
Dalam hidup, manusia tak harus jadi pahlawan. Tapi setidaknya, ada banyak hal yang harus kita pelajari dari perjalanan hidup. Masalah menang kalah , semua ada yang atur. Kita sebagai manusia hanya bisa menjalani apa yang harus kita jalani. Soal hasil, itu soal nanti. Kira-kira begitulah prinsip hidup seorang Alex Baros.
“ Saya akan membalap sampai akhir hayat, “ ucapnya satu ketika. Kendati hasilnya tidak sampai puncak.
Kenyataannya, memang garis takdir tidak mengijinkan Barros untuk menduduki posisi puncak karier di GP500 atau MotoGP.
Kalau dibilang peluang, sebenarnya pembalap kelahiran 18 oktober 1970 ini punya cukup banyak peluang. Setidaknya Barros sudah memulai kariernya sejak usia 8 tahun. Di usia kanak-kanak inilah bakatnya sudah mulai terlihat ketika menjurai perlombaan balapan Moped. Moped sendiri adalah sejenis skuter.

Diajang balap motor mini itu Barros memenangi balapan sebanyak dua kali.


Karier Grand prix dimulai saat usianya baru genap 15 tahun turun di kelas 80cc tepatnya di tahun 1986. Nah, selepas kelas 80 cc, dua tahun kemudian Barros mendapat jatah wildcard sekali race di kelas 250cc ,tepatnya pada tahun 1988.
Bergabung dengan tim Yamaha pabrikan, Pada tahun ini Barros tak mempersembahkan satu poin pun. Setahun kemudian Barros menjalani musim dengan penuh dan menghasilan 30 poin sepanjang musim. Hal itu membuat Barros harus puas di posisi 18 klasemen akhir.
Sedangkan puncak klasemen di duduki oleh Sito Pons dari Campsa Honda dengan perolehan 262 poin. Klasemen 2 diraih Reinhold Roth, dari Romer Honda. Posisi ketiga pembalap Swiss, Jacqous Cornu juga dengan motor Hondanya dari tim Lucky Strike Honda. Pada tahun tersebut di kelas ini memang persaingan Honda dan Yamaha sangat lah ketat. Berbagai tim luar pabrikan bertabur dua merek asal negeri sakura ini. Dan Honda, menjadi mesin motor yang memegang supremasi.
Pada tahun 1990, pihak Yamaha enggan memperpanjang kontrak Barros di kelas 250cc, alhasil Barros pun hijrah membela tim asal Italia, Cagiva (baca: Kajiva) di kelas 500cc. Tahun pertamanya di kelas ini, Barros menghasilkan 57 poin yang mengantar dia menduduki posisi 12 klasemen akhir. Nama Barros saat itu seolah tenggelam oleh pesona Wayne Rainey, Kevin Schwantz, atau Mick Doohan.
Ada hal yang beda di kelas 250cc dan 500cc. Kalau di 250cc persaingan ketat terjadi antara Yamaha dan Honda, maka di kelas ini Suzuki ikut merangsek ke dalam peta persaingan sengit.
Hal ini terbukti dengan masuknya Kevin Schwantz yang berhasil mengasapi Mick Doohan. Yap, Kevin bertengger di posisi 2, Doohan di klasemen 3, sedangkan puncaknya mahkota juara di rengkuh oleh Wayne Rainey, dari Yamaha. Persaingan tempak merata. Posisi 1, 2, dan 3, di menangi oleh tiga merek motor dan tim yang beda.
Sedangkan Barros, saat itu membela tim yang notabene bukan unggulan. Ditengah dominasi pabrikan-pabrikan Jepang, ada setidaknya 3 motor Cagiva disana. Selain Barros, ada Randy Mamola dan Ron Haslam mengendarai Cagiva.
Bisa dibilang motor Cagiva tidak kompetitif, tapi setidaknya Barros adalah pembalap Cagiva yang meduduki posisi terbaik. Walau hanya 12 besar.
Bandingkan dengan Randy Mamola dan Ron Haslam yang menduduki masing-masing 14 untuk Mamola, dan 15 oleh Haslam. Dari sini kita bisa menilai seberapa hebat skill Alex Barros. Dengan spek motor yang sama, masih mampu mengungguli pesaingnya.

Selama 3 tahun petualangannya bersama Cagiva, Barros hanya mengoleksi 1 podium ketiga di GP Assen 1992, yang mana itu juga sekaligus menjadi podium pertamanya sejak berkiprah di Grand Prix. Di tahun berikutnya, Barros memutuskan pindah ke tim yang lebih kompetitif yaitu Suzuki pada tahun 1993, berdua dengan Kevin Schwantz.
Di tahun ini pulalah penampilan Barros cukup Impresif dengan menyabet 2x podium, yang satu diantaranya kemenangan pertamanya di Grand Prix ketika balapan di sirkuit Jarama, spanyol 1993. Aksi Barros di Jarama ini betul-betul luar biasa. Di dukung oleh mesin Suzuki yang tangguh, skill late braking Barros sangat tampak kental disini. Diakhir musim Barros mengoleksi 125 poin dan menempatkan dia di posisi 8. Sedangkan rekan satu tim-nya, Kevin Schwantz, mengumpulkan 248 poin kemenangan sekaligus memastikan gelar juara dunia 1993.
Pada tahun 1994 Barros memutuskan untuk tetap membela Lucky Strike Suzuki. Dan ini bukan tahun bagus buat Suzuki. Karena Mick Doohan (baca: Mik Duhan) dengan Honda NSR500-nya memulai dominasi. Di sepanjang musim, Doohan dipastikan berada di podium. Ya, Doohan selalu naik podium. 9 diantaranya kemenangan.
Dan posisi terbaik yang bisa didulang Barros adalah posisi ke 2 di sirkuit Assen, Belanda. Sedangkan rekan setimnya, Kevin Schwantz, terlempar di urutan ke 5.
Merasa performa Suzuki RGV500 kurang kompetitif, akhirnya Barros memutuskan gabung dengan Kanemoto Honda. Ini bukan tim Honda pabrikan, tapi setidaknya performa NSR500 lebih kompetitif.
Apakah ini membawa perubahan yang lebih baik? ternyata tidak.
Naik satu tangga dari posisi 8 pada tahun 1994 ke urutan 7 pada 1995 bukan hasil yang terlalu bagus. Bahkan poinnya turun, dari 134 poin turun di 104 poin, dan tanpa podium sama sekali apalagi kemenangan. Sedangkan posisi puncak tetap diduduki Doohan dengan 248 poin.
Hanya setahun bertahan di Kanemoto Honda, tahun berikutnya Barros pindah ke Pileri Honda pada 1996. Masih dengan Honda NSR500, penampilan Barros mulai tampak membaik. Setidaknya sepanjang musim meraih 3 kali podium, dua kali finish urutan 2, dan sekali menempati posisi 3, di akhir musim mengoleksi 158 poin dan bertengger di klasemen ke 4 tahun 1996.
Di tahun 2000 bersama Emerson Honda Pons, performa Barros sepanjang musim sangat lumayan. Setidaknya dia bisa mengungguli rekan setim, Loris Caspirosi. Tiga podium diraih, dua diantaranya adalah kemenangan. GP Belanda adalah kemenangan pertama tahun itu, kemenangan berikutnya ada di GP German.
Di tahun inilah ada pendatang baru yang langsung menggebrak. Seorang bocah Italia yang baru naik kelas dari 250 cc. Bergabung dengan Nastro Azzuro Honda, pembalap muda itu mengakui ngefans dengan Barros. Terutama dengan gaya Late braking Barros.
Buat Rossi, ngefans bukan berarti sekedar mengagumi. Dan bukan berarti musti mengalah bila ketemu sang idola. Di kandang sendiri di GP Brazil Barros pernah merasakan bagaimana battle berebut posisi dengan Rossi. Rossi yang mengawali balapan di posisi 8 merangsek maju. Saat itu Tadayuki Okada, pembalap Jepang ada di Pole. Barros urutan kedua.
Menjelang pertengahan balapan, pertempuran 3 pembalap terjadi, antara Gary Mccoy yang di urutan pertama, Barros urutan kedua, dan Rossi di urutan ketiga. Tampaknya Barros merasa tertekan oleh Rossi yang sedang berusaha merebut kemenangan pertamanya. Di Lap ke 14 Rossi punya peluang melibas Barros di tikungan.
Seterusnya, Rossi memimpin balapan, sedangkan Mccoy sempat berada di depan Barros, karena posisi McCoy di ambil alih Rossi. Target Barros pertama adalah McCoy.
Tapi hanya posisi kedua itulah hasil terbaik yang bisa di persembahkan Barros. Rossi memimpin balapan sampai akhir dengan gap 0.970 detik di banding Barros.
Barros mengakhiri musim dengan membukukan 163 poin menduduki tempat ke 4 klasemen.
Tahun 2001 prestasi Barros terbilang lumayan. Mengoleksi 4 podium dengan 182 poin menempati posisi 4 klasemen. Tahun berikutnya merupakan tahun yang cukup gemilang dalam karier Barros. Naik 5 podium, dua diantaranya kemenangan sekaligus menjadi musim peralihan dari motor Honda NSR500cc 2 tak ke Honda RC211V 4-tak 990cc yang menandai perubahan regulasi di balap kelas puncak. Pembalap pengguna mesin 4tak di untungkan dengan keunggulan power motornya.
Di tahun ini pulalah terjadi duel late braking antara Rossi dan Barros. Kejadiannya bermula di GP Phillip Island tahun 2002. Balapan di Australia ini merupakan momen manis bagi Valentino Rossi yang keluar jadi pemenang, sekaligus menandai kesuksesan meraih 11 kali menang di MotoGP dan yang ke 50 selama karirnya dari 107 kali penampilan.
Saat race di mulai, pembalap pemakai motor 4tak langsung maju di depan dengan power besarnya.. Memasuki tikungan 1 terjadi perubahan posisi.
Disitu Barros dan Rossi sudah berebut tempat di depan. Barros memimpin race hingga lap 5. Race sepertinya sudah jadi milik Barros ketika dia terus ada di posisi terdepan. Tapi di pertengahan race, motornya sedikit bermasalah dan melambat. Rossi terus membuntutinya dan berhasil memperpendek gap. Kemudian di Lap 23 Rossi sukses mengovertake Barros. Tak mau kalah, Barros mencoba melawan balik dan terjadilah duel super ketat.
Saking sengitnya, Barros pun mendorong motornya lebih keras dan melakukan kesalahan. Dia melebar di sebuah tikungan, namun kembali bisa mendekati Rossi. Nampaknya itu pertanda bahwa motor Barros tidak bisa di paksa lebih dari batasnya lagi.
Di Lap terakhir, jarak Rossi dan Barros sangat dekat hingga membuat Barros memutuskan mengeluarkan jurus andalannya, Late Braking maut di tikungan bernama Honda Corner Hairpin. Rossi sedikit takut akan kalah dari Barros, mengingat Barros sangat kuat dalam Late Braking. Tapi Rossi tau jika ban motor Barros sudah habis dan beresiko tinggi jika di pakai Late Brake.
Apa yang terjadi kemudian?
Barros yang sudah mengunci Rossi sebagai target, akhirnya melakukan Late Braking. Namun Sayangnya dia terlalu telat mengerem, sampai sampai ia keluar trek … Disitu terbukti kalau Rossi memang ahli dalam membuat mental lawan tertekan. Barros yang hebat dalam Late Braking saja di paksa melewati batas motornya, yang akhirnya membuat kesalahan karena duel dengan Rossi..
Untungnya pembalap West Honda Pons itu masih bisa kembali ke lintasan dan menyelesaikan balapan di urutan ke 2, terpaut jarak 10 detik dari Valentino Rossi.
Penampilan Barros di tahun 2002 bisa dibilang yang terbaik sepanjang karirnya di MotoGP. Barros mengoleksi 5 podium, yang 2 diantaranya adalah kemenangan. Juga di tahun ini dia memperoleh 204 poin, yang tertinggi sepanjang karir di kelas premier.
Di era motor 4 tak, karir Barros tidak secemerlang ketika regulasi masih menggunakan motor 2tak. Mungkin juga di usianya yang sudah lebih dari 30 tahun membuatnya tak senekat dan berani semasa di era motor 2tak. Ini terlihat di 2003-2005, poin Barros di akhir klasmen sangat menurun jauh ketimbang di masa motor 2tak. Meski begitu Barros sempat meraih 1 kemenangan di GP Portugal 2005. Ini pula yang menandai kemenangan terakhir Barros di MotoGP sekaligus memutuskan hengkang di kelas MotoGP.
Barros kemudian melanjutkan karirnya di World Superbike di tim Klaffi Honda . Prestasinya cukup lumayan dengan mengoleksi 6 podium dan sekali kemenangan.
Tapi entah apa yang ada di benak Barros, pada tahun 2007 Barros kembali lagi ke MotoGP. Bergabung dengan Pramac d’Antin Ducati dan sempat meraih 1x podium 3. Dan akhirnya tahun 2007 Barros benar-benar mengakhiri kariernya di MotoGP.
Berhenti balapan? Tidak juga.
Di 2016, 9 tahun setelah balapan terakhirnya di GP Valencia 2007, Barros kembali balapan di usia 46 tahun dengan mendirikan tim balapnya sendiri, Alex Barros Racing dan berkompetisi di ajang Superbike Brazil. Di ajang ini Barros tentu saja bertarung melawan pembalap pembalap yang jauh lebih muda dan meraih beberapa hasil bagus, yang mana mengantarkannya meraih runner up di tahun 2018 dan tempat ketiga di 2019.
Di tahun 2019 ini kabar tak sedap pun datang, Barros membubarkan Timnya sendiri Alex Barros Racing. Barros merasa balapan tidak adil. Barros yang saat itu menduduki Runner-up klasemen merasa bahwa Eric Granado, sang pemimpin klasemen tidak mematuhi peraturan. Alhasil pada 1 Desember 2019 Barros tidak hadir sebagai kontestan sekaligus menegaskan sebagai pengunduran dirinya dari dunia balap.
Kini setelah tak balapan lagi, Barros membuka Akademi balap untuk menemukan “Alex Barros ” berikutnya yang dididik untuk menjadi pembalap kejuaraan dunia. Harapannya saat ini tertuju pada Diego Moreira yang saat ini menjadi satu satunya pembalap muda masa depan Brazil yang berlaga di Moto3 bersama tim MT-Helmets menggunakan motor Honda .
.