks. Masalah mereka tidak sesederhana desain mobil maupun liverynya yang tampak terlihat cantik.
For your information, bahwa Walkinshaw membeli 40% saham tim Footwork Arrows pada tahun 1996, dan selanjutnya mempunyai kontrol penuh terhadap tim, termasuk mengganti namanya menjadi TWR Arrows. TWR adalah Tom Walkinshaw Racing.
Perubahan besar-besaran dibawah kontrol Walkinshaw dimulai tahun 1997. Lalu mulailah mereka membangun tim, dengan amat tergesa. Membeli tim balap papan tengah, sebenernya resikonya cukup besar. Artinya, mereka akan gambling, antara gagal, dalam arti membawa hasil lebih buruk di trek, atau lebih baik. Semua tergantung pemilik selanjutnya, dalam hal ini TWR yang dikomandani oleh Tom Walkinshaw.
Kalau kita bandingkan dengan kasus keberhasilan BrawnGP, yang sama-sama peralihan, tentu akan sangat jauh beda. Karena yang dibeli Ross Brawn adalah Honda, sebuah tim mapan, walau tahun sebelumnya jeblok prestasi. Segala infrastruktur sudah siap. Tinggal soal inovasi dan pengembangan mobil lebih lanjut. Satu hal penting lagi, Ross Brawn terlibat langsung masalah teknis. Serta secara histori, Brawn berhasil membawa Ferrari merebut kejayaan.
Tapi dengan porsi yang sedikit beda, mari kita bandingkan dengan kasus BAR membeli Tyrrel. Tahun pertama dan kedua BAR adalah tahun-tahun adaptasi. Tahun pertama dengan mesin supertec, jeblok. Tahun selanjutnya, dengan mesin Honda, dukungan dana besar, serta pebalap mahal macam Jacuqes Villenueve pun, tidak bisa membawa hasil yang instant, hingga akhirnya BAR menyerah dan menjualnya pada Honda.
Apalagi footwork Arrows, sebuah tim yang sebetulnya relative baru di formula 1 ( didirikan pada 1990).
Dengan result yang tidak bagus-bagus amat, Tom Walkinshaw membelinya seperti orang yang masuk ke arena kasino dengan modal duit yang pas-pasan, dan tidak jago memainkan kartu. Selesai!
Sepeti yang diungkapkan Walkinshaw, bahwa mereka mendevelop mobil dengan waktu yang pas-pasan. Serba tergesa-gesa, serta sumber daya manusia yang bukan papan atas di dunia Formula 1, adalah kombinasi yang klop untuk sebuah alasan kenapa tim itu mengalami keterpurukan.
Kisah Yamaha pun berakhir tahun itu. Sesudahnya Yamaha tidak menyuplai mesin buat Formula 1. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang kegagalan Arrows di tahun 1997. Apakah faktor mesin Yamaha, atau kurang bagusnya paket aerodinamika yang di desain oleh Simons Jennings sebagai head of aerodynamics. Atau memang belum beruntung saja.
Arrows sendiri harus mengakhiri kisahnya di lintasan balap tahun 2002 di Grandprix Jerman 2002 menyusul mundurnya salah satu sponsor besar mereka, yaitu European Aviation. Perusahaan penerbangan itu mengalami kesulitan keuangan menyusul sepinya penerbangan paska penyerangan 11 september 2001 yang menimpa gedung WTC.