
Terakhir kalinya Yamaha YZR-M1 menjadi motor terbaik di MotoGP adalah di masa ketika era ban Bridgestone dan elektronik pabrikan masih diberlakukan, yang pada masa itu lebih mudah untuk mengeluarkan potensi maksimal dari motor.
Saat ban Michelin dan elektronik yang diseragamkan hadir di tahun 2016, Yamaha M1 tidak secara tiba-tiba menjadi motor terburuk di MotoGP, hanya saja insinyur dari pabrikan Yamaha tidak bisa mengeluarkan potensi maksimal motor yang dilengkapi ban baru Michelin dan software yang telah diseragamkan ini.
Apapun yang dilakukan insinyur Yamaha pada tahun 2016 hingga 2020 tidak bekerja dengan maksimal. Motor Yamaha M1 lemah dalam akselerasi, ban belakangnya cepat aus dan sangat tergantung pada kondisi lintasan, yang mana saat kondisi aspalnya cocok maka motor Yamaha M1 bisa memenangi balapan, namun saat kondisinya tidak cocok motor Yamaha tidak bisa apa-apa.
Hebatnya, kemenangan tiga kali beruntun Yamaha di GP Qatar, GP Doha dan GP Portugal merupakan pertama kalinya sejak 2016 pabrikan Yamaha memenangi tiga balapan secara beruntun.
Lalu apakah prestasi ini menunjukan bahwa Yamaha akhirnya bisa memahami secara penuh ban Michelin dan elektronik Magneti Marelli ? mungkin saja.
Pemimpin klasmen Fabio Quartararo sangat senang dengan motor Yamaha M1 2021 karena menurutnya feeling yang dihasilkan motor itu seperti motor versi 2019, yang mana motor versi 2019 membuatnya bisa beberapa kali menyulitkan Marc Marquez dalam meraih kemenangan selama masa tahun debutnya.
Tentu, cara menikung yang cepat di ‘mid corner’ adalah suatu keharusan bagi motor Yamaha untuk bisa melaju cepat di lintasan. Menurut Quartararo motor versi 2020 tidak memberinya feeling yang bagus saat di tikungan, sehingga dirinya tidak bisa memperkirakan motor akan terjatuh ataupun akan melebar. Sebaliknya motor 2021, dirinya bisa memperkirakan limit motor dan motor lebih mudah untuk menikung.
Feeling pada ‘front end’ atau bagian depan motor merupakan faktor terpenting dalam balap motor karena tanpa itu pembalap tidak bisa melaju cepat di tikungan. Pembalap harus bisa merasakan feedback yang jelas pada ban depan setiap kali pembalap harus membelokkan motor kedalam tikungan. Bila ban tidak memberikan feedback yang jelas maka pembalap tidak akan bisa memperkirakan apa yang bisa terjadi selanjutnya. Dan itu bukanlah hal yang bagus.
Mungkin saja insinyur Yamaha dengan mudah kembali membuat sasis versi 2019 pada motor versi 2021 ini, namun menurut Quartararo, meskipun dirinya punya feeling yang bagus pada motor sehingga bisa melakukan rolling speed di tikungan, motor tahun ini lebih menuntut secara fisik. Selain itu dia juga harus lebih menekan motornya dengan keras untuk membuat lap time yang cepat dan ‘race pace’ yang bagus.
Lalu apa rahasianya motor Yamaha bisa memberikan feeling front end yang bagus pada pembalapnya ?
Motor Yamaha M1 2020 dibungkus secara berbeda dibandingkan dengan motor 2019, yang mana secara drastis telah mengganti keseluruhan keseimbangan motor. Jadi sepertinya Yamaha telah menemukan cara yang tepat dengan meningkatkan keseimbangan motor sekaligus kekakuan dan geometri sasisnya.
Seperti yang kita tahu, ketiga pembalap pabrikan Yamaha saat ini menggunakan motor dengan mesin 2020, bukan mesin 2019. Dua spesifikasi mesin ini punya perbedaan pada ‘engine mounting’nya, yang tentu mempengaruhi kekakuan secara keseluruhan. Namun hal ini tidak menghalangi Yamaha dari pemecahan masalah yang sudah lama menghantui para pembalap pabrikannya sepanjang musim lalu.
Apapun perubahan yang telah Yamaha lakukan, tampaknya mereka paling banyak mengerjakan peningkatan pada hal-hal yang mendetail. Bagaimanapun, seperti yang Quartararo jelaskan minggu lalu, rahasia utama untuk menang di MotoGP adalah fokus pada diri sendiri untuk bisa mengeluarkan potensi maksimal motor, bukan malah hanya mengharapkan dari insinyur tim dalam memberikan settingan motor yang ajaib saja. Tentu motor perlu disetting agar sesuai seperti apa yang dimau pembalapnya, namun setelah itu tergantung pembalapnya.
Di era Michelin dan Magneti Marelli ini, pembalap menjadi lebih penting daripada era sebelumnya karena pembalap harus mengimbangi kelemahan pada software yang kurang canggih dan ban Michelin yang kurang dapat diandalkan. Selama 6 tahun berjalannya era Michelin dan Magneti Marelli, para pembalap Yamaha sering komplain tentang ban yang overheat dan lemahnya dalam akselerasi motor. Sejauh tahun ini berjalan hal itu bukan lagi menjadi masalah, paling tidak bagi Quartararo dan Maverick Vinales.
Yamaha sempat tertinggal di belakang para rivalnya demi untuk memahami spesifikasi software Magneti Marelli karena Yamaha tidak ingin jalan pintas dengan merekrut insinyur Magneti Marelli seperti kebanyakan rivalnya lakukan. Filosofi Yamaha saat itu lebih suka melakukannya sendiri.
Meski begitu di akhir 2019, manajemen Yamaha sudah cukup muak dengan hasil buruk yang didapat selama bertahun-tahun, sehingga mereka membajak insinyur Magneti Marelli dari Ducati, yang mana telah bekerja dengan Magneti Marelli selama puluhan tahun.
Mungkin saat ini yamaha menerapkan apa yang telah dipelajarinya dari insinyur baru itu selama tahun 2020, karena elektronik motor Yamaha M1 tahun ini bekerja dengan lebih baik.
Semua pabrikan saat ini bekerja dengan software yang mirip, yang mana termasuk pada mapping penyaluran torsi, kontrol traksi, anti-wheelie, engine braking dan sebagainya. Dari semua itu hal yang paling penting bagi Yamaha adalah mapping penyaluran torsi dan kontrol traksi.
Dalam beberapa tahun terakhir, ban belakang Yamaha M1 selalu mengalami overheat, terutama di sirkuit yang memiliki tikungan dominan ke kiri maupun ke kanan, yang mana hal itu tidak memberikan cukup waktu pendinginan untuk ban. Oleh karena itu, panas yang berlebihan ini menyebabkan degradasi ban, yang berujung pada kurangnya grip ban, membuat motor Yamaha M1 semakin lemah saat balapan berlangsung.
Baik Viñales maupun Quartararo tidak mengeluhkan hal semacam itu tahun ini – setidaknya sejauh ini – jadi apa yang telah dilakukan Yamaha terhadap mapping torsi dan kontrol traksi pada motor M1 2021 nya?
Kebanyakan pabrikan MotoGP menggunakan filosofi mapping torsi dan kontrol traksi yang sama selama balapan. Mereka memulai balapan dengan mapping torsi yang maksimal, karena ban belakang masih sangat baru sehingga masih mampu menahan tenaga besar motor, dan para pembalap tentu membutuhkan tenaga itu saat bertarung memperebutkan posisi di lap-lap awal. Di saat yang sama mereka menggunakan maping kontrol traksi maksimal untuk menjaga ban awet.
Seiring balapan berlangsung, ban belakang akan aus. Sehingga pembalap mengubah mapping torsi yang lebih lembut untuk menghemat ban belakang dan juga mengubah mapping kontrol traksi yang lebih rendah.
Penggunaan mapping kontrol traksi yang rendah tentu tampak terlihat tidak masuk akal karena saat itu pembalap sedang membutuhkan lebih banyak kontrol traksi saat grip ban menurun kan?
Namun maksud utama dari penggunaan software Magneti Marelli ini adalah untuk membuat motor dan pembalapnya tidak terlalu bergantung pada elektronik, dimana software yang sangat canggih bisa melakukan semua hal, termasuk mengkalkulasi grip yang ada pada setiap tikungan lalu mengatur torsi dan kontrol traksi berdasarkan tingkat grip yang ada pada ban.
Teknologi ini sangatlah pintar, namun ini tidaklah mengasyikan lagi bagi pembalap maupun para fans MotoGP. Maka dari itu pada 2016 Dorna memaksa semua pabrikan MotoGP untuk menerima spesifikasi software yang teknologinya lebih rendah, karena Dorna ingin membuat MotoGP bukan sebagai tempat eksperimen sains belaka, namun lebih ke tontonan yang menghibur.
Bila melihat Quartararo dan Vinales di 3 balapan awal 2021 ini tampaknya Yamaha telah mengubah cara mereka menggunakan mapping torsi dan kontrol traksinya. Di masa lalu para pembalap Yamaha saat balapan baru dimulai menggunakan mapping kontrol traksi yang rendah kemudian mengubah ke mapping kontrol traksi yang lebih tinggi dan mapping torsi yang lebih rendah.
Tentu masalah yang muncul dengan memakai mapping kontrol traksi yang lebih tinggi saat menurunkan torsi adalah menurunnya akselerasi motor, ini karena meskipun menggunakan torsi yang lebih sedikit pada ban, tetap masih terjadi spin pada ban belakang. Di momen ini kemudian kontrol traksi aktif dengan memotong tenaga mesin untuk menurunkan spin pada ban, sehingga pembalap akan mendapat dampak semakin menurunnya torsi yang tersalurkan ke ban.
Di balapan pertama di Qatar bisa dilihat bahwa Vinales tidak lagi bergantung penuh pada kontrol traksi untuk menghemat ban belakangnya, melainkan dia menggunakan kontrol traksi yang rendah dan sisanya mengandalkan tangan kanannya untuk keluar tikungan secepat mungkin tanpa membuat ban belakangnya habis. Di balapan kedua Qatar dan di Portugal hal yang sama juga dilakukan oleh Quartararo.
Karena di era spesifikasi software Magneti Marelli saat ini, rahasia untuk mendapatkan lap time yang cepat adalah pada kendali gas pembalap itu sendiri, bukan pada kotak kecil elektronik yang ada di motor. Itulah mengapa Marc Marquez sangat dominan sampai dia mendapatkan kecelakaan fatal tahun lalu, itu karena dia lebih banyak mengandalkan dirinya sendiri agar mendapatkan performa terbaik dari motor sekaligus dari ban.
Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah Quartararo dan Yamaha memiliki apa yang diperlukan untuk terus menang di sirkuit lain? dan Bisakah mereka mengalahkan Marc Márquez yang bangkit kembali ?