Mungkin hanya sedikit pecinta F1 era modern yang mengetahui nama Prost, Alain Prost. Yup, dialah mantan rekan setim sekaligus rival terberat Ayrton Senna di McLaren.
Gaya membalap keduanya tidak pas untuk bisa kerjasama satu sama lain sebagai pendukung sebuah tim. Prost yang cenderung halus, kalem, tapi cepat, berbanding terbalik dengan Senna yang cenderung agresif. Persamaan keduanya adalah, mereka sama-sama pebalap yang cepat.
Alih-alih team order, keduanya malah lebih sering bersitegang.
Kejadian paling mencolok adalah peristiwa di sirkuit Suzuka, Jepang pada tahun 1989. Keduanya terlibat duel yang bahkan nyaris membuat keduanya crash pada lap 46.
Pada balapan itu Senna di diskualifikasi, dan Prost akhirnya meraih gelar juara dunia 1989.
Foto: Prost AP03 dengan Sponsor Yahoo. (Sumber: Wikipedia)
Pada tahun 1990 Prost pindah ke Ferrari. Senna tetap melanjutkan debutnya di McLaren.
Pada tahun 1993 Prost memutuskan untuk pensiun dari sirkus termahal di dunia itu. Tapi bukan berarti Prost pergi dari dunia balap. Tidak.
Seperti kebanyakan pebalap, setelah pensiun pun mereka akan tetap berkecimpung di dunia balap, walau bukan sebagai pebalap. Mereka biasanya menempati posisi yang lebih ‘santai’, backstage. Bisa sebagai konsultan, bisa sebagai penasihat, dan Prost memilih sebagai reporter yang bekerja untuk stasiun TV TF1.
Tak lama kemudian Prost kembali ke McLaren, sekali lagi, bukan sebagai pebalap. Tapi sebagai penasihat teknis.
Otaknya yang brilian, bisa melakukan pendekatan secara intelektual kepada orang-orang yang berkecimpung di F1 membuat dia dijuluki sebagai ‘Profesor’.
Pada tahun 1997 seorang bos tim, Flavio Briatore. akan menjual timnya yang bernama Ligier. Akhirnya pada tanggal 13 Februari terjadi deal itu.
Prost pun mengganti nama Tim sesuai dengan namanya, Prost Grand Prix.
Sebagai orang berpengaruh, nggak sulit bagi Prost untuk sekedar cari sponsor. Buktinya, mobil warna biru itu bertaburan brand-brand terkenal. Bukan rahasia umum, semakin banyak merk dagang menempel dimobil, secara keuangan tentu akan makin bagus pemasukan uang dari sponsor. Merk-itu itu diantaranya adalah, Alcatel, sebuah perusahaan komunikasi asal Perancis, Peugeot, sebagai pemasok mesin, PlayStation, sebuah merk Video game legendaris, bahkan Yahoo sebagai portal web raksasa (waktu itu) pun ada.
Alain Prost and Damon Hill, Williams FW15C – Renault. South African Grand Prix (Kyalami), 1993. pic.twitter.com/UlMkvaEWVL
Tentu saja harusnya, dengan duit melimpah, Prost bisa lebih kompetitif.
Tapi?
Ya ada tapinya. Alain Prost terlalu idealis. Prost ‘memaksa’ timnya sangat Perancis. Terutama pada pemilihan Olivier Panis sebagai pebalap dan Peugeot sebagai penyedia dapur pacu mobil berkelir biru itu. Dua nama yang kurang kompetitif di F1.
Padahal, sebagai orang yang punya pengaruh besar di F1, seharusnya dia bisa melobby pabrikan mesin untuk mensupply mesin yang lebih kompetitif.
Bukankah Alain Prost, sebagai seorang juara dunia empat kali, dengan 51 Kemenangan bisa membangun paket mobil yang mumpuni dan kompetitif? Setidaknya, dari sisi teknis bukan kah Prost pernah menjadi penasihat di McLaren
Walhasil,selama kiprahnya di Formula 1, Prost GP hanya sebagai tim medioker. Tim yang tak lepas dari segala kendala, baik teknis maupun non teknis.
Persoalan teknis misalnya, soal pemilihan mesin. Opini pribadi saya, Peugeot bukanlah mesin yang kompetitif. Ibarat kata, kalau di adu dengan McLaren dengan mesin Mercy, Benneton dengan mesin Renault, atau Williams yang juga mesin Renault. Tentu saja Prost jauh dibawah mereka.
Secara non teknis, dari sisi manajemen misalnya, menggambarkan bahwa tidak mudah memimpin ratusan orang yang tergabung dalam tim untuk menghasilkan paket mobil yang kompetitif.
Sebagaimana kita tahu, walau hanya memproduksi beberapa unit mobil, tapi terkait fasilitas pendukung dalam pembuatan mobil Formula 1 tidak kalah dengan pabrik yang memproduksi ratusan mobil.
Seseorang mungkin bisa saja mengendalikan mobil Formula 1 yang super ganas (tenaganya), bisa menjinakkannya lalu membawanya meraih juara, tapi mengatur ratusan manusia adalah sisi lain dari rumitnya mengelola sebuah tim.
Apalagi Prost membeli tim dari Ligier, yang meninggalkan banyak persoalan teknis menyangkut pemasok mesin. Prost harus melakukan pembenahan disana-sini agar terbentuk sebuah tim baru yang kompetitif.
Tapi bukan berarti membeli Tim dan mengubahnya menjadi tim baru akan selalu berakhir kegagalan. Setidaknya kalau kita bandingkan dengan Brawn GP yang membeli Tim Honda dan meraih gelar juara dunia di tahun pertamanya.
Masalahnya, latar belakang Ross Brawn memang orang yang sudah terbiasa backstage. Ross Brawn biasa mengelola tim dan membawanya tim tersebut di puncak kesuksesan.
Sebelumnya, Ross Brawn sudah ada di Ferrari dan mengantarkan Ferrari juara konstruktor sejak tahun 1999 sampai dengan 2004 serta mengantarkan Michael Schumacher meraih gelar juara dunia berturut-turut dari tahun 2000 sampai dengan 2004.
Sangat beda jauh dengan seorang Alain Marie Pascal Prost yang sejauh itu hanya berkutat dengan bagaimana cara menjinakkan sebuah mobil bertenaga besar di lintasan balap serta membawanya meraih gelar juara.
Beda, sangat beda. Alain Marie Pascal Prost bukanlah Ross Brawn.
Berganti tema livery lima kali, lima sponsor besar keluar masuk, tapi tak membuahkan hasil yang memuaskan.
Tapi, kenapa Prost nggak mendekati Honda ya? Bukankah dimasa lalu mereka punya kedekatan. Bukankah mesin Honda juga sangat kompetitif?
Tapi begitulah F1, olahraga unik, glamour, penuh intrik politis, sehingga pintar saja tidak cukup. Harus ada lobby-lobby juga untuk memastikan bahwa mereka akan bisa membalap dengan kompetitif.