Dorongan besar Dorna pada dekade terakhir telah menghasilkan regulasi teknis yang membuat jarak antara motor terbaik dan terburuk di lintasan semakin mengecil, sehingga menciptakan sebuah tontonan balapan yang menegangkan bagi ratusan juta pasang mata yang menyaksikan di televisi.
Kelas premier MotoGP memiliki banyak aturan seperti spesifikasi besar bore mesin maksimal 81 milimeter, ban, elektronik, batasan berat maksimal dan minimal motor dan sebagainya.
Di Moto3 aturannya lebih ketat, dengan ban yang sama, elektroniknya sama dan mesin yang berbeda tiap pabrikan namun alokasi mesin untuk semua pembalapnya sama sehingga mencegah salah satu tim pabrikan mendapatkan keuntungan lebih.
Di Moto2 aturannya yang paling ketat, yang mana semua pembalap menggunakan mesin Triumph 3 silinder 765cc, ban dunlop, software Magneti Marelli, bahan bakar Petronas, oli Liqui Moli dan gearbox yang sama dengan tidak ada alternatif ‘gear ratio’ lain. Ditambah lebih dari dua per tiga pembalap di grid menggunakan sasis yang sama dari konstruktor Jerman yaitu Kalex.
Meski begitu kelas Moto2 menciptakan balapan yang paling renggang antara pembalap di depan dan di belakangnya dari seluruh kelas di Grand Prix. Beberapa penggemar balap motor menganggap balapan di Moto2 membosankan, yang mana tidak begitu. Ini terjadi karena kelas Moto3 dan MotoGP jarak antar pembalapnya sangat berdekatan yang membuat para penonton mengharapkan untuk melihat pertarungan banyak pembalap di setiap seri balapnya.
Selama tahun ini pembalap 10 besar di Moto3 hanya berjarak rata rata 4,6 detik. Di MotoGP gap waktunya dari pemenang balapan ke peringkat 10 adalah 15 detik. Sementara di Moto2 gapnya sampai 20 detik.
Lalu apa yang membuat kelas Moto2 tidak seketat balapan di MotoGP dan Moto3 ?
Seperti biasanya ada banyak alasan kenapa hal itu bisa terjadi di Moto2.
Penyebab utamanya adalah pada ban, feeling pembalap dan elektronik yang tidak selengkap di kelas MotoGP. Ditambah fakta bahwa motor dengan power 140 horsepower ini lebih sulit dikendarai ketimbang motor Moto3 dengan 60 horsepower. Juga motor hybrid dengan spec mesin motor jalanan dan sasis balap ini dalam beberapa hal lebih rumit ketimbang motor MotoGP yang punya tenaga lebih dari 290 horsepower.
Pembalap Marc VDS, Sam Lowes meyakini bahwa ban memainkan peranan yang besar. Kerumitan pada ban depan yang digunakan saat ini memungkinkan beberapa pembalap membuat perbedaan yang mencolok di lap lap awal lomba. Kuncinya ada pada sebaik apa pembalap bisa memahami spec ban pada setiap lintasan.
Sebenarnya motor Moto2 bisa banyak memberi feedback yang baik pada pembalapnya namun kecepatan yang bisa didapat dari pembalap itu berasal dari kepercayaan diri pembalap itu sendiri.
Hal ini seperti yang dialami Sam Lowes di Qatar dimana dia mendominasi 2 balapan di sana. Kemudian saat balapan di Barcelona, Sam Lowes mengaku bila di setiap tikungan yang dilaluinya rasanya seperti akan crash. Dan inilah yang membuatnya kesulitan untuk langsung cepat di lap pertama.
Bila menganalisa pada saat pertengahan balapan, maka laptime para pembalap top Moto2 sangat dekat. Namun laptime pembalap tersebut di lap lap awal gapnya sangatlah jauh, ini tergantung pada seberapa besar kepercayaan diri yang dimiliki pembalap.
Sam Lowes menjelaskan saat di lap lap awal di 3 balapan terakhir laptimenya sangat buruk. Ini membuatnya sangat sulit mengejar gap pembalap di depannya saat pertengahan balapan yang hanya 1 detik. Karena laptime dari banyak pembalap sangat mirip dan bila pembalap melakukan kesalahan maka menurut Sam Lowes butuh 3 lap untuk kembali mendapatkan laptime yang bagus.
Dunlop sudah menjadi suplier tunggal semenjak kelas Moto2 diperkenalkan di tahun 2010. Pada tiga tahun terakhir, kelas Moto2 mengganti ban Dunlop yang lebih lebar, ban ini sama seperti ban Dunlop yang digunakan di kejuaraan dunia ketahanan balap motor atau EWC, yang mana di kejuaraan ini motor yang dipakai adalah motor Superbike 1000cc. Lalu ban belakang yang lebih lebar datang di 2019 dan ban depan yang lebih lebar datang di tahun lalu.
Menurut Sam Lowes karena pada dasarnya ban ini untuk motor Superbike yang punya bobot jauh lebih berat, maka komponnya lebih keras dan akan terasa aneh karena Moto2 punya sasis yang lebih kaku dan ringan ketimbang sasis motor Superbike, dan cara berkendara yang lazim di Moto2 adalah dengan lebih membebani ban.
Kesulitan dari ban ini adalah saat alokasi ban depan yang diberikan di seri balap tertentu cukup keras sehingga membuat para pembalap cukup lamban memulai lap lap awal karena ban ini tidak cukup lentur untuk memperluas kontak dengan aspal. Sehingga pembalap merasa ban tidak memberikan mereka feeling yang mereka inginkan di bagian depan. Dampaknya ketika pembalap kesulitan dengan ban depan ini dan mengalami crash, mereka akan kehilangan kepercayaan diri dan sulit untuk mengembalikan performanya. Sebaliknya saat alokasi ban yang diberikan lebih lembut semuanya lebih mudah menurut Sam Lowes.
Inilah yang menjelaskan kenapa beberapa pembalap bisa sangat cepat selama lap lap awal dan bisa membuat gap yang jauh sementara pembalap lainnya kesulitan mengimbangi.
Lalu apakah mungkin motor Moto2 itu lebih sulit dikendarai ketimbang motor motor MotoGP ? tidak juga tapi pada beberapa hal iya.
Dua alasan utama balapan di kelas MotoGP sangat ketat adalah semua pembalap bisa menggunakan ban depan Michelin sampai limit saat mulai memasuki tikungan, dan kemudian mereka mengandalkan kontrol traksi untuk bisa berakselerasi dengan cepat saat keluar tikungan. Sebaliknya di motor Moto2 sistem elektroniknya tidak dilengkapi fitur kontrol traksi.
Hal ini seperti yang dialami Sam Lowes saat dirinya masih mengendarai Aprilia RS-GP di 2017. Lowes mengaku sangat menikmati balapan di Sachsenring kala itu, karena dengan banyaknya tikungan cepat ke kiri, dirinya hanya mengandalkan elektronik untuk melaju cepat. Sementara di Moto2, karena suhu sisi kiri ban yang meningkat karena banyaknya tikungan kiri ditambah ban Dunlop yang keras, sangatlah sulit untuk memaksimalkan potensi kecepatan motor. Lowes mengaku hanya bisa menggunakan 11 sampai 12 persen bukaan gas saat melewati tikungan cepat kiri yang panjang di Sachsenring.
ECU Magneti Marelli Moto2 memang menyertakan maping untuk Kontrol Traksi dan antiwheelie, namun fitur ini tidak diaktifkan karena Dorna dan Triumph menginginkan pembalap, bukan motor yang menjadi faktor performa utama di kelas Moto2.
Faktor lainnya yang membuat motor Moto2 rumit adalah motor ini punya sasis yang dibuat untuk balap Grand Prix dengan dilengkapi mesin motor jalanan, karena memang perhatian utama Dorna saat membuat kelas Moto2 adalah menurunkan budget.
Selama tahun terakhir hadirnya kelas 250cc, tim peserta harus menyiapkan budget 1 juta Euro atau 17 milyar rupiah untuk menyewa motor selama semusim. Dibandingkan dengan motor Moto2 budgetnya 90% lebih murah dari itu. Mayoritas penurunan budget itu datangnya dari penggunaan mesin motor jalanan, yang pertama dari mesin Honda CBR600 lalu sekarang dari mesin Triumph 765 Street Triple. Motor jalanan punya mesin yang biayanya murah dan lebih tahan lama, namun mesin ini lebih berat.
Sam Lowes menjelaskan bahwa motor Moto2 memang sangat ringan dan kaku, namun Lowes merasa seperti membawa beban yang berat di tengah motor. Itulah yang membuat motor Moto2 lebih sulit untuk mengerem dan perlu cara berkendara yang berbeda dibanding motor lainnya.
Meski begitu motor ini sangat baik performanya. Menurut Sam Lowes Kalex sudah membuat sasis yang hebat dan mesin Triumph ini juga bagus karena punya torsi lebih sehingga para pembalap bisa memiliki strategi mapping torsi yang beragam. Berbeda saat Honda menjadi pemasok mesin Moto2 beberapa tahun lalu, saat itu semua pembalap melakukan balapan dengan cara yang sama yaitu mengandalkan corner speed dan dengan gear ratio yang sama.
Tapi kehadiran elektronik merupakan hal yang paling besar, kelas Moto2 akan selalu menjadi berbeda dengan kelas Moto3 atau MotoGP sampai Dorna memutuskan untuk memberikan fitur elektronik yang lengkap di motor Moto2.