
Honda saat ini sedang kesulitan menjalani musim MotoGP terketat sejak Honda menurunkan motor radikal, NR500 4 tak dengan piston oval melawan motor motor 500cc 2 tak di akhir tahun 70an dan awal 80an.
Dalam beberapa hal, ini tidak mengejutkan karena pabrikan paling sukses di MotoGP ini sedang kehilangan pembalap topnya sejak GP Spanyol 2020.
Marc Marquez sudah memenangkan 6 gelar dunia dan membantu Honda memenangkan 6 gelar dunia konstruktor antara tahun 2013 dan 2019. Sejak itu Honda kehilangan taringnya, sama seperti Yamaha ketika karir Wayne Rainey berakhir pada tahun 1993, Suzuki yang kehilangan Kevin Schwantz karena memutuskan pensiun di tahun 1995, dan seperti Ducati saat Casey Stoner memutuskan pindah di 2011.
Jika kita melihat hal tersebut, bisa diartikan balap motor merupakan olahraga yang sangat mengandalkan peran manusia, bahkan lebih daripada balap mobil. Bahkan sekarang, ketika motor MotoGP dipasangi dengan teknologi yang terinspirasi oleh Formula 1, pembalaplah yang masih bisa membuat perbedaan. Tidak hanya dalam hasil balapan saja namun juga dalam pengembangan mesin.
Hal ini seperti pendapat John Barnard, seorang insinyur F1 yang juga pernah bekerja di MotoGP di era mesin 990cc 4 tak, yang mengatakan bahwa integrasi dari pembalap ke motor jauh lebih penting daripada Formula 1, akibatnya pembalap tidak ingin motornya sama dengan motor pembalap lain, sehingga pabrikan membuat motor semirip mungkin dengan apa yang pembalap inginkan.
Jadi dengan hilangnya Marquez dari peran pentingnya telah sangat merugikan Honda, terutama karena para insinyur HRC telah membuat motor RC213V sesuai dengan gaya balap Marquez yang luar biasa selama dekade terakhir.
Beberapa fans MotoGP tentu bertanya ‘kenapa insinyur Honda melakukan ini ?’. Jawabannya adalah mereka tentu mencari panduan pada pembalap tercepatnya untuk memimpin pengembangan motornya. Karena yang terpenting adalah memenangkan balapan dan kejuaraan. Bisa menang balapan dengan 4 atau 5 pembalap di jajaran 5 besar tentu sangat bagus, seperti yang Honda sering lakukan dengan motor RC211V nya dulu, tapi yang paling penting adalah memenangkan balapan, dan yang dibutuhkan hanya 1 pembalap saja untuk melakukan itu. Jadi bisa dibilang, kejeniusan Marc Marquez telah meletakkan Honda ke dalam lubang yang sangat dalam.
Honda telah mendesain ulang motor RC213V nya secara menyeluruh untuk tahun 2022 ini, tujuannya untuk mendapatkan performa lebih dari ban belakang Michelin yang diperkenalkan 2 tahun lalu, yang mana telah mengubah dinamika MotoGP. Podium ketiga Pol Espargaro di seri pembuka GP Qatar memberikan indikasi Honda sudah membuat motor yang benar, tapi nyatanya malah sebaliknya, Honda tidak pernah podium lagi sejak itu.
Pol Espargaro mengatakan bahwa, tujuan sebenarnya Honda mendesain total motor RC213V adalah untuk mendapatkan lebih banyak kontak pada rear end motor. Tidak hanya grip dalam hal akselerasi keluar tikungan, namun juga grip pada saat masuk tikungan, dimana Espargaro merasa tidak bisa menggunakan pengereman rem belakang seperti yang diinginkannya, karena rear end motor selalu terangkat saat fase pengereman. Inilah yang menyulitkan Espargaro dan menjadi penyebab pembalap Honda lain sering highside saat masuk tikungan, karena tidak mendapatkan feeling ban belakang yang mencengkram aspal dengan baik.
Tentu apa yang dikatakan Pol Espargaro ini mengejutkan, karena seperti yang kita tahu Honda RC213V 2022 ini khusus didesain untuk memaksimalkan ban belakang Michelin yang lebih punya daya cengkram dengan casing yang lebih soft.
Bagaimanapun juga, keseimbangan motor MotoGP saat ini menjadi lebih sulit diraih, karena balapan kian ketat, dan mencari setup motor yang tepat untuk mencapai keseimbangan yang sempurna antara ban depan dan belakang Michelin semakin sulit.
Hal ini seperti yang diungkapkan Stefan Bradl, bahwa Honda belum menemukan keseimbangan yang tepat pada motornya. Bradl menyadari motor Honda punya keunggulan dalam pengereman di sektor lurus yang kuat. Namun bila motor tidak seimbang, maka ketika ban depat dibelokkan, ban belakang tidak ikut berbelok, sehingga seluruh kinerja motor tidak bekerja dalam satu kesatuan. Inilah yang membuat motor Honda tidak bisa halus ketika dikendarai, jadi pembalap harus bekerja keras mengendalikan motor dalam hal pengereman dan menikung, yang pada akhirnya membuat para pembalapnya mudah membuat kesalahan sekaligus mendapat hasil yang tidak konsisten.
Inilah salah satu alasan kenapa 4 pembalap Honda saat ini: Bradl, Espargaro, Nakagami & Alex Marquez menderita banyak crash, yang mana ini berpengaruh juga pada kepercayaan diri mereka dan juga berpengaruh pada pengembangan motor. Karena para pembalapnya menjadi tidak berani menekan motor sampai limit, yang mana ini adalah cara untuk mempelajari karakter motor lebih dalam.
Di GP Austria kemarin Marc Marquez hadir di hari kamis dan jumat dalam rangka untuk berbicara dengan para insinyur HRC. Menurutnya, Honda memang sedang dalam situasi sulit, tapi masalahnya bukan pada motor, tapi lebih kepada proyeknya secara keseluruhan. Marquez menilai informasi yang mengalir di dalam tim HRC harus mengalir secara baik di semua area.
Juara dunia bertahan saat ini Fabio Quartararo meyakini, ada masalah budaya orang Jepang yang mempengaruhi hal ini. Masalahnya adalah orang Jepang itu terlalu konservatif, terutama ketika menyangkut inovasi teknologi karena tidak ingin bermain main dengan aturan teknis yang ada di MotoGP. Quartararo menilai Yamaha harus berani mencoba banyak hal baru seperti pabrikan Italia.
Paling jelas terlihat dari pabrikan Jepang adalah motor mereka terlalu konservatif dengan aerodinamika downforce. Bila dilihat motor Honda, Yamaha & Suzuki minim inovasi aerdinamika, bandingkan dengan motor Aprilia, Ducati, KTM yang banyak inovasi aerodinamika.
Hal ini terjadi karena pabrikan Jepang tidak terlalu ingin mendalami teknologi aero, karena mereka melihat kejuaraan MotoGP sebagai bagian dari program pengembangan motor jalanan mereka, dan mereka menganggap teknologi aero yang canggih ini tidak terlalu penting dipasang di motor jalanan mereka. Tapi di MotoGP sekarang membutuhkan aerodinamika yang canggih untuk bisa menang. Jadi Honda dan Yamaha harus memperhatikan penuh akan hal ini.
Selain itu Marc Marquez mengatakan untuk bisa bangkit, Honda harus mengelola tim dengan baik, karena setiap tahun balapan semakin banyak dan sesi tes semakin seidkit, jadi pekerjaan yang ada di pabrik pusat menjadi lebih penting ketimbang yang ada di sirkuit. Dan apa yang terjadi di sirkuit harus dikerjakan bersama dengan apa yang sedang dikerjakan di pabrik pusat.
Bila ini bisa dibenahi, tentu Honda bisa comeback seperti banyak kisah pabrikan yang comeback di masa lalu, seperti saat Masao Furusawa membantu Yamaha comeback, Gigi Dall’Igna yang mereorganisasi Ducati Corse, dan Davide Brivio yang menyatukan orang orang Jepang dan Italia di Suzuki saat memenangkan gelar dunia 2020.